Pemerintah Makin Tegas Platform Digital Wajib Bertanggung Jawab Atas Konten Viral

VOXBLICK.COM - Sebuah video deepfake tokoh publik yang beredar cepat di media sosial atau iklan judi online yang menyelinap di antara konten kreator favoritmu bukan lagi pemandangan aneh. Dulu, mungkin hal seperti ini hanya dianggap sebagai risiko dunia maya. Namun, sekarang situasinya berubah total. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi), tidak lagi bermain-main. Panggilan keras agar platform digital memikul tanggung jawab penuh atas konten yang berseliweran di lapak mereka semakin nyaring terdengar, menandai era baru dalam regulasi konten di tanah air. Desakan ini bukan tanpa alasan, serangkaian insiden viral telah menjadi pemicu yang memaksa adanya perubahan fundamental dalam cara platform beroperasi. Gelombang misinformasi seputar pemilu, maraknya penipuan berkedok investasi, hingga konten berbahaya yang memicu tren negatif di kalangan anak muda telah menciptakan tekanan publik yang luar biasa. Akibatnya, hubungan antara pemerintah dan raksasa teknologi yang sebelumnya cenderung kooperatif, kini menjadi lebih konfrontatif. Pertanyaannya bukan lagi apakah platform harus bertanggung jawab, melainkan bagaimana dan sejauh mana tanggung jawab platform tersebut harus ditegakkan melalui regulasi konten yang mengikat.
Kenapa Pemerintah Tiba-Tiba Galak ke Platform Digital?
Pergeseran sikap pemerintah ini bukanlah reaksi impulsif. Ini adalah akumulasi dari berbagai peristiwa yang menunjukkan dampak negatif dari konten liar yang tidak terkendali.
Jika dulu pendekatan yang diambil lebih bersifat reaktif, seperti memblokir situs atau akun setelah ada laporan, kini tuntutannya adalah pencegahan proaktif dari sisi platform digital itu sendiri. Salah satu titik balik terbesar adalah pandemi COVID-19. Saat itu, hoaks dan misinformasi tentang kesehatan menyebar lebih cepat dari virusnya sendiri, menyebabkan kebingungan massal dan bahkan membahayakan nyawa. Pemerintah menyadari bahwa mengandalkan literasi digital masyarakat saja tidak cukup. Sumber masalahnya, yaitu kemudahan konten berbahaya menjadi insiden viral, harus diatasi langsung di sumbernya. Kemudian, muncul fenomena judi online yang merajalela. Iklan dan promosi judi online secara terang-terangan muncul di berbagai platform digital, mulai dari media sosial hingga platform streaming. Data dari Komdigi menunjukkan skala masalah yang masif. Dalam periode 17 Juli 2023 hingga 21 Mei 2024 saja, pemerintah telah memutus akses terhadap 1.904.246 konten judi online. Angka ini, menurut Menteri Komunikasi Digital (Komdigi) Meutya Hafid, hanyalah puncak gunung es dan menunjukkan kegagalan sistem moderasi internal platform. Hal ini memicu pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online yang dikoordinasi langsung oleh Menko Polhukam, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, kasus-kasus kekerasan, perundungan siber, dan eksploitasi yang bermula dari interaksi di platform digital juga menjadi sorotan. Insiden viral yang melibatkan pelanggaran data pribadi atau penyebaran konten intim tanpa persetujuan semakin menguatkan argumen bahwa tanggung jawab platform tidak bisa lagi ditawar. Desakan publik agar ada perlindungan yang lebih kuat bagi pengguna, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan, membuat pemerintah harus mengambil sikap yang lebih tegas dalam merancang regulasi konten.
Bukan Cuma Hapus Konten, Ini Tuntutan Sebenarnya
Tuntutan pemerintah kepada platform digital jauh lebih kompleks daripada sekadar meminta penghapusan konten (takedown). Visi yang lebih besar adalah membangun ekosistem digital yang aman dan bertanggung jawab.
Berikut adalah beberapa poin utama yang menjadi fokus dalam regulasi konten saat ini:
- Moderasi Proaktif: Platform tidak boleh lagi menunggu laporan dari pengguna atau pemerintah. Mereka dituntut untuk mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI), yang dapat mendeteksi dan mencegah konten berbahaya sebelum menyebar luas. Ini termasuk konten judi online, pornografi anak, terorisme, dan misinformasi berbahaya.
- Transparansi Algoritma dan Kebijakan: Pengguna berhak tahu mengapa mereka melihat konten tertentu atau mengapa konten mereka dihapus. Pemerintah mendorong platform digital untuk lebih transparan mengenai cara kerja algoritma mereka dan kriteria yang digunakan dalam moderasi. Kebijakan yang ambigu dan diterapkan secara tidak konsisten dianggap sebagai masalah serius.
