Dari Korset ke Kebebasan: Mode Abad ke-20 dan Transformasi Wanita

Oleh VOXBLICK

Kamis, 09 Oktober 2025 - 00.55 WIB
Dari Korset ke Kebebasan: Mode Abad ke-20 dan Transformasi Wanita
Mode Abad 20 Wanita (Foto oleh Vika Glitter)

VOXBLICK.COM - Menjelang fajar abad ke-20, dunia wanita masih terbelenggu oleh konvensi sosial yang kaku, dan tidak ada yang lebih melambangkan pembatasan ini selain korset. Pakaian dalam yang mengikat, dirancang untuk membentuk siluet "jam pasir" yang diinginkan, bukan hanya sekadar tren mode ia adalah metafora fisik dari batasan yang dikenakan pada tubuh dan jiwa wanita. Namun, dengan datangnya abad baru, angin perubahan mulai berembus, dan mode, yang seringkali dianggap sepele, justru menjadi garis depan revolusi. Artikel ini akan menyelami secara mendalam bagaimana mode abad ke-20 menjadi cerminan dan pendorong utama dalam transformasi identitas gender dan perjuangan emansipasi wanita, dari belenggu korset yang membatasi hingga kebebasan pakaian yang memberdayakan.

Abad ke-20 adalah panggung bagi pergolakan sosial, politik, dan ekonomi yang tak terhitung jumlahnya, dan setiap dekade meninggalkan jejaknya pada kanvas mode.

Pada awal 1900-an, siluet "S-bend" yang didikte oleh korset masih dominan, menekan dada ke depan dan punggung melengkung ke belakang. Ini adalah era Belle Époque, masa kemewahan dan formalitas, di mana gaun panjang, topi lebar, dan detail rumit adalah norma. Namun, di balik kemegahan itu, benih-benih pemberontakan mulai tumbuh. Desainer visioner seperti Paul Poiret mulai menantang tirani korset, memperkenalkan gaun longgar dan tunik yang memungkinkan wanita bernapas dan bergerak lebih bebas. Ini bukan hanya perubahan gaya, melainkan deklarasi awal kemandirian.

Dari Korset ke Kebebasan: Mode Abad ke-20 dan Transformasi Wanita
Dari Korset ke Kebebasan: Mode Abad ke-20 dan Transformasi Wanita (Foto oleh Artem Podrez)

Revolusi Flapper dan Roaring Twenties: Memangkas Batasan

Perang Dunia I (1914-1918) menjadi katalisator tak terduga bagi perubahan mode dan emansipasi wanita. Ketika pria pergi ke medan perang, wanita melangkah ke pabrik dan kantor, mengambil peran yang sebelumnya dianggap maskulin.

Kebutuhan akan pakaian yang lebih praktis dan fungsional memicu pergeseran drastis. Setelah perang, semangat kebebasan dan optimisme meledak dalam era "Roaring Twenties". Inilah masa kebangkitan "flapper" – wanita muda yang menolak konvensi sosial. Mereka memangkas rambut menjadi bob, memperpendek rok hingga lutut (sebuah tindakan yang mengejutkan pada masanya), dan membuang korset demi gaun longgar yang memungkinkan mereka menari Charleston dengan bebas. Siluet yang lebih lurus, atau "garçonne" (boyish), melambangkan penolakan terhadap feminitas yang diatur dan penerimaan identitas gender yang lebih cair.

Ikon mode seperti Coco Chanel memainkan peran krusial dalam revolusi ini. Chanel mempopulerkan kain jersey yang nyaman, setelan yang terinspirasi pakaian pria, dan "little black dress" yang abadi.

Filosofinya adalah tentang kesederhanaan, kenyamanan, dan keanggunan yang tidak membatasi, memberdayakan wanita untuk menjalani hidup aktif tanpa hambatan pakaian. Ini adalah langkah maju yang signifikan dalam perjuangan wanita untuk mendapatkan kebebasan pribadi dan ekspresi diri.

Dari Pragmatisme Perang ke Kembalinya Feminitas: 1930-an hingga 1950-an

Depresi Hebat pada tahun 1930-an membawa kembali gaya yang lebih konservatif dan praktis, dengan rok yang lebih panjang dan siluet yang lebih lembut, namun tanpa kembali ke kekangan korset abad sebelumnya.

