Membedah Skema Burden Sharing Cara Unik Indonesia Atasi Krisis Ekonomi


Rabu, 10 September 2025 - 08.30 WIB
Membedah Skema Burden Sharing Cara Unik Indonesia Atasi Krisis Ekonomi
Skema Burden Sharing Indonesia (Foto oleh Abdul Ridwan di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana negara bisa tetap berjalan saat krisis besar seperti pandemi kemarin? Ketika banyak bisnis terpaksa tutup dan pemasukan negara dari pajak anjlok, tapi di sisi lain, pengeluaran untuk bantuan sosial dan kesehatan justru meroket. Dari mana datangnya dana untuk menutupi semua itu? Jawabannya terletak pada sebuah strategi keuangan tak biasa yang disebut skema burden sharing. Istilah ini mungkin terdengar rumit, tapi sebenarnya ini adalah sebuah gotong royong luar biasa antara dua pilar utama ekonomi Indonesia, yaitu Pemerintah dan bank sentral kita, Bank Indonesia. Ini bukan sekadar kebijakan biasa, melainkan sebuah langkah darurat yang mengubah sementara cara kerja mesin keuangan negara untuk bertahan dari guncangan hebat.

Memahami konsep ini sangat penting, bukan hanya untuk para ekonom, tapi juga untuk kita, para profesional muda dan investor.

Sebab, apa yang terjadi di level tertinggi ini punya riak yang sampai ke kondisi pasar, nilai investasi, bahkan tabungan kita. Keputusan yang diambil dalam skema burden sharing secara langsung memengaruhi stabilitas ekonomi makro, yang menjadi fondasi bagi semua aktivitas finansial pribadi kita. Jadi, mari kita bongkar bersama apa sebenarnya esensi dari kebijakan ini dan bagaimana dampaknya terasa di seluruh ekosistem finansial Indonesia, terutama pada dampak pasar modal.

Apa Itu Skema Burden Sharing yang Jadi Andalan Saat Krisis?

Bayangkan negara kita ini seperti sebuah keluarga besar. Pemerintah adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab atas pendapatan (pajak) dan pengeluaran (belanja negara).

Sementara itu, Bank Indonesia adalah bendahara keluarga yang bijak, tugasnya menjaga nilai uang (rupiah) agar tidak anjlok dan memastikan keuangan keluarga tetap sehat. Suatu hari, datanglah badai tak terduga bernama pandemi COVID-19. Pemasukan kepala keluarga tiba-tiba seret, tapi pengeluaran untuk kesehatan dan kebutuhan pokok membengkak. Dompet keluarga mulai tipis.

Dalam kondisi normal, jika butuh dana tambahan, kepala keluarga (Pemerintah) akan meminjam dari tetangga atau lembaga keuangan (investor di pasar modal) dengan menerbitkan surat utang. Namun, saat krisis, semua orang sedang susah.

Meminjam dari luar akan sangat mahal bunganya. Di sinilah bendahara keluarga (Bank Indonesia) turun tangan secara langsung. Inilah inti dari skema burden sharing, yang secara harfiah berarti berbagi beban. Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat untuk menanggung beban krisis ini bersama-sama.

Secara teknis, skema burden sharing adalah mekanisme di mana Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah langsung di pasar perdana. Ini adalah poin kuncinya.

Biasanya, bank sentral hanya boleh membeli SBN di pasar sekunder, yaitu dari investor lain yang sudah membelinya terlebih dahulu dari pemerintah. Pembelian langsung di pasar perdana ini ibaratnya BI memberikan pinjaman langsung kepada pemerintah. Ini adalah sebuah kebijakan moneter yang sangat tidak konvensional, karena bisa dianggap sebagai mencetak uang untuk membiayai defisit anggaran. Langkah ini diambil berdasarkan landasan hukum yang kuat saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yang memberikan fleksibilitas kebijakan di tengah situasi kahar.

Menurut Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, sinergi ini adalah bagian dari bauran kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Tujuannya jelas, yaitu memastikan pemerintah punya cukup uang tunai untuk menjalankan program-program vital penanganan krisis kesehatan dan perlindungan sosial, tanpa menyebabkan guncangan hebat di pasar modal. Tanpa adanya skema burden sharing, pemerintah terpaksa akan melelang SBN dalam jumlah masif ke pasar, yang bisa membuat harganya anjlok dan imbal hasilnya (yield) melambung tinggi. Jika itu terjadi, beban utang negara di masa depan akan semakin berat.