- Kerja Sama Penegakan Hukum: Saat terjadi tindak pidana di dunia maya, kecepatan adalah kunci. Platform diwajibkan untuk bekerja sama secara cepat dan efisien dengan aparat penegak hukum, misalnya dalam memberikan data pengguna yang terlibat dalam kejahatan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kewajiban ini diatur dalam kerangka Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
- Edukasi dan Pemberdayaan Pengguna: Tanggung jawab platform juga mencakup edukasi. Mereka diharapkan menyediakan fitur yang mudah diakses bagi pengguna untuk melaporkan konten, mengontrol privasi, dan memahami risiko keamanan siber.
Dasar hukum utama dari tuntutan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019) dan turunannya, Peraturan MenKomdigi Nomor 5 Tahun 2020 (PermenKomdigi 5/2020).
Aturan ini mewajibkan semua PSE, termasuk platform digital asing yang beroperasi di Indonesia, untuk mendaftar dan mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk permintaan pemutusan akses konten ilegal dalam waktu 1x24 jam. Kerangka hukum ini, terutama yang bersumber dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menjadi alat bagi pemerintah untuk menegakkan regulasi konten. Penting untuk diingat bahwa interpretasi hukum seperti UU ITE bisa bervariasi dan artikel ini tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum. Selalu konsultasikan dengan ahli hukum untuk kasus spesifik.
Perspektif Platform Digital: Dilema Antara Kebebasan dan Kepatuhan
Di sisi lain, platform digital menghadapi tantangan yang luar biasa besar. Menjadi wasit konten untuk miliaran pengguna adalah tugas yang nyaris mustahil untuk dilakukan dengan sempurna.
Mereka terjebak dalam dilema antara mematuhi regulasi konten pemerintah dan melindungi kebebasan berekspresi penggunanya.
Tantangan Skala dan Konteks
Setiap menit, ratusan ribu foto diunggah, jutaan video ditonton, dan miliaran pesan dikirim. Memantau semuanya secara real-time adalah tantangan teknis yang monumental.
Meskipun AI semakin canggih, teknologi ini masih kesulitan memahami nuansa, sarkasme, dan konteks budaya lokal. Sebuah lelucon di satu negara bisa dianggap sebagai ujaran kebencian di negara lain. Moderasi yang terlalu agresif berisiko menghapus konten yang sah, termasuk kritik terhadap pemerintah atau ekspresi artistik.
Risiko Over-Censorship
Tekanan dari pemerintah untuk menghapus konten secara cepat sering kali membuat platform mengambil jalan aman dengan menghapus konten yang berpotensi melanggar (grey area). Praktik ini, yang dikenal sebagai over-censorship atau collateral censorship, dapat membungkam suara-suara minoritas dan diskusi publik yang penting. Organisasi masyarakat sipil sering kali menyuarakan kekhawatiran bahwa regulasi konten yang terlalu ketat dapat disalahgunakan untuk menekan perbedaan pendapat, mengancam pilar demokrasi. Asia Internet Coalition (AIC), sebuah asosiasi industri yang mewakili raksasa teknologi seperti Google, Meta, dan X (Twitter), dalam berbagai kesempatan telah memberikan masukan terhadap regulasi konten di Indonesia. Mereka menyoroti bahwa aturan pemutusan akses yang terlalu luas dan cepat, seperti yang tercantum dalam PermenKomdigi 5/2020, dapat berdampak negatif pada kebebasan berekspresi dan menciptakan ketidakpastian hukum bagi operasional platform digital.
Investasi dan Sumber Daya
Moderasi konten adalah operasi yang sangat mahal. Perusahaan teknologi harus menginvestasikan miliaran dolar untuk tim moderator manusia di seluruh dunia, yang sering kali harus menghadapi konten traumatis, serta untuk pengembangan teknologi AI.
Kewajiban regulasi konten yang semakin spesifik di setiap negara menambah beban operasional dan biaya kepatuhan, sebuah tantangan besar terutama bagi platform yang lebih kecil.
Dampak Nyata Bagi Kamu Sebagai Pengguna
Tarik-menarik antara pemerintah dan platform digital ini bukan hanya drama di level korporasi atau birokrasi. Kebijakan ini berdampak langsung pada pengalaman sehari-harimu di dunia maya.
