Tinggalkan Kota Besar Gen Z Temukan Surga Baru di Co-Living


Sabtu, 20 September 2025 - 23.30 WIB
Tinggalkan Kota Besar Gen Z Temukan Surga Baru di Co-Living
Gen Z Digital Nomad Co-Living (Foto oleh Jane Le di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernahkah kamu duduk di tengah kemacetan jam pulang kerja, menatap gedung-gedung pencakar langit, dan bertanya pada diri sendiri, Apakah ini semua sepadan?. Biaya hidup yang terus meroket, waktu yang habis di jalan, dan rasa sepi di tengah keramaian adalah realita yang dihadapi banyak profesional muda dan Gen Z di kota-kota metropolitan. Namun, sebuah pergeseran besar sedang terjadi. Revolusi kerja remote yang dipercepat oleh pandemi telah membuka pintu bagi sebuah alternatif yang dulu hanya mimpi bagi sebagian orang, yaitu gaya hidup nomaden. Kini, semakin banyak Gen Z yang berani mengambil langkah untuk meninggalkan kota besar, bukan untuk kabur, melainkan untuk merancang kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna. Mereka menemukan jawaban dalam konsep yang kian populer, yaitu co-living, sebuah model hunian yang tidak hanya menawarkan tempat tinggal, tetapi juga komunitas dan fleksibilitas. Ini adalah kisah tentang bagaimana para digital nomad generasi baru mendefinisikan ulang arti sukses dan kebahagiaan.

Kenapa Gen Z Mulai Gerah dengan Kehidupan Kota Besar?

Kota besar selalu identik dengan peluang. Pusat ekonomi, hiburan, dan inovasi. Namun di balik gemerlapnya, ada sisi gelap yang semakin dirasakan oleh generasi muda, terutama Gen Z.

Tekanan untuk terus produktif, persaingan ketat, dan ekspektasi sosial yang tinggi seringkali menguras energi mental dan fisik. Faktor utamanya adalah biaya hidup yang tidak masuk akal. Harga sewa apartemen studio di pusat Jakarta, misalnya, bisa dengan mudah menghabiskan sepertiga hingga setengah dari gaji seorang fresh graduate. Ini belum termasuk biaya transportasi, makan, dan hiburan yang juga tinggi. Akibatnya, banyak yang hidup dari gaji ke gaji, tanpa ruang untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depan.

Selain masalah finansial, ada isu kesehatan mental dan kesepian. Paradoks kota besar adalah kamu dikelilingi jutaan orang tetapi bisa merasa sangat sendirian.

Rutinitas yang monoton, pergi pagi pulang malam, seringkali tidak menyisakan energi untuk bersosialisasi secara berkualitas. Menurut laporan American Psychological Association, Gen Z secara konsisten melaporkan tingkat stres dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Tekanan untuk sukses secara konvensional, ditambah dengan citra kehidupan sempurna di media sosial, menciptakan jurang antara realita dan ekspektasi. Ini mendorong banyak anak muda untuk mencari alternatif, sebuah gaya hidup yang lebih otentik dan mendukung kesejahteraan holistik. Keputusan untuk meninggalkan kota besar bukan lagi soal menyerah, tetapi sebuah pilihan sadar untuk memprioritaskan kualitas hidup. Mereka mencari tempat di mana kerja bukan satu-satunya identitas, dan di mana koneksi manusiawi lebih dihargai daripada status. Inilah yang membuat gaya hidup nomaden sebagai seorang digital nomad menjadi sangat menarik.

Co-Living Jawaban untuk Digital Nomad Modern

Saat kamu membayangkan seorang digital nomad, mungkin yang terlintas adalah gambaran seseorang bekerja dengan laptop di pinggir pantai.

Meskipun itu bisa menjadi bagian dari realita, tantangan terbesarnya adalah menemukan tempat tinggal yang fleksibel, terjangkau, dan yang terpenting, tidak membuatmu merasa terisolasi. Di sinilah konsep co-living hadir sebagai solusi yang nyaris sempurna. Co-living bukanlah sekadar indekos modern atau apartemen bersama. Ini adalah sebuah ekosistem hunian yang dirancang secara sengaja untuk menumbuhkan interaksi dan komunitas. Kamu mendapatkan kamar pribadi yang nyaman, tetapi berbagi fasilitas umum yang luar biasa seperti dapur modern, ruang kerja bersama (co-working space), area santai, gym, bahkan terkadang kolam renang.

Apa Itu Co-Living Sebenarnya?