Mengenal Efek dan Surat Utang Negara Kunci dalam Skema Ini

Instrumen utama yang menjadi jembatan dalam skema burden sharing ini adalah Efek atau lebih dikenal sebagai Surat Berharga Negara (SBN). SBN pada dasarnya adalah surat pengakuan utang dari negara.

Ketika kamu membeli SBN, artinya kamu meminjamkan uang kepada pemerintah, dan pemerintah berjanji akan mengembalikannya beserta imbal hasil atau kupon pada waktu yang telah ditentukan. SBN ini menjadi tulang punggung pembiayaan anggaran negara.

Dalam pelaksanaan skema burden sharing, ada beberapa jenis SBN yang secara spesifik digunakan. Memahami perbedaan jenis-jenis ini membantu kita melihat bagaimana pemerintah dan BI merancang kebijakan ini dengan cermat.

Surat Utang Negara (SUN)

Ini adalah jenis SBN konvensional yang paling umum. Pemerintah menerbitkan SUN dengan janji membayar kembali pokok utang saat jatuh tempo dan memberikan kupon (bunga) secara berkala kepada pemegangnya.

Dalam konteks skema burden sharing, Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli siaga atau bahkan pembeli utama SUN dalam lelang yang diadakan oleh Kementerian Keuangan. Kehadiran BI sebagai pembeli raksasa memastikan bahwa semua SUN yang diterbitkan pemerintah terserap pasar, sehingga target pembiayaan tercapai. Ini memberikan kepastian bagi anggaran negara di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik.

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara

Untuk memastikan inklusivitas dan menjangkau investor yang lebih luas, pemerintah juga menggunakan SBSN atau Sukuk Negara. Berbeda dengan SUN yang merupakan surat utang murni, SBSN adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah.

SBSN bukan representasi utang, melainkan bukti kepemilikan atas suatu aset yang mendasarinya (underlying asset). Imbal hasil yang diterima investor bukan berupa bunga, melainkan bagi hasil atau sewa dari aset tersebut. Penggunaan SBSN dalam skema burden sharing menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan pasar keuangan syariah sekaligus memperluas sumber pendanaan di masa krisis ekonomi. Sama seperti SUN, BI juga berpartisipasi dalam lelang SBSN untuk mendukung pembiayaan negara.

Partisipasi BI dalam membeli SBN ini diatur secara detail melalui beberapa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.

SKB ini membagi pembiayaan menjadi beberapa kategori, ada yang untuk belanja kesehatan dan kemanusiaan (public goods) di mana BI menanggung seluruh beban bunga, dan ada yang untuk program pemulihan ekonomi (non-public goods) di mana beban bunga dibagi antara pemerintah dan BI. Mekanisme ini menunjukkan betapa terukurnya kebijakan moneter yang diambil, bukan sekadar mencetak uang tanpa perhitungan.

Bagaimana Dampak Burden Sharing pada Pasar Modal Indonesia?

Setiap kebijakan besar pasti memiliki dua sisi mata uang, begitu pula dengan skema burden sharing. Dampak pasar modal yang ditimbulkannya cukup signifikan, baik positif maupun negatif.

Bagi investor, memahami dinamika ini sangat krusial untuk menavigasi portofolio investasi.

Sisi Positif yang Menyelamatkan Pasar


  • Stabilitas Pasar Obligasi: Ini adalah dampak paling nyata dan positif. Saat pandemi merebak, investor asing panik dan ramai-ramai menjual SBN mereka, menyebabkan tekanan jual yang luar biasa. Jika dibiarkan, harga SBN akan jatuh bebas dan yield-nya meroket. Kenaikan yield SBN akan menjadi acuan bagi suku bunga pinjaman lainnya, membuat kredit macet dan ekonomi makin terpuruk. Dengan Bank Indonesia masuk sebagai pembeli raksasa melalui skema burden sharing, tekanan jual ini berhasil diredam. Pasar SBN menjadi lebih stabil dan terkendali.

  • Menjaga Likuiditas Perekonomian: Dengan dana segar dari penjualan SBN ke BI, pemerintah mampu menyalurkan bantuan sosial, insentif usaha, dan stimulus ekonomi lainnya. Uang ini beredar di masyarakat, menjaga daya beli, dan mencegah roda ekonomi berhenti total. Likuiditas yang terjaga ini secara tidak langsung juga memberikan sentimen positif bagi pasar saham dan instrumen investasi lainnya.

  • Menurunkan Biaya Utang Negara: Karena BI membeli SBN dengan yield yang disepakati dan cenderung lebih rendah dari mekanisme pasar murni saat panik, beban bunga utang negara menjadi lebih ringan. Ini memberikan ruang fiskal yang lebih besar bagi pemerintah untuk fokus pada penanganan krisis.