Di satu sisi, kamu mungkin akan merasakan lingkungan online yang lebih bersih. Iklan judi, penipuan, dan insiden viral berisi hoaks mungkin akan berkurang drastis, membuat pengalaman berselancar di internet lebih aman dan nyaman. Namun, di sisi lain, kamu juga bisa merasakan dampak negatifnya. Video atau postinganmu yang berisi kritik sosial atau satire bisa saja tiba-tiba hilang karena dianggap melanggar standar komunitas yang ditafsirkan sejalan dengan keinginan regulator. Kamu mungkin akan lebih sering melihat notifikasi Konten ini tidak tersedia di wilayah Anda. Fenomena ini dikenal sebagai chilling effect atau efek gentar, di mana pengguna menjadi lebih berhati-hati atau bahkan takut untuk menyuarakan opini yang berbeda karena khawatir akan sanksi, baik dari platform maupun dari hukum yang berlaku seperti UU ITE. Pada akhirnya, ini menuntut kita sebagai pengguna untuk lebih cerdas. Kemampuan untuk memverifikasi informasi, memahami kebijakan privasi, dan menggunakan fitur pelaporan secara bijak menjadi semakin penting. Tanggung jawab platform dan regulasi konten dari pemerintah adalah satu hal, tetapi literasi digital kita adalah benteng pertahanan terakhir melawan dampak buruk dunia maya.
Regulasi di Negara Lain: Apakah Indonesia Mengikuti Tren Global?
Langkah tegas pemerintah Indonesia ini bukanlah anomali. Di seluruh dunia, negara-negara sedang bergulat dengan cara mengendalikan kekuatan platform digital. Indonesia sejatinya sedang mengikuti tren global dalam penegakan tanggung jawab platform.
Contoh paling menonjol adalah Digital Services Act (DSA) yang diterapkan oleh Uni Eropa. DSA adalah kerangka regulasi konten yang komprehensif, menetapkan aturan yang jelas tentang bagaimana platform harus menangani konten ilegal, iklan, dan misinformasi. Salah satu pilar utamanya adalah prinsip apa yang ilegal di dunia nyata, juga ilegal di dunia maya. DSA mewajibkan platform yang sangat besar (Very Large Online Platforms/VLOPs) untuk melakukan penilaian risiko, memberikan transparansi algoritma kepada regulator, dan tunduk pada audit independen. Pendekatan UE ini dianggap sebagai standar emas dalam regulasi konten global. Di Inggris, ada Online Safety Act yang berfokus kuat pada perlindungan anak-anak dari konten berbahaya dan mewajibkan platform untuk proaktif menghapus materi pelecehan seksual anak serta konten terorisme. Sementara itu, Australia memiliki Online Safety Act-nya sendiri yang memberikan eSafety Commissioner kekuatan untuk memerintahkan penghapusan konten perundungan siber secara cepat. Jika dibandingkan, pendekatan Indonesia melalui UU ITE dan peraturan Komdigi memiliki semangat yang sama, yaitu menegakkan tanggung jawab platform. Namun, beberapa kritikus menilai pendekatannya masih terlalu terpusat pada pemerintah (government-centric) dengan definisi konten terlarang yang bisa bersifat pasal karet, berbeda dengan DSA yang lebih berfokus pada proses, transparansi, dan hak pengguna. Pelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa regulasi konten yang efektif harus menyeimbangkan antara keamanan, kebebasan berekspresi, dan inovasi.
Masa Depan Regulasi Konten di Indonesia: Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Pertarungan mengenai regulasi konten di Indonesia masih jauh dari selesai. Ini adalah medan yang terus bergerak, dipengaruhi oleh teknologi baru, dinamika politik, dan tuntutan publik.
Beberapa tren yang mungkin akan kita lihat di masa depan adalah perdebatan yang lebih intens mengenai revisi UU ITE agar lebih melindungi kebebasan sipil sambil tetap efektif memberantas konten ilegal. Kemunculan AI generatif yang mampu menciptakan deepfake dan misinformasi canggih akan menjadi medan pertempuran berikutnya. Pemerintah dan platform digital harus berlomba dengan waktu untuk menciptakan mekanisme deteksi dan penandaan (labelling) konten buatan AI. Ketegasan pemerintah dalam memberantas judi online melalui Satgas khusus bisa menjadi model atau cetak biru untuk menangani jenis konten berbahaya lainnya di masa depan. Dialog multi-pihak yang melibatkan pemerintah, perusahaan teknologi, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil akan menjadi kunci. Menemukan formula regulasi konten yang tepat adalah sebuah keharusan. Kesalahan dalam merancang aturan tidak hanya akan merugikan industri platform digital, tetapi juga bisa mengorbankan hak-hak digital warga negara. Pada akhirnya, perdebatan ini bukan hanya soal teknologi atau hukum, melainkan tentang wajah digital Indonesia yang kita inginkan. Sebuah ruang yang bebas berekspresi, namun tetap aman dan bertanggung jawab. Menemukan keseimbangan itu adalah tantangan terbesar bagi pemerintah, platform digital, dan kita semua sebagai penggunanya.
Apa Reaksi Anda?