Secara sederhana, co-living adalah model hunian komunal di mana para penghuni mendapatkan kamar tidur pribadi dalam sebuah properti, dengan akses ke ruang dan fasilitas bersama yang dikelola secara profesional.

Perbedaannya dengan apartemen biasa adalah adanya lapisan layanan dan komunitas. Pengelola co-living seringkali mengadakan acara rutin, mulai dari malam nonton film, kelas yoga, workshop keterampilan, hingga sesi networking. Tujuannya jelas, untuk menciptakan lingkungan di mana para penghuninya, yang seringkali merupakan digital nomad, pekerja remote, atau perantau, bisa dengan mudah terhubung satu sama lain. Kamu tidak perlu lagi pusing memikirkan tagihan listrik, internet, atau air, karena semuanya sudah termasuk dalam satu biaya sewa bulanan. Fleksibilitas ini sangat ideal untuk gaya hidup nomaden yang seringkali tidak menentu.

Keunggulan Co-Living yang Bikin Jatuh Hati

Popularitas co-living di kalangan Gen Z dan para pekerja remote bukan tanpa alasan. Model ini menawarkan solusi untuk banyak masalah yang dihadapi saat harus meninggalkan kota besar dan memulai hidup di tempat baru.


  • Komunitas Instan: Ini mungkin daya tarik terbesar. Pindah ke kota baru sendirian bisa terasa menakutkan. Di co-living, kamu langsung menjadi bagian dari sebuah komunitas co-living. Ada teman untuk ngobrol di dapur, rekan kerja untuk brainstorming di co-working space, dan partner untuk menjelajahi kota di akhir pekan. Ini adalah cara efektif untuk memerangi kesepian yang sering menghantui para digital nomad.

  • Fleksibilitas dan Kemudahan: Lupakan kontrak sewa tahunan yang mengikat. Kebanyakan co-living menawarkan kontrak bulanan yang fleksibel. Kamu bisa tinggal selama sebulan, tiga bulan, atau lebih, sesuai dengan rencanamu. Semua fasilitas sudah tersedia dan siap pakai, dari furnitur hingga koneksi WiFi super cepat. Kamu hanya perlu datang membawa koper dan laptop.

  • Fasilitas Premium dengan Harga Terjangkau: Dengan berbagi biaya, kamu bisa menikmati fasilitas yang mungkin terlalu mahal jika harus kamu sediakan sendiri. Ruang kerja yang nyaman, gym lengkap, atau area rooftop dengan pemandangan indah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan lagi sebuah kemewahan.

  • Fokus pada Keseimbangan Hidup: Banyak ruang co-living yang secara aktif mempromosikan work-life balance. Adanya ruang kerja yang terpisah dari kamar tidur membantumu menciptakan batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu istirahat, sebuah tantangan besar bagi para pekerja yang menganut sistem kerja remote.


Fenomena ini didukung oleh data. Laporan dari JLL, sebuah perusahaan layanan real estat global, menunjukkan bahwa permintaan untuk ruang hidup fleksibel seperti co-living terus meningkat di Asia Tenggara, didorong oleh generasi muda yang mobile dan mengutamakan pengalaman daripada kepemilikan. Lihat lebih lanjut dalam laporan mereka mengenai Co-living in Southeast Asia. Ini membuktikan bahwa co-living bukan hanya tren sesaat, tetapi sebuah respons nyata terhadap perubahan cara kita hidup dan bekerja.

Langkah Praktis Menjadi Digital Nomad dan Pindah ke Co-Living

Tertarik untuk mencoba? Transisi dari kehidupan kota yang terstruktur menjadi seorang digital nomad yang tinggal di co-living memang membutuhkan persiapan.

Ini bukan keputusan impulsif, melainkan sebuah proyek pribadi yang perlu direncanakan dengan matang. Berikut adalah langkah-langkah praktis yang bisa kamu ikuti untuk mewujudkan gaya hidup nomaden impianmu.

1. Evaluasi Keuangan Kamu Secara Brutal dan Jujur


Langkah pertama dan paling krusial adalah audit keuangan. Jangan hanya berpikir, Aku punya cukup uang untuk sebulan. Kamu harus memetakan semuanya.

Buat daftar pengeluaran bulananmu saat ini di kota besar dan bandingkan dengan estimasi biaya hidup di lokasi co-living tujuanmu. Jangan lupa memasukkan biaya tak terduga. Sangat penting untuk memiliki dana darurat, idealnya setara dengan 3-6 bulan biaya hidup. Dana ini akan menjadi jaring pengamanmu jika terjadi sesuatu, seperti laptop rusak atau kebutuhan mendadak lainnya. Mulailah membuat anggaran khusus untuk gaya hidup nomaden, alokasikan dana untuk transportasi, sewa co-living, makanan, asuransi kesehatan, dan tentu saja, hiburan.

2. Amankan Sumber Penghasilan Remote Kamu


Ini adalah fondasi dari kehidupan seorang digital nomad. Tanpa penghasilan yang stabil, impianmu akan cepat pupus. Jika kamu sudah memiliki pekerjaan, mulailah berdiskusi dengan atasanmu tentang kemungkinan untuk beralih ke mode kerja remote penuh. Siapkan proposal yang kuat. Tunjukkan data produktivitasmu selama masa kerja dari rumah, jelaskan bagaimana kamu akan tetap terhubung dan kolaboratif dengan tim. Sebuah studi terkenal dari Universitas Stanford oleh Nicholas Bloom menunjukkan bahwa kerja remote dapat meningkatkan produktivitas, asalkan dilakukan dalam lingkungan yang tepat. Kamu bisa menggunakan fakta ini sebagai argumen pendukung. Pelajari lebih lanjut tentang studi tersebut di sini. Jika pekerjaanmu saat ini tidak memungkinkan, jangan berkecil hati. Mulailah mencari peluang kerja yang sepenuhnya remote di platform seperti LinkedIn, RemoteOK, atau Upwork. Bangun portofoliomu dan mulailah melamar.

3. Riset dan Pilih Co-Living yang Tepat untukmu


Tidak semua co-living diciptakan sama. Melakukan riset mendalam adalah kunci untuk menemukan tempat yang benar-benar cocok dengan kepribadian dan kebutuhanmu. Pertimbangkan beberapa faktor ini:

  • Lokasi: Apakah kamu mencari ketenangan di pinggir kota atau suasana yang lebih hidup di dekat pusat keramaian? Pertimbangkan akses ke transportasi, kafe, dan fasilitas umum lainnya.

  • Komunitas: Baca ulasan dan lihat media sosial co-living tersebut. Apakah komunitasnya terlihat aktif dan sesuai dengan minatmu? Beberapa co-living lebih fokus pada profesional, sementara yang lain lebih santai dan kreatif. Temukan komunitas co-living yang pas.

  • Fasilitas: Buat daftar fasilitas yang wajib ada untukmu. Apakah itu internet super cepat, kursi kerja yang ergonomis, dapur yang lengkap, atau akses ke gym? Pastikan fasilitas yang ditawarkan sesuai dengan harganya.

  • Harga: Bandingkan harga dari beberapa pilihan. Ingat, harga yang lebih murah tidak selalu lebih baik jika fasilitas dan komunitasnya tidak mendukung produktivitas dan kenyamananmu.


Beberapa lokasi di Indonesia seperti Bali (Canggu, Ubud) dan Yogyakarta telah menjadi surga bagi para digital nomad dengan banyak pilihan co-living berkualitas.

4. Packing Cerdas ala Digital Nomad Minimalis


Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada barang-barang yang tidak perlu. Gaya hidup nomaden akan lebih mudah dijalani dengan pendekatan minimalis. Fokuslah pada barang-barang esensial.

Investasikan pada koper atau ransel berkualitas. Gulung pakaianmu untuk menghemat ruang. Bawa barang-barang multifungsi. Untuk barang elektronik, bawa yang benar-benar kamu butuhkan untuk kerja remote, seperti laptop, mouse, headphone dengan peredam bising, dan adaptor universal. Digitalisasi dokumen-dokumen pentingmu dan simpan di cloud agar mudah diakses dari mana saja. Semakin ringan barang bawaanmu, semakin bebas kamu bergerak.

5. Siapkan Mental dan Terbuka untuk Jaringan Baru


Transisi ini bukan hanya soal pindah lokasi fisik, tetapi juga perubahan mental. Kamu harus siap menjadi manajer bagi dirimu sendiri.

Disiplin dalam mengatur waktu kerja dan istirahat adalah kunci. Akan ada hari-hari di mana kamu merasa kesepian atau tidak termotivasi. Itu normal. Persiapkan dirimu untuk menghadapi tantangan ini. Saat tiba di co-living, jangan mengurung diri di kamar. Jadilah proaktif. Ikut serta dalam acara komunitas, sapa orang di dapur, atau ajak seseorang untuk minum kopi. Komunitas co-living adalah sumber daya terbesarmu, baik untuk pertemanan maupun peluang profesional.

Studi Kasus: Kisah Sukses Maya Meninggalkan Jakarta

Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata, mari kita lihat kisah Maya (bukan nama sebenarnya), seorang desainer grafis Gen Z berusia 25 tahun. Selama tiga tahun, Maya bekerja di sebuah agensi ternama di Jakarta.

Gajinya cukup baik, tetapi hidupnya terasa terkuras. Setiap hari ia menghabiskan hampir tiga jam di perjalanan, tiba di apartemen kecilnya sudah larut malam, terlalu lelah untuk melakukan hal lain selain scroll media sosial. Ia merasa terjebak dalam siklus kerja-macet-tidur.

Puncaknya terjadi saat ia mengalami burnout. Maya memutuskan butuh perubahan drastis. Setelah bernegosiasi alot dengan perusahaannya, ia berhasil mendapatkan izin untuk kerja remote penuh. Langkah selanjutnya adalah meninggalkan kota besar.

Ia memilih sebuah co-living di daerah Canggu, Bali, yang terkenal dengan komunitas digital nomad yang vibrant.

Bulan pertama adalah masa adaptasi. Ia harus belajar disiplin untuk bekerja tanpa pengawasan langsung dan proaktif membangun koneksi di lingkungan barunya. Namun, perlahan tapi pasti, hidupnya berubah.

Pagi hari ia bisa berselancar sebelum mulai bekerja. Jam makan siang ia habiskan dengan berdiskusi ide proyek bersama penghuni co-living lain yang berasal dari berbagai negara dan latar belakang profesi. Sore hari, setelah pekerjaannya selesai, ia bisa menikmati matahari terbenam di pantai. Produktivitas kerjanya justru meningkat karena ia lebih bahagia dan tidak stres. Ia bahkan mendapatkan beberapa proyek freelance dari jaringan yang ia bangun di komunitas co-living tersebut. Bagi Maya, keputusan untuk menjadi digital nomad dan pindah ke co-living adalah investasi terbaik untuk karier dan kesejahteraan mentalnya.

Tantangan Tersembunyi di Balik Gaya Hidup Nomaden

Tentu saja, gaya hidup ini bukanlah tanpa tantangan. Menggambarkan kehidupan digital nomad sebagai liburan tanpa akhir adalah hal yang tidak realistis. Penting untuk mengetahui kedua sisi mata uang agar kamu bisa mempersiapkan diri dengan baik.

Salah satu tantangan terbesar adalah kaburnya batasan antara kerja dan kehidupan pribadi. Ketika apartemen atau kamarmu juga berfungsi sebagai kantor, sangat mudah untuk terus bekerja di luar jam seharusnya. Ini bisa mengarah pada kelelahan dan burnout, ironisnya, hal yang sama yang coba dihindari saat meninggalkan kota besar.

Tantangan lainnya adalah ketidakpastian dan kurangnya rutinitas. Bagi sebagian orang, kebebasan ini menyenangkan. Namun bagi yang lain, tidak adanya rutinitas yang stabil bisa menimbulkan kecemasan.

Kamu juga harus siap menghadapi masalah teknis, seperti koneksi internet yang tidak stabil atau perbedaan zona waktu jika bekerja dengan tim global. Selain itu, membangun hubungan yang mendalam bisa menjadi lebih sulit ketika kamu atau orang-orang di sekitarmu terus bergerak. Tentu, pengalaman setiap orang bisa berbeda. Apa yang berhasil untuk satu digital nomad mungkin perlu penyesuaian untuk yang lain. Kunci untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan membangun disiplin diri yang kuat, secara sadar menciptakan rutinitas yang sehat, dan proaktif dalam merawat koneksi sosialmu.

Langkah meninggalkan kota besar untuk merangkul gaya hidup nomaden melalui co-living adalah sebuah perjalanan transformatif yang jauh lebih dalam dari sekadar pindah alamat.

Ini adalah tentang mengambil kendali penuh atas hidupmu, mendefinisikan kembali apa arti rumah dan kantor, serta secara sadar memilih komunitas yang mendukung pertumbuhanmu. Bagi Gen Z, yang mendambakan fleksibilitas, makna, dan keseimbangan, model kehidupan ini bukan lagi sebuah fantasi, melainkan sebuah pilihan yang sangat nyata dan dapat dicapai. Perjalanan ini memang menuntut keberanian, perencanaan, dan kemampuan beradaptasi. Namun, imbalannya adalah kebebasan untuk merancang kehidupan yang benar-benar selaras dengan nilai-nilai pribadimu, sebuah kemewahan yang tidak bisa dinilai dengan uang di tengah hiruk pikuk dunia modern.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0