Risiko dan Potensi Dampak Negatif


  • Ancaman Inflasi: Ini adalah kekhawatiran terbesar dari setiap kebijakan moneter yang melibatkan pencetakan uang. Ketika jumlah uang beredar meningkat drastis sementara produksi barang dan jasa tidak, harga-harga berpotensi naik tak terkendali. Bank Indonesia sangat sadar akan risiko ini. Mereka berargumen bahwa dalam kondisi permintaan yang lesu akibat krisis, tambahan likuiditas tidak akan langsung memicu inflasi. Namun, ini adalah pedang bermata dua yang perlu dikelola dengan hati-hati saat ekonomi mulai pulih.

  • Risiko Pelemahan Nilai Tukar Rupiah: Peningkatan jumlah rupiah di pasar dapat menekan nilai tukarnya terhadap mata uang asing. Investor mungkin khawatir bahwa nilai aset mereka dalam rupiah akan tergerus. Selama periode ini, BI harus bekerja ekstra keras untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing demi menjaga stabilitas rupiah.

  • Tantangan Kredibilitas dan Independensi Bank Sentral: Independensi bank sentral adalah pilar penting dalam ekonomi modern. Keterlibatan langsung dalam pembiayaan anggaran bisa menimbulkan persepsi bahwa BI berada di bawah kendali pemerintah. Hal ini bisa merusak kredibilitas BI dalam jangka panjang. Oleh karena itu, para pejabat dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan berulang kali menegaskan bahwa skema burden sharing adalah kebijakan temporer, luar biasa, dan hanya berlaku selama krisis.

  • Distorsi Pasar: Kehadiran satu pembeli dominan (BI) di pasar SBN dapat menciptakan distorsi. Mekanisme pembentukan harga dan yield tidak lagi sepenuhnya mencerminkan sentimen pasar yang sesungguhnya. Ini bisa menjadi tantangan ketika kebijakan kembali normal, di mana pasar harus beradaptasi kembali dengan kondisi tanpa jaring pengaman dari BI.

Belajar dari Krisis Apakah Skema Ini Akan Terulang?

Skema burden sharing secara resmi telah berakhir seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dan berakhirnya status darurat pandemi.

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk kembali ke disiplin fiskal, dengan defisit anggaran ditekan kembali di bawah batas 3% dari PDB, sesuai amanat undang-undang. Ini menandakan kembalinya mekanisme pasar normal, di mana pembiayaan utang negara kembali sepenuhnya bergantung pada investor, baik domestik maupun asing.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya konsolidasi fiskal dan menjaga kepercayaan pasar.

Kembalinya ke jalur normal ini adalah sinyal kuat bagi investor bahwa fundamental ekonomi Indonesia dikelola secara kredibel dan prudent. Pengalaman krisis ekonomi akibat pandemi memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya inovasi kebijakan dalam situasi darurat.

Skema burden sharing menunjukkan bahwa Indonesia memiliki fleksibilitas untuk merespons guncangan hebat dengan cara yang kreatif. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen untuk mengakhirinya begitu krisis mereda.

Ini adalah kebijakan dosis tinggi yang ampuh untuk kondisi kritis, tapi berbahaya jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Bagi kita sebagai pelaku ekonomi, pelajaran terpenting adalah bahwa stabilitas yang kita nikmati seringkali merupakan hasil dari pertarungan kebijakan yang kompleks di belakang layar.

Memahami dinamika antara kebijakan moneter dan fiskal, seperti yang tecermin dalam skema burden sharing, memperkaya perspektif kita dalam berinvestasi.

Kita menjadi lebih sadar akan risiko makroekonomi dan lebih mampu membaca arah kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi dampak pasar modal. Pengetahuan ini membekali kita untuk tidak hanya bereaksi terhadap berita utama, tetapi juga memahami kekuatan mendasar yang menggerakkan pasar.

Lanskap ekonomi dan investasi terus bergerak dinamis, dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil hari ini dan tantangan yang mungkin datang esok hari.

Memahami peristiwa seperti skema burden sharing bukan hanya soal sejarah ekonomi, tetapi juga tentang membangun literasi keuangan yang lebih dalam. Informasi yang disajikan di sini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kebijakan spesifik di masa lalu dan tidak dimaksudkan sebagai panduan mutlak untuk keputusan investasi di masa depan. Setiap keputusan finansial yang Anda ambil sebaiknya didasarkan pada riset mandiri yang menyeluruh dan, jika perlu, pertimbangan dari perencana keuangan profesional yang bersertifikat untuk menyesuaikan dengan profil risiko dan tujuan pribadi Anda.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0