Perang Dunia II (1939-1945) kembali memaksa mode ke arah pragmatisme. "Utility fashion" dengan bahan terbatas dan desain fungsional menjadi standar. Celana panjang, yang sebelumnya tabu bagi wanita, menjadi pakaian kerja yang umum di pabrik dan di rumah, secara permanen mengubah persepsi tentang pakaian wanita.

Pasca-perang, pada tahun 1947, Christian Dior memperkenalkan "New Look" yang revolusioner. Dengan pinggang yang ketat, bahu lembut, dan rok penuh yang menggunakan banyak kain, Dior mengembalikan siluet ultra-feminin yang mewah.

Meskipun beberapa feminis awal mengkritiknya karena dianggap mengembalikan wanita ke dalam "sangkar emas" feminitas, "New Look" juga dilihat sebagai perayaan keindahan dan kemewahan setelah masa perang yang suram. Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun siluetnya kembali menonjolkan pinggang, fondasinya jauh lebih ringan dan kurang membatasi dibandingkan korset era Victoria. Wanita memiliki pilihan, bukan paksaan.

Era Pembebasan Radikal: 1960-an dan 1970-an

Dekade 1960-an dan 1970-an menyaksikan ledakan kebebasan mode yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Gerakan "Youthquake" yang dipimpin oleh ikon seperti Twiggy dan desainer seperti Mary Quant membawa miniskirt ke garis depan, melambangkan penolakan total terhadap batasan generasi sebelumnya. Ini adalah era eksperimen, di mana gaya menjadi alat ekspresi identitas pribadi dan penolakan terhadap otoritas. Gerakan feminis gelombang kedua secara langsung mempengaruhi mode, dengan banyak wanita memilih untuk menolak bra, mengenakan celana panjang, dan merangkul gaya yang lebih androgini atau bohemian. Mode unisex menjadi populer, mengikis batasan tradisional antara pakaian pria dan wanita.

Gaya hippie pada akhir 60-an dan awal 70-an, dengan kain alami, motif etnik, dan siluet longgar, adalah manifestasi lain dari pencarian kebebasan dan penolakan terhadap konsumerisme massal.

Celana bell-bottom, rok maxi, dan blus longgar menjadi simbol pemberontakan budaya dan spiritual. Mode bukan lagi tentang mengikuti aturan, melainkan tentang menciptakan aturan sendiri.

Power Dressing dan Individualisme: 1980-an dan 1990-an

Pada tahun 1980-an, ketika wanita semakin banyak memasuki dunia korporat, "power dressing" menjadi tren. Setelan dengan bantalan bahu yang kuat, terinspirasi dari gaya maskulin, melambangkan kekuatan dan otoritas wanita di tempat kerja.

Ikon seperti Madonna juga mendefinisikan ulang feminitas dengan menggabungkan elemen punk, fetish, dan glamor, mendorong batas-batas penerimaan dan ekspresi diri. Dekade ini menunjukkan bahwa wanita bisa tampil feminin dan kuat secara bersamaan.

Tahun 1990-an membawa gelombang baru individualisme dan minimalisme. Gaya grunge menolak kemewahan dan kesempurnaan, merangkul estetika yang lebih santai dan autentik.

Pada saat yang sama, mode jalanan (street style) mulai mendapatkan pengaruh yang signifikan, menunjukkan bahwa inspirasi gaya bisa datang dari mana saja, bukan hanya dari rumah mode Paris atau Milan. Ini adalah puncak dari perjalanan panjang di mana mode telah bergeser dari alat kontrol menjadi platform untuk ekspresi identitas yang beragam dan personal.

Dari korset yang membelenggu hingga pakaian bebas yang memberdayakan, mode abad ke-20 adalah narasi visual yang luar biasa tentang perjuangan dan kemenangan wanita.

Setiap jahitan, setiap siluet, dan setiap tren baru mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas, memberikan wanita suara dan kebebasan yang belum pernah mereka miliki sebelumnya. Ini adalah bukti nyata bagaimana sesuatu yang tampak sepele seperti pakaian bisa menjadi medan pertempuran dan alat pembebasan yang kuat dalam sejarah umat manusia. Perjalanan ini mengingatkan kita bahwa sejarah bukanlah sekadar serangkaian tanggal dan peristiwa, melainkan sebuah tapestry dinamis dari perubahan yang tak henti, di mana setiap generasi membangun di atas pondasi yang diletakkan sebelumnya. Dengan memahami bagaimana masyarakat dan identitas telah berevolusi melalui lensa mode, kita diajak untuk menghargai kompleksitas perjalanan waktu dan kekuatan individu dalam membentuk masa depan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0