Pajak Kripto 2024 Bikin Pusing Tenang Ini Cara Hitung Lapornya

VOXBLICK.COM - Melihat portofolio aset kripto kamu hijau royo-royo memang bikin senyum seharian. Cuan dari Bitcoin, Ethereum, atau altcoin lainnya bisa jadi jalan pintas buat mencapai kebebasan finansial. Tapi, di tengah euforia keuntungan, ada satu hal penting yang sering terlupakan tapi bisa bikin pusing tujuh keliling jika diabaikan, yaitu pajak kripto. Ya, kamu tidak salah dengar. Keuntungan dari aset kripto yang kamu dapatkan itu ada pajaknya. Mengabaikannya bukan pilihan bijak, karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semakin canggih dalam melacak transaksi digital. Daripada nanti kena surat cinta dari kantor pajak, lebih baik kita pahami dari sekarang bagaimana cara menghitung dan melaporkan pajak kripto dengan benar. Tenang, tidak serumit trading kok. Yuk, kita bedah bersama panduan lengkapnya agar cuan kamu tetap aman dan tidur pun jadi lebih nyenyak.
Kenapa Sih Aset Kripto Kena Pajak?
Pertanyaan ini mungkin ada di benak banyak orang. Jawabannya cukup sederhana, di Indonesia, pemerintah melihat aset kripto bukan sebagai mata uang, melainkan sebagai komoditas digital yang bisa diperdagangkan.
Status ini ditetapkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Karena dianggap komoditas, maka setiap transaksi yang menghasilkan keuntungan atau nilai tambah dianggap sebagai objek pajak. Ini sama seperti ketika kamu menjual properti atau saham, ada pajak yang harus dibayarkan atas keuntungannya.
Dasar hukum utama yang mengatur pengenaan pajak kripto di Indonesia adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022.
Peraturan ini secara spesifik mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Dengan adanya aturan ini, ada kepastian hukum bagi para investor dan trader seperti kamu. Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam beberapa kesempatan juga menekankan bahwa potensi penerimaan negara dari ekonomi digital, termasuk aset kripto, sangat besar. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengatur sektor ini. Jadi, anggap saja membayar pajak crypto ini adalah kontribusi kamu sebagai warga negara yang baik, sekaligus membuat investasi kamu jadi lebih legal dan aman.
Dua Jenis Pajak Kripto yang Wajib Kamu Tahu
Sesuai dengan PMK 68/2022, ada dua jenis pajak utama yang melekat pada setiap transaksi aset kripto kamu. Keduanya dipungut secara berbeda, jadi penting untuk memahami perbedaannya.
Kabar baiknya, jika kamu bertransaksi melalui platform exchange yang terdaftar resmi di Bappebti, proses pemungutan pajaknya sudah otomatis. Namun, memahaminya akan membuatmu lebih sadar ke mana uangmu pergi.
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kripto
PPN ini dikenakan atas penyerahan jasa penyediaan sarana elektronik oleh platform exchange. Simpelnya, setiap kali kamu melakukan transaksi jual atau beli, kamu dianggap menggunakan jasa platform tersebut, dan atas jasa itulah PPN dikenakan.
Siapa yang bayar? Kamu sebagai pembeli atau pengguna jasa.
Besaran tarif PPN ini dibedakan berdasarkan status exchange tempat kamu bertransaksi:
- 0,11% dari nilai transaksi: Jika kamu bertransaksi di platform Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang sudah terdaftar resmi di Bappebti. Contohnya seperti Indodax, Tokocrypto, Pintu, dan lainnya.
- 0,22% dari nilai transaksi: Jika kamu menggunakan platform yang belum atau tidak terdaftar di Bappebti. Tarifnya dua kali lipat lebih mahal.
Ini adalah salah satu insentif dari pemerintah agar masyarakat menggunakan platform lokal yang sudah terjamin legalitasnya. PPN Kripto ini bersifat final, artinya dipungut langsung saat transaksi terjadi oleh pihak exchange.
2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Kripto
Nah, kalau yang ini adalah pajak atas penghasilan atau keuntungan yang kamu dapatkan dari penjualan aset kripto.
Setiap kali kamu menjual aset kripto, hasilnya dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan PPh Pasal 22. Siapa yang bayar? Kamu sebagai penjual.
Sama seperti PPN, tarif PPh juga dibedakan berdasarkan platform yang kamu gunakan:
- 0,10% dari nilai transaksi: Jika penjualan dilakukan melalui platform PPMSE yang terdaftar di Bappebti.
- 0,20% dari nilai transaksi: Jika penjualan dilakukan melalui platform yang tidak terdaftar di Bappebti.
Penting untuk dicatat, PPh ini dihitung dari nilai transaksi penjualan, bukan dari profit atau keuntungan bersih. Jadi, meskipun kamu menjual dalam posisi rugi (loss), kamu tetap akan dikenakan PPh 0,10% dari total nilai penjualanmu. PPh Pasal 22 ini juga bersifat final dan dipungut langsung oleh exchange saat transaksi.
Studi Kasus Real: Hitung Pajak Kripto dari Awal Sampai Akhir
Teori saja kadang membingungkan. Mari kita buat lebih jelas dengan sebuah studi kasus. Bayangkan ada seorang profesional muda bernama Rina yang mulai berinvestasi di aset kripto melalui platform Pintu, yang sudah terdaftar di Bappebti.
Langkah 1: Rina Membeli Ethereum (ETH)
Rina memutuskan untuk membeli Ethereum senilai Rp 20.000.000. Saat transaksi pembelian ini terjadi, Rina akan dikenakan PPN kripto. Begini cara menghitungnya:
- Nilai Transaksi Beli: Rp 20.000.000
- Tarif PPN (di exchange terdaftar): 0,11%
- PPN yang harus dibayar Rina: 0,11% x Rp 20.000.000 = Rp 22.000
Jadi, total dana yang dikeluarkan Rina adalah Rp 20.000.000 (untuk ETH) + Rp 22.000 (untuk PPN) = Rp 20.022.000. Pajak ini akan dipotong secara otomatis oleh Pintu.
Langkah 2: Rina Menjual Ethereum (ETH) dengan Keuntungan
Beberapa bulan kemudian, harga ETH meroket. Rina memutuskan untuk menjual seluruh kepemilikan ETH-nya, yang kini bernilai Rp 35.000.000. Saat transaksi penjualan ini, Rina akan dikenakan PPh kripto Pasal 22.
Begini cara menghitungnya:
- Nilai Transaksi Jual: Rp 35.000.000
- Tarif PPh Pasal 22 (di exchange terdaftar): 0,10%
- PPh yang harus dibayar Rina: 0,10% x Rp 35.000.000 = Rp 35.000
Jadi, uang yang akan diterima Rina di wallet Rupiah-nya adalah Rp 35.000.000 - Rp 35.000 = Rp 34.965.000. Pajak PPh ini juga dipotong langsung oleh Pintu.
Langkah 3: Total Pajak Kripto Rina
Dari dua transaksi tersebut, total pajak kripto yang sudah dibayarkan Rina melalui platform adalah:
- Total Pajak = PPN saat beli + PPh saat jual
- Total Pajak = Rp 22.000 + Rp 35.000 = Rp 57.000
Terlihat sederhana, kan? Kuncinya adalah platform exchange yang akan melakukan pemotongan secara otomatis, memudahkan kamu sebagai investor. Tugas kamu selanjutnya adalah melaporkan penghasilan ini.
Jangan Cuma Bayar, Lapor Juga Dong! Panduan Lapor SPT Tahunan
Ini adalah bagian yang paling sering dilewatkan. Banyak yang berpikir, "Kan pajaknya sudah dipotong otomatis, berarti urusan selesai, dong?" Sayangnya, tidak sesederhana itu.
Meskipun PPh kripto bersifat final, kamu sebagai Wajib Pajak tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan seluruh penghasilanmu, termasuk dari penjualan aset kripto, dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Melaporkan penghasilan ini penting untuk mencocokkan data yang dimiliki DJP dengan data hartamu.
Jika kamu tiba-tiba punya saldo tabungan membengkak tanpa ada laporan penghasilan yang sesuai, ini bisa menjadi bumerang di kemudian hari saat ada pemeriksaan pajak. Jadi, bagaimana cara lapor pajak kripto di SPT Tahunan?
Mari kita lanjutkan studi kasus Rina. Penghasilan bruto Rina dari penjualan ETH adalah Rp 35.000.000. Inilah yang harus ia laporkan. Umumnya, pelaporan dilakukan melalui DJP Online.
Panduan Langkah-demi-Langkah di DJP Online (Untuk SPT 1770 S)
1. Login ke Akun DJP Online: Buka situs djponline.pajak.go.id dan masuk menggunakan NPWP dan kata sandi kamu.
2. Pilih Layanan e-Filing: Setelah masuk, pilih menu Lapor lalu klik ikon e-Filing.
3. Buat SPT Baru: Klik tombol Buat SPT. Kamu akan dihadapkan pada beberapa pertanyaan untuk menentukan jenis formulir SPT yang sesuai (1770, 1770 S, atau 1770 SS). Jawab pertanyaan tersebut dengan jujur.
4. Masuk ke Lampiran II - Bagian A: Di sinilah letak kuncinya. Cari bagian yang berjudul "Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final".
5. Klik Tombol Tambah +: Sebuah pop-up akan muncul untuk menambahkan data penghasilan final baru.
6. Isi Data Penghasilan Kripto:
- Sumber/Jenis Penghasilan: Pilih dari dropdown menu. Cari opsi yang paling mendekati, seperti "Penghasilan dari Penjualan Aset Kripto" atau jika tidak ada, bisa pilih "Hadiah Undian atau Sejenisnya" lalu disesuaikan keterangannya. Sesuai informasi dari situs Pajak.go.id, penghasilan ini masuk kategori PPh Final.
- DPP/Penghasilan Bruto: Masukkan total nilai penjualan aset kripto kamu selama satu tahun pajak. Dalam kasus Rina, ia memasukkan Rp 35.000.000.
- PPh Terutang: Masukkan total PPh yang sudah dipotong oleh exchange. Rina akan memasukkan Rp 35.000.
7. Simpan Data: Setelah mengisi dengan benar, klik Simpan. Data penghasilan kripto kamu akan muncul dalam daftar di Lampiran II.
8. Lanjutkan Pengisian SPT: Lanjutkan mengisi bagian lain dari SPT seperti harta (jangan lupa memasukkan sisa saldo aset kripto kamu di akhir tahun pada bagian harta dengan kode 042 - Aset Kripto), utang, dan daftar keluarga hingga selesai.
9. Kirim SPT: Setelah semua terisi dan yakin benar, kamu bisa mengirim SPT dan akan menerima Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) melalui email.
Dengan melaporkannya, kamu telah memenuhi seluruh kewajiban pajak crypto kamu. Transparan dan aman.
Pertanyaan yang Sering Bikin Galau Seputar Pajak Kripto (FAQ)
Aturan pajak kripto ini tergolong baru, jadi wajar jika banyak pertanyaan dan kebingungan. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang paling sering muncul.
Bagaimana jika saya trading di exchange luar negeri?
Jika kamu menggunakan platform exchange yang tidak terdaftar di Bappebti atau berada di luar negeri, mereka tentu tidak akan memungut pajak kripto untukmu.
Dalam hal ini, kewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajak sepenuhnya ada di tanganmu. Mekanismenya disebut self-assessment. Tarif yang berlaku adalah tarif yang lebih tinggi, yaitu 0,22% untuk PPN dan 0,20% untuk PPh. Prosesnya lebih rumit dan kamu harus proaktif menyetorkan sendiri pajaknya ke kas negara.
Apakah penghasilan dari airdrop, staking, dan mining juga kena pajak?
Ya. Pada dasarnya, setiap tambahan keuntungan ekonomi dari aset kripto dianggap sebagai penghasilan dan menjadi objek pajak. Menurut berbagai sumber edukasi seperti Pintu Academy, penghasilan dari aktivitas seperti staking, lending, airdrop, atau bahkan game play-to-earn harus dilaporkan dalam SPT Tahunan. Penghasilan ini biasanya masuk dalam kategori Penghasilan Lain-lain dan dikenakan tarif pajak progresif sesuai PPh Pasal 17, bukan tarif final 0,10%.
Bagaimana jika saya rugi (loss)? Apakah tetap kena pajak?
Ini adalah poin penting dalam PMK 68/2022. PPh kripto Pasal 22 dikenakan atas nilai bruto transaksi penjualan, bukan atas keuntungan.
Artinya, bahkan jika harga jual asetmu lebih rendah dari harga beli (rugi), kamu tetap akan dikenakan PPh sebesar 0,10% (jika di exchange terdaftar) dari total nilai penjualan tersebut. Ini mungkin terasa tidak adil, tetapi begitulah aturan yang berlaku saat ini.
Apa bukti potongnya? Apakah saya akan mendapatkannya?
Platform PPMSE yang memungut PPN dan PPh Pasal 22 wajib membuat bukti pemungutan pajak. Kamu sebagai pengguna berhak mendapatkan bukti tersebut, yang biasanya dapat diunduh dari riwayat transaksi atau laporan akun di platform exchange masing-masing.
Bukti ini sangat penting sebagai dokumen pendukung saat kamu melakukan pelaporan SPT Tahunan.
Tips Pro Biar Urusan Pajak Kripto Kamu Lancar Jaya
Agar urusan pajak kripto tidak menjadi beban, ada beberapa kebiasaan baik yang bisa kamu terapkan sejak dini.
- Catat Semua Transaksi dengan Rapi: Jangan hanya mengandalkan riwayat transaksi di aplikasi. Buatlah catatan sendiri di spreadsheet. Catat tanggal, jenis koin, jumlah, harga beli, harga jual, dan pajak yang dipotong. Ini akan sangat membantumu saat rekapitulasi di akhir tahun.
- Selalu Gunakan Exchange Terdaftar di Bappebti: Selain lebih aman dari sisi regulasi, kamu juga mendapatkan keuntungan tarif pajak crypto yang lebih rendah. Ini adalah cara termudah untuk memastikan kewajiban pajakmu terpenuhi secara otomatis.
- Pisahkan Rekening Bank: Jika memungkinkan, gunakan rekening bank terpisah khusus untuk aktivitas investasi kripto. Ini akan memudahkan pelacakan arus kas masuk dan keluar yang berhubungan dengan aset kripto.
- Jangan Tunda Lapor SPT: Tandai kalendermu. Batas waktu pelaporan SPT Tahunan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah 31 Maret setiap tahunnya. Menunda-nunda hanya akan meningkatkan risiko lupa dan terkena denda keterlambatan.
- Konsultasi Jika Ragu: Ingat ya, informasi ini bersifat edukasi umum. Kondisi pajak setiap orang bisa berbeda, apalagi jika kamu memiliki penghasilan dari staking, DeFi, atau transaksi NFT yang kompleks. Jika ragu, jangan segan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional. Investasi sedikit untuk konsultasi bisa menghindarkanmu dari masalah besar di masa depan.
Memahami dan mematuhi aturan pajak kripto mungkin terasa seperti pekerjaan tambahan di awal. Namun, ini adalah bagian dari menjadi investor yang cerdas dan bertanggung jawab.
Dengan membayar pajak, kamu tidak hanya mengamankan keuntunganmu dari potensi masalah hukum, tetapi juga ikut berkontribusi pada pembangunan negara. Anggap saja ini sebagai biaya untuk bisa tidur nyenyak sambil melihat portofolio kriptomu terus bertumbuh. Jadi, mari kita urus perpajakan dengan benar, agar perjalanan investasimu di dunia aset kripto bisa terus berjalan lancar tanpa hambatan.
Apa Reaksi Anda?






