Bisakah Lautan Disulap Jadi Penyerap Karbon Super? Ini Jawaban Ilmuwan!

VOXBLICK.COM - Di lepas pantai Teluk Maine, sebuah pusaran berwarna merah muda fluorescent yang mencolok akan segera mekar di permukaan laut.
Ini bukan tumpahan kimia atau fenomena alam yang aneh, melainkan sebuah eksperimen terkendali yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI).
Mereka dengan sengaja melepaskan pewarna non toksik untuk melacak pergerakan air, sebuah langkah awal dalam proyek ambisius yang mungkin memegang salah satu kunci untuk mengatasi krisis iklim.
Eksperimen ini adalah bagian dari bidang ilmu yang berkembang pesat dan kontroversial yang dikenal sebagai rekayasa iklim atau geoengineering.
Tujuannya adalah untuk menguji apakah kita dapat secara aktif memanipulasi sistem samudra untuk menyerap lebih banyak karbon dioksida (CO2) dari atmosfer.
Saat dunia berjuang untuk menekan laju pemanasan global, intervensi semacam ini menjadi topik perdebatan yang semakin mendesak.

Apa Sebenarnya Rekayasa Iklim Lautan Itu?
Secara sederhana, rekayasa iklim lautan adalah serangkaian teknik yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan alami lautan dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Lautan sudah menjadi penyerap karbon terbesar di planet ini, menyerap sekitar 25-30% emisi CO2 yang dihasilkan manusia.
Namun, kapasitas ini tidak tak terbatas dan prosesnya memperlambat laju perubahan iklim dengan konsekuensi, yaitu pengasaman laut.
Para ilmuwan kini menjajaki cara-cara untuk 'meningkatkan' proses ini.
Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2023 menekankan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca saja tidak akan cukup untuk memenuhi target Perjanjian Paris dan menghindari dampak terburuk dari krisis iklim.
Laporan tersebut menyoroti kebutuhan mendesak untuk secara aktif menghilangkan karbon dari atmosfer, sebuah proses yang dikenal sebagai Carbon Dioxide Removal (CDR).
Di sinilah geoengineering lautan masuk.
Idenya bukan untuk menggantikan upaya pengurangan emisi, tetapi untuk melengkapinya sebagai alat tambahan dalam perang melawan perubahan iklim.
Ada beberapa metode yang diusulkan, mulai dari menyuburkan lautan dengan zat besi untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton penyerap karbon hingga metode yang lebih kompleks seperti peningkatan alkalinitas laut (Ocean Alkalinity Enhancement - OAE).
Eksperimen Ambisius di Teluk Maine: Sebuah Tinjauan Mendalam
Eksperimen yang dipimpin oleh Woods Hole Oceanographic Institution adalah contoh nyata dari pendekatan yang hati-hati dan terukur terhadap rekayasa iklim.
Proyek yang disetujui secara federal ini tidak langsung mengubah kimia laut.
Sebaliknya, pelepasan pewarna pelacak bertujuan untuk memahami sesuatu yang fundamental: bagaimana air bergerak, bercampur, dan menyebar di wilayah pesisir yang dinamis.
Data dari pergerakan pewarna ini akan sangat penting untuk membuat model komputer yang akurat.
Model-model ini nantinya akan digunakan untuk mensimulasikan apa yang akan terjadi jika bahan lain seperti zat alkali dilepaskan dalam skala yang lebih besar untuk tujuan penyerapan karbon laut.
Ini adalah langkah pertama yang krusial.
Tanpa memahami dinamika fisik lautan, setiap upaya geoengineering skala besar akan menjadi tebakan berbahaya.
Para peneliti di WHOI ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci: Seberapa cepat materi yang ditambahkan akan larut?
Seberapa luas penyebarannya?
Berapa lama ia akan bertahan di suatu area sebelum terbawa arus?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan kelayakan dan keamanan teknik rekayasa iklim di masa depan.
Sains di Balik Penyerapan Karbon Laut
Untuk memahami potensi geoengineering lautan, kita perlu memahami siklus karbon laut.
Ketika CO2 dari atmosfer larut dalam air laut, ia memicu serangkaian reaksi kimia.
Salah satu metode rekayasa iklim yang paling menjanjikan, Ocean Alkalinity Enhancement (OAE), bekerja dengan menambahkan zat basa (alkali) seperti mineral olivin atau kapur ke laut.
Penambahan ini secara efektif menetralkan keasaman laut dan meningkatkan 'kapasitas penyangga' kimianya.
Dalam istilah yang lebih sederhana, ini seperti memberikan antasida raksasa pada lautan.
Lautan yang lebih basa dapat menarik lebih banyak CO2 dari atmosfer untuk mencapai keseimbangan kimia baru.
Karbon yang diserap ini kemudian diubah menjadi ion bikarbonat dan karbonat, bentuk-bentuk stabil yang dapat bertahan di lautan selama ribuan tahun.
Ini adalah kunci dari strategi penyerapan karbon laut jangka panjang.
Keindahan dari pendekatan ini adalah ia mengatasi dua masalah sekaligus: mengurangi CO2 di atmosfer untuk memerangi pemanasan global dan melawan pengasaman laut yang mengancam terumbu karang, kerang, dan ekosistem laut lainnya.
Namun, teori yang terdengar elegan ini harus diuji di dunia nyata, dan itulah tujuan dari eksperimen-eksperimen awal seperti yang dilakukan di Teluk Maine.
Potensi vs. Risiko: Pedang Bermata Dua Geoengineering
Potensi rekayasa iklim lautan sangat besar.
Lautan mencakup lebih dari 70% permukaan bumi, dan jika kapasitas penyerapan karbon laut dapat ditingkatkan bahkan hanya sedikit, dampaknya terhadap konsentrasi CO2 atmosfer bisa sangat signifikan.
Ini bisa menjadi alat yang kuat untuk membantu 'membeli waktu' bagi dunia untuk bertransisi ke ekonomi nol karbon.
Namun, antusiasme ini diimbangi dengan kewaspadaan yang besar.
Lautan adalah sistem yang sangat kompleks dan saling terhubung.
Mengubah kimianya dalam skala besar dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan dan mungkin tidak dapat diubah.
Para kritikus geoengineering menyuarakan keprihatinan yang valid: - Dampak Ekologis Tidak Diketahui: Apa efek penambahan mineral alkali dalam jumlah besar terhadap kehidupan laut?
Bagaimana dampaknya pada jaring makanan, dari mikroorganisme hingga paus?
Apakah bisa memicu ledakan alga yang berbahaya?
- Keadilan dan Tata Kelola: Siapa yang berhak memutuskan untuk merekayasa lautan, yang merupakan sumber daya global?
Negara mana yang akan menanggung risiko dan siapa yang akan menuai manfaat?
Belum ada kerangka hukum internasional yang kuat untuk mengatur rekayasa iklim.
- Moral Hazard: Ada kekhawatiran bahwa prospek 'perbaikan teknis' untuk perubahan iklim dapat mengurangi urgensi untuk mengurangi emisi, yang merupakan akar masalahnya.
Para pendukung geoengineering menekankan bahwa ini harus menjadi pelengkap, bukan pengganti, dekarbonisasi.
Penting untuk diingat bahwa teknologi rekayasa iklim ini masih dalam tahap eksperimental, dan dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem laut yang kompleks belum sepenuhnya dipahami.
Oleh karena itu, penelitian yang transparan, terkontrol, dan ditinjau oleh rekan sejawat seperti yang dilakukan WHOI sangat penting untuk membangun pemahaman sebelum mempertimbangkan penerapan skala besar.
Peran Institusi dan Regulasi Global
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kebutuhan akan pengawasan dan regulasi yang kuat menjadi semakin mendesak.
Proyek WHOI menunjukkan model yang bertanggung jawab: mereka bekerja dalam batas-batas peraturan nasional yang ada dan berkomitmen pada transparansi penuh.
Namun, ketika skala eksperimen rekayasa iklim meningkat, diperlukan konsensus dan aturan main internasional.
Organisasi seperti PBB dan badan-badan ilmiah internasional lainnya mulai bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan sulit seputar geoengineering.
Mengembangkan kode etik, protokol penilaian risiko, dan mekanisme pengawasan akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap intervensi di masa depan dilakukan dengan cara yang aman, adil, dan efektif.
Perdebatan ini bukan hanya tentang sains; ini tentang etika, politik, dan masa depan planet kita dalam menghadapi krisis iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara dunia mengamati dengan campuran harapan dan kekhawatiran, pusaran merah muda di Teluk Maine melambangkan lebih dari sekadar eksperimen ilmiah.
Ini adalah langkah nyata ke perbatasan baru yang penuh ketidakpastian dalam perjuangan kolektif kita melawan perubahan iklim.
Ini adalah pengakuan diam-diam bahwa solusi-solusi konvensional mungkin tidak cukup cepat, memaksa kita untuk mempertimbangkan yang sebelumnya tak terpikirkan.
Pertanyaan yang tersisa bukanlah lagi 'bisakah kita melakukannya?', tetapi 'haruskah kita melakukannya?', dan jika demikian, 'bagaimana kita melakukannya dengan benar?'.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan membentuk warisan kita untuk generasi mendatang.
Dapatkan Update Informasi Terbaru dari Kami dengan Ikuti Channel Telegram Kami VOXBLICK