Pajak Kripto Indonesia Paling Tinggi di ASEAN Benarkah Begitu


Jumat, 12 September 2025 - 08.55 WIB
Pajak Kripto Indonesia Paling Tinggi di ASEAN Benarkah Begitu
Perbandingan Pajak Kripto ASEAN (Foto oleh tommao wang di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Kamu mungkin sering dengar kalau investasi aset kripto di Indonesia itu pajaknya berlapis dan bikin pusing. Setiap kali jual atau beli, ada saja potongannya. Hal ini membuat banyak investor kripto, terutama anak muda yang baru mulai, jadi bertanya-tanya. Apakah benar aturan di negara kita ini yang paling memberatkan? Bagaimana jika kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand? Pertanyaan ini penting, karena memahami lanskap pajak adalah bagian krusial dari strategi investasi. Ini bukan cuma soal memilih koin yang tepat, tapi juga memilih arena bermain yang paling menguntungkan. Yuk, kita bedah bersama aturan main pajak kripto di empat negara besar Asia Tenggara ini, biar kamu bisa mengambil keputusan yang lebih cerdas dan strategis untuk portofolio kamu.

Indonesia: Pajak Ganda yang Bikin Mikir Ulang?

Di Indonesia, status aset kripto memang unik.

Bank Indonesia tidak mengakuinya sebagai alat pembayaran yang sah, tetapi Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengklasifikasikannya sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Dari sinilah dasar pengenaan pajaknya muncul. Sejak Mei 2022, pemerintah memberlakukan dua jenis pajak sekaligus untuk setiap transaksi aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022.

Aturan ini menjadi topik hangat di kalangan komunitas dan investor kripto tanah air. Banyak yang merasa kebijakan ini memberatkan, terutama bagi mereka yang melakukan transaksi dengan frekuensi tinggi. Mari kita lihat lebih detail.

PPN dan PPh 22 Final Atas Aset Kripto


Kebijakan pajak kripto Indonesia mengenakan dua jenis pungutan pada investor:


  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Setiap transaksi jual beli aset kripto dikenakan PPN. Besarannya adalah 0,11% dari nilai transaksi jika dilakukan melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Bappebti. Jika platform yang kamu gunakan belum terdaftar, tarifnya menjadi dua kali lipat, yaitu 0,22%.

  • Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final: Selain PPN, ada juga PPh 22 Final yang dikenakan atas penghasilan dari penjualan aset kripto. Tarifnya adalah 0,1% dari nilai transaksi jika melalui PFAK terdaftar, dan akan menjadi 0,2% jika platformnya tidak terdaftar.

Jadi, secara total, setiap kali kamu melakukan transaksi jual, kamu akan dikenakan pajak sekitar 0,21% (0,11% PPN + 0,1% PPh). Model pemungutan ini bersifat final dan dikenakan per transaksi, bukan pada keuntungan modal (capital gain) di akhir tahun.

Ini berarti, entah kamu untung atau rugi dalam sebuah transaksi, pajaknya tetap harus dibayar. Bagi seorang day trader, akumulasi potongan pajak dari puluhan atau ratusan transaksi setiap bulan tentu akan sangat terasa dampaknya pada profitabilitas. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak berargumen bahwa skema ini memberikan kemudahan administrasi, karena pajak langsung dipungut oleh penyelenggara atau exchange.

Implikasi bagi Investor Kripto


Model pajak kripto Indonesia ini punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah kepastian dan kemudahan.

Kamu tidak perlu pusing menghitung capital gain di akhir tahun dan melaporkannya dalam SPT Tahunan secara terpisah, karena pajaknya sudah final. Namun, kekurangannya sangat jelas bagi trader aktif. Beban pajak yang konstan per transaksi bisa menggerus keuntungan tipis yang mereka kejar. Hal ini berbeda dengan sistem pajak di banyak negara lain yang hanya mengenakan pajak atas keuntungan bersih. Situasi ini mendorong beberapa investor kripto dengan volume besar untuk melirik platform di luar negeri yang menawarkan struktur biaya dan pajak yang lebih kompetitif, meskipun hal tersebut membawa risiko tersendiri dari sisi regulasi dan keamanan dana.

Singapura: Surga Pajak Kripto bagi Investor Jangka Panjang

Singapura sering disebut sebagai salah satu pusat keuangan dan teknologi terkemuka di Asia, dan reputasi ini juga merembet ke dunia aset kripto. Negara ini dikenal dengan pendekatannya yang progresif dan ramah bisnis, termasuk dalam hal perpajakan.

Bagi banyak investor kripto global, Singapura adalah destinasi yang sangat menarik.

Kunci utama dari daya tarik Singapura adalah tidak adanya pajak atas keuntungan modal atau capital gains tax. Ini adalah sebuah pembeda yang sangat signifikan.

Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), otoritas pajak di sana, memperlakukan aset kripto sebagai properti tidak berwujud. Artinya, jika kamu membeli Bitcoin, menyimpannya untuk jangka waktu tertentu (HODL), lalu menjualnya saat harganya naik, keuntungan yang kamu dapatkan tidak dikenakan pajak.

Investor Jangka Panjang vs. Trader Profesional


Namun, penting untuk memahami perbedaan perlakuan pajak antara investor pasif dan trader aktif. IRAS membuat garis pemisah yang jelas:

  • Investor Jangka Panjang (HODLer): Jika kamu membeli aset kripto dengan tujuan investasi jangka panjang dan tidak menjadikannya sebagai aktivitas bisnis utama, maka keuntungan dari penjualannya bebas pajak. Ini adalah kabar baik bagi mayoritas investor ritel.

  • Trader Profesional: Sebaliknya, jika kamu melakukan trading aset kripto secara sistematis dan berulang-ulang sebagai sumber penghasilan utama (dianggap sebagai bisnis), maka keuntungan bersih yang kamu peroleh akan dianggap sebagai pendapatan (income) dan dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan tarif progresif yang berlaku.

Penentuan apakah seseorang dianggap trader atau investor didasarkan pada beberapa faktor, seperti frekuensi transaksi, motif saat membeli, dan lamanya aset disimpan. Menurut panduan dari IRAS, tidak ada aturan baku, dan setiap kasus dinilai secara individual. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas tetapi juga menuntut investor kripto untuk memahami posisi mereka. Menurut analisis dari PwC Singapore, kejelasan regulasi yang ditawarkan oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) dalam kerangka Payment Services Act juga menambah kepercayaan investor terhadap ekosistem kripto di negara tersebut. Regulasi yang jelas dan kebijakan pajak yang menarik menjadikan Singapura magnet bagi perusahaan dan investor kripto kelas kakap.

Malaysia: Mirip Singapura, Tapi Ada Catatannya

Malaysia, tetangga terdekat Indonesia, menawarkan kebijakan pajak kripto yang sekilas sangat mirip dengan Singapura, menjadikannya alternatif menarik lainnya di Asia Tenggara.

Sama seperti Singapura, Malaysia pada dasarnya tidak mengenakan pajak atas keuntungan modal untuk individu.

Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN) atau Inland Revenue Board of Malaysia telah memberikan panduan bahwa transaksi aset kripto oleh individu yang bersifat tidak teratur dan merupakan investasi jangka panjang tidak dianggap sebagai pendapatan yang

dikenakan pajak. Ini berarti, jika kamu seorang HODLer di Malaysia, keuntungan besar dari investasi kriptomu bisa jadi sepenuhnya milikmu tanpa dipotong pajak. Prinsip ini berlaku untuk berbagai instrumen investasi, tidak hanya terbatas pada aset kripto.

Garis Tipis Antara Investasi dan Perdagangan


Sama seperti di Singapura, ada tapi-nya. Pengecualian ini tidak berlaku jika aktivitas trading kripto kamu dianggap sebagai sebuah profesi atau bisnis.

Jika LHDN menilai bahwa kamu adalah seorang trader aktif yang transaksinya sering, sistematis, dan menjadi sumber pendapatan utama, maka keuntungan bersih dari trading tersebut akan diklasifikasikan sebagai pendapatan bisnis. Pendapatan ini akan dikenakan tarif pajak penghasilan progresif, yang bisa mencapai 30% untuk kalangan berpenghasilan tinggi.

LHDN menggunakan beberapa lencana perdagangan (badges of trade) untuk menentukan status seorang investor kripto, antara lain:


  • Frekuensi Transaksi: Seberapa sering kamu jual beli?

  • Periode Kepemilikan: Apakah kamu menyimpan aset untuk waktu singkat atau lama?

  • Motif: Apakah tujuan utamamu adalah keuntungan cepat dari fluktuasi harga?


Kebijakan ini membuat Malaysia sangat menarik bagi investor pasif, tetapi menuntut kehati-hatian dari para trader harian. Dari sisi regulasi, Securities Commission Malaysia secara aktif mengawasi pasar aset kripto dan hanya memberikan lisensi kepada beberapa bursa lokal untuk beroperasi. Hal ini memberikan lapisan keamanan bagi investor, namun pilihan platformnya menjadi lebih terbatas dibandingkan negara lain.

Thailand: Dari Pajak Tinggi ke Kebijakan yang Lebih Fleksibel

Thailand memiliki perjalanan regulasi pajak kripto yang cukup dinamis. Awalnya, pemerintah sempat memberlakukan kebijakan yang cukup ketat, yaitu pajak pemotongan (withholding tax) sebesar 15% atas keuntungan kripto.

Kebijakan ini mendapat banyak kritik dari komunitas kripto lokal karena dianggap menghambat pertumbuhan industri.

Mendengar masukan tersebut, pada tahun 2022, pemerintah Thailand memutuskan untuk membatalkan pajak 15% tersebut dan memperkenalkan aturan yang lebih fleksibel.

Saat ini, keuntungan dari trading atau investasi aset kripto di Thailand diperlakukan sebagai pendapatan kena pajak di bawah Pasal 40 (4) dari Kode Pendapatan. Ini berarti keuntungan tersebut harus digabungkan dengan pendapatan lain dan dikenakan tarif pajak penghasilan progresif, yang berkisar dari 0% hingga 35%. Selain itu, pemerintah juga membebaskan PPN sebesar 7% untuk transaksi aset kripto yang dilakukan melalui bursa yang diatur oleh Securities and Exchange Commission (SEC) Thailand.

Sistem Progresif dan Potensi Kerugian


Salah satu keunggulan utama dari sistem pajak kripto Thailand adalah investor diizinkan untuk mengurangi kerugian dari keuntungan (loss deduction) dalam tahun pajak yang sama.

Misalnya, jika kamu untung $2.000 dari trading Ethereum tapi rugi $500 dari trading Solana di tahun yang sama, kamu hanya perlu melaporkan keuntungan bersih sebesar $1.500 sebagai pendapatan. Ini adalah sistem yang jauh lebih adil dibandingkan model pajak per transaksi seperti di Indonesia, karena yang dipajaki adalah keuntungan riil.

Sistem pajak progresif ini lebih menguntungkan bagi investor kripto dengan skala kecil hingga menengah. Namun, bagi investor besar dengan keuntungan miliaran, tarif pajak maksimal 35% bisa terasa sangat signifikan.

Meski demikian, langkah pemerintah Thailand untuk menghapus pajak pemotongan 15% dan mengizinkan pengurangan kerugian menunjukkan niat baik untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pertumbuhan ekosistem aset kripto.

Head-to-Head: Mana yang Paling Cuan Buat Kamu?

Setelah membedah aturan di masing-masing negara, sekarang saatnya menarik benang merah. Negara mana yang paling pas untukmu? Jawabannya sangat bergantung pada profil kamu sebagai seorang investor kripto.

Buat Trader Harian (Day Trader)


Jika kamu adalah trader aktif yang sering keluar masuk pasar, Indonesia dengan pajak per transaksi sebesar 0.21% mungkin menjadi pilihan yang paling kurang menarik.

Setiap transaksi, untung atau rugi, akan menggerus modalmu secara perlahan. Thailand menjadi pilihan yang lebih baik karena kamu bisa mengurangi kerugian, dan pajak hanya dikenakan pada keuntungan bersih di akhir tahun. Namun, pilihan terbaik bagi trader dengan volume besar kemungkinan adalah Singapura atau Malaysia, dengan catatan mereka harus siap jika aktivitasnya dianggap sebagai bisnis dan dikenakan pajak penghasilan. Namun, setidaknya pajak tersebut hanya dikenakan pada profit, bukan pada setiap transaksi.

Buat HODLer (Investor Jangka Panjang)


Bagi kamu yang menganut filosofi beli dan lupakan, Singapura dan Malaysia adalah juaranya.

Ketiadaan capital gains tax untuk investasi jangka panjang membuat kedua negara ini menjadi surga bagi HODLer. Kamu bisa melihat investasimu tumbuh berkali-kali lipat dan saat dicairkan, keuntungannya bisa kamu nikmati sepenuhnya. Thailand berada di posisi tengah, sementara Indonesia kembali menjadi yang kurang menguntungkan karena pajak tetap dikenakan saat kamu akhirnya menjual asetmu, berapapun lamanya kamu menyimpannya.

Buat Investor Pemula


Untuk investor pemula dengan modal terbatas, sistem pajak kripto Indonesia sebenarnya menawarkan kesederhanaan.

Kamu tidak perlu repot menghitung profit dan loss, karena semuanya sudah dipotong otomatis oleh exchange. Namun, kamu perlu sadar bahwa potongan ini terjadi terus-menerus. Sistem di Thailand juga cukup ramah bagi pemula, terutama karena tarif pajak progresif yang rendah untuk keuntungan kecil dan adanya fasilitas pengurangan kerugian. Ini memberikan ruang untuk belajar trading tanpa dihantui beban pajak yang besar jika mengalami kerugian.

Dari Sisi Regulasi dan Keamanan


Keempat negara ini sudah memiliki kerangka regulasi untuk aset kripto. Indonesia melalui Bappebti, Singapura melalui MAS, Malaysia melalui SC, dan Thailand melalui SEC. Ini memberikan tingkat keamanan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi investor. Namun, kedalaman dan kematangan ekosistem, seperti ketersediaan layanan kustodian dan perbankan yang ramah kripto, seringkali lebih maju di Singapura. Hal ini diperkuat oleh data dari Statista yang menunjukkan adopsi dan volume perdagangan yang tinggi di pusat-pusat keuangan yang memiliki regulasi kripto yang jelas.

Penting Diingat Sebelum Memilih Rumah Investasimu

Membandingkan tarif pajak memang penting, tapi itu bukan satu-satunya faktor. Jika kamu berpikir untuk memindahkan aktivitas investasimu ke negara lain, ada banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, persyaratan residensi.

Untuk bisa menikmati keuntungan sistem pajak di Singapura atau Malaysia, kamu mungkin harus menjadi penduduk di sana, yang tentu memiliki proses dan biayanya sendiri. Akses ke sistem perbankan lokal juga menjadi faktor krusial untuk mencairