Membongkar Fakta Tersembunyi: Bagaimana ChatGPT Gagal Memahami Emosi Manusia Secara Utuh

VOXBLICK.COM - ChatGPT sudah jadi bahan perbincangan di mana-mana, apalagi soal kemampuannya berinteraksi seperti manusia.
Tapi, bicara soal emosi manusia, apakah kecerdasan buatan ini benar-benar paham atau cuma sekadar menebak nebak?
Banyak pengguna berharap AI seperti ChatGPT mampu mengerti perasaan, padahal kenyataannya masih jauh dari harapan.
Kata kunci seperti AI, emosi manusia, dan ChatGPT terus berulang saat bicara soal interaksi digital masa kini.
AI dan Emosi Manusia: Ilusi atau Realita?
Pernah ngobrol dengan ChatGPT saat lagi galau atau semangat?
Responsnya memang sopan dan terasa "manusiawi", tapi AI ini sebenarnya cuma menganalisis pola kata, bukan benar-benar merasakan atau memahami emosi manusia.
Studi dari berbagai institusi teknologi mengungkap bahwa AI, termasuk ChatGPT, masih kesulitan membaca konteks emosi secara mendalam.
Pengenalan wajah dan suara memang makin canggih, tapi untuk benar-benar memahami perasaan, belum ada AI yang bisa menandingi otak manusia.
Menurut laporan riset global, bahkan teknologi Theory of Mind AI yang dirancang untuk memahami pikiran dan emosi manusia masih jauh dari sempurna (Nature, 2025).
ChatGPT sendiri masih kerap gagal membedakan antara candaan, sarkasme, atau rasa sedih yang terselip dalam pesan pengguna.
Ini jadi catatan penting buat siapapun yang berharap AI bisa jadi sahabat curhat.
Studi Kasus: ChatGPT dalam Interaksi Sehari hari
Dalam salah satu studi kasus yang diangkat pada awal 2024, ChatGPT digunakan sebagai asisten HR untuk merekrut dan mengelola karyawan.
Hasilnya, AI ini memang bisa membantu menyederhanakan proses administratif, tapi ketika berhadapan dengan isu sensitif seperti kecemasan atau ketidakpuasan karyawan, responsnya terkesan datar dan kurang empati (SHRM, 2024).
Banyak yang akhirnya sadar bahwa AI belum bisa menggantikan sentuhan manusia dalam menangani masalah emosional.
Begitu juga dalam dunia pendidikan, penggunaan ChatGPT untuk tugas-tugas atau diskusi kelompok seringkali menghasilkan jawaban yang informatif, tapi terasa "dingin".
Guru dan siswa mengakui AI ini hebat dalam merangkum data, namun gagal menangkap nuansa perasaan yang penting dalam komunikasi antarmanusia.
Kenapa ChatGPT Sulit Memahami Emosi?
Ada alasan logis kenapa ChatGPT dan AI lain masih kesulitan memahami emosi manusia.
Pertama, AI hanya bisa belajar dari data yang sudah ada: teks, suara, gambar, atau ekspresi yang terekam.
Berbeda dengan manusia yang punya pengalaman hidup, intuisi, dan kemampuan membaca bahasa tubuh secara real time.
Kedua, AI masih belum punya "kesadaran diri" atau self awareness untuk benar-benar mengerti kenapa seseorang merasa marah, sedih, atau bahagia.
Walaupun sudah banyak algoritma canggih seperti natural language processing (NLP) dan machine learning yang dipasang di ChatGPT, kemampuan membaca emosi manusia tetap terbatas.
AI memang bisa mengenali kata-kata seperti "senang" atau "frustrasi", tapi belum tentu paham konteks di baliknya.
Bahkan dalam platform global seperti Teky di Vietnam, AI yang dipakai untuk edukasi masih harus diawasi agar tidak salah menangkap sinyal emosi dari murid.
Dampak Penggunaan AI pada Hubungan Manusia
Tren penggunaan AI seperti ChatGPT, Canva, dan Capcut memang bisa mempermudah banyak pekerjaan.
Tapi, jika dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan emosi manusia, tetap ada risiko hubungan jadi "dingin" dan kehilangan kepekaan.
Pengguna yang terlalu bergantung pada AI untuk curhat atau mencari solusi emosional malah bisa merasa tidak didengar.
Banyak peneliti menyoroti, tanpa kehadiran manusia, interaksi digital bisa kehilangan makna personal.
Di perusahaan-perusahaan global, AI memang membantu mengurangi bias dalam rekrutmen.
Namun, algoritma yang digunakan tetap bisa mencerminkan bias yang ada di data pelatihan.
Jadi, bukan berarti AI sepenuhnya netral atau lebih "manusiawi" dari manusia itu sendiri.
Unilever, misalnya, pernah menguji sistem AI untuk penilaian karyawan, tapi tetap membutuhkan verifikasi manual agar hasilnya adil.
Masa Depan: Akankah AI Benar-Benar Bisa Merasakan Emosi?
Para ahli AI dari MIT dan Stanford sepakat, butuh lompatan teknologi besar agar AI seperti ChatGPT benar-benar bisa memahami emosi manusia.
Sampai tahun 2060 pun, prediksi para peneliti menyebutkan AI baru akan bisa menyamai kecerdasan manusia, itupun jika perkembangan pesat tetap berlanjut (Scientific American, 2025).
Sekarang, keberagaman aspek hakikat manusia mulai dari asal usul sampai struktur metafisik menjadi tantangan utama yang belum bisa diterjemahkan oleh AI.
Walau begitu, riset tetap berjalan.
Di masa depan, bisa saja muncul AI yang lebih peka, dengan kemampuan membaca ekspresi wajah, intonasi suara, bahkan bahasa tubuh secara real time.
Tapi, untuk sekarang, AI seperti ChatGPT masih harus puas jadi asisten digital yang cerdas, bukan teman curhat yang mengerti isi hati.
Kritikus teknologi mengingatkan, sebaik apapun AI yang dikembangkan, jangan pernah menggantikan peran manusia dalam urusan emosi.
AI bisa jadi alat bantu hebat, tapi bukan pengganti kehangatan dan empati manusia asli.
Sebelum menjadikan ChatGPT sebagai "teman" utama, selalu pertimbangkan batasannya dan gunakan teknologi secara bijak.
Artikel ini hanya bertujuan sebagai informasi dan bukan sebagai pengganti nasihat profesional dalam bidang psikologi atau hubungan manusia.
Dapatkan Update Informasi Terbaru dari Kami dengan Ikuti Channel Telegram Kami VOXBLICK