Perjanjian Bongaya Titik Balik Perdagangan Rempah Sulawesi Abad 17

VOXBLICK.COM - Dunia sejarah penuh dengan kisah menarik, konflik, dan transformasi yang membentuk peradaban kita. Di antara lembaran-lembaran masa lalu yang kaya, terukir sebuah peristiwa yang menjadi titik balik krusial bagi peta perdagangan rempah di Sulawesi Selatan: Perjanjian Bongaya. Ditandatangani pada tanggal 18 November 1667, pakta ini bukan sekadar lembaran tinta, melainkan sebuah palu godam yang memecah hegemoni Kesultanan Gowa dan membuka jalan bagi dominasi penuh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atas salah satu jalur rempah paling vital di Nusantara.
Abad ke-17 adalah era persaingan sengit antara kekuatan Eropa untuk menguasai sumber daya rempah-rempah yang tak ternilai harganya.
Di tengah gelombang ambisi kolonial ini, Kesultanan Gowa, dengan ibu kota di Makassar, tampil sebagai kekuatan maritim dan perdagangan yang tangguh. Makassar kala itu dikenal sebagai pelabuhan bebas yang ramai, tempat bertemunya pedagang dari berbagai penjuru dunia, dari Eropa hingga Tiongkok, dari Melayu hingga Arab. Kebebasan perdagangan inilah yang menjadi duri dalam daging bagi VOC, yang berambisi untuk memonopoli seluruh jalur rempah, terutama cengkeh dan pala dari Maluku.

Gowa: Benteng Perdagangan Bebas di Timur Nusantara
Sebelum Perjanjian Bongaya, Kesultanan Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin adalah kekuatan yang disegani.
Sultan yang berjuluk "Ayam Jantan dari Timur" ini gigih mempertahankan kedaulatan dan prinsip perdagangan bebas yang telah menjadikan Makassar makmur. Ia menolak keras upaya VOC untuk membatasi aktivitas perdagangan, terutama bagi para pedagang yang membawa rempah-rempah keluar dari wilayah monopoli VOC di Maluku. Gowa menjadi tempat perlindungan bagi pedagang-pedagang yang ingin menghindari cengkeraman ketat VOC, yang pada gilirannya memicu kemarahan dan ambisi ekspansif perusahaan dagang Belanda tersebut.
Konflik antara Gowa dan VOC sebenarnya telah berakar jauh sebelum tahun 1667. Serangkaian ekspedisi militer dan blokade laut dilancarkan oleh VOC untuk memaksa Gowa tunduk.
Namun, ketangguhan benteng-benteng Gowa dan semangat juang rakyatnya, di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, berhasil menahan laju agresor. Pertempuran demi pertempuran pecah, mengukir kisah keberanian dan perlawanan yang heroik, meskipun pada akhirnya, kekuatan militer yang superior dan taktik pecah belah VOC mulai menunjukkan taringnya.
Konflik Membara dan Jatuhnya Benteng Somba Opu
Puncak konflik terjadi pada tahun 1666-1669, yang dikenal sebagai Perang Makassar. VOC, di bawah komando Laksamana Cornelis Speelman, mengerahkan armada besar dan memanfaatkan perselisihan internal di antara kerajaan-kerajaan lokal.
Dengan taktik licik, VOC berhasil menggandeng Aru Palakka, seorang bangsawan Bugis dari Bone yang memiliki dendam terhadap Gowa. Aliansi ini terbukti menjadi pukulan telak bagi Kesultanan Gowa.
Benteng Somba Opu, simbol kekuatan dan kemandirian Gowa, menjadi sasaran utama serangan gabungan VOC dan sekutunya.
Setelah pengepungan yang panjang dan pertempuran sengit yang menguras tenaga, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh pada Juni 1669. Kekalahan ini memaksa Sultan Hasanuddin untuk menerima persyaratan damai yang sangat memberatkan, yang kemudian diresmikan dalam Perjanjian Bongaya. Kekalahan militer ini bukan hanya kerugian teritorial, tetapi juga kerugian moral dan politik yang mendalam bagi Kesultanan Gowa.
Butir-Butir Perjanjian Bongaya: Membungkam Makassar
Perjanjian Bongaya adalah dokumen yang secara efektif mengakhiri kemerdekaan perdagangan Gowa dan membuka jalan bagi monopoli VOC. Beberapa poin penting dalam perjanjian tersebut meliputi:
- Pengakuan Monopoli VOC: Kesultanan Gowa harus mengakui hak monopoli VOC atas perdagangan di seluruh wilayahnya. Ini berarti pedagang Gowa tidak lagi diizinkan berdagang rempah secara bebas dengan pihak lain.
- Pengusiran Pedagang Asing: Semua pedagang asing, kecuali VOC, harus meninggalkan Makassar. Ini termasuk pedagang Portugis, Inggris, dan Denmark yang sebelumnya memiliki hubungan dagang erat dengan Gowa.
- Pembatasan Kekuatan Militer Gowa: Gowa harus menghancurkan semua benteng pertahanan kecuali Benteng Somba Opu (yang kemudian dinamai Fort Rotterdam oleh VOC) dan tidak diperbolehkan membangun benteng baru.
- Pembayaran Ganti Rugi: Gowa diwajibkan membayar biaya perang dan ganti rugi kepada VOC.
- Pengangkatan Aru Palakka: Gowa harus mengakui Aru Palakka sebagai penguasa Bone yang merdeka dan sekutu VOC.
- Pemberian Hak VOC: VOC diberi hak untuk mendirikan benteng dan kantor dagang di Makassar, serta mengontrol pelayaran di perairan sekitar Sulawesi.
Butir-butir perjanjian ini adalah pukulan telak bagi Gowa. Dari sebuah kerajaan maritim yang berdaulat dan pusat perdagangan bebas yang dinamis, Gowa dipaksa menjadi entitas yang tunduk pada kehendak VOC.
Jalur rempah yang sebelumnya menjadi sumber kemakmuran dan kekuatan Gowa kini sepenuhnya berada dalam genggaman perusahaan dagang Belanda tersebut.
Dampak Jangka Panjang: Runtuhnya Dominasi Rempah Gowa
Pasca-Perjanjian Bongaya, peta perdagangan rempah di Sulawesi Selatan berubah drastis. Makassar yang dulunya ramai dan kosmopolitan, perlahan meredup.
Alih-alih menjadi pelabuhan bebas, Makassar kini berfungsi sebagai pos perdagangan VOC yang ketat, mengawasi setiap pergerakan rempah dari Maluku ke barat. Para pedagang lokal kehilangan kebebasan mereka, dan ekonomi Gowa mengalami kemunduran signifikan. VOC berhasil mengamankan monopoli rempah-rempah yang mereka idamkan, menguasai produksi dan distribusinya, serta memetik keuntungan besar yang mengalir ke kas perusahaan di Batavia dan Amsterdam.
Perjanjian ini juga memiliki implikasi politik yang luas. Kekuatan kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi menjadi terpecah belah dan semakin tergantung pada VOC.
Gowa, meskipun terus melakukan perlawanan sporadis, tidak pernah lagi mencapai kejayaan dan kemerdekaan perdagangan seperti sebelumnya. Perjanjian Bongaya adalah simbol dari bagaimana kekuatan kolonial Eropa berhasil menancapkan pengaruhnya secara mendalam, mengubah struktur ekonomi dan politik Nusantara untuk berabad-abad mendatang.
Kisah Perjanjian Bongaya adalah pengingat akan kompleksitas sejarah, di mana ambisi, kekuatan, dan perlawanan saling berjalin.
Dari peristiwa ini, kita belajar tentang pentingnya kedaulatan ekonomi, strategi diplomasi, dan konsekuensi dari perpecahan internal. Memahami momen-momen krusial seperti ini membantu kita menghargai perjalanan panjang sebuah bangsa dan relevansi sejarah dalam membentuk identitas serta tantangan masa kini.
Apa Reaksi Anda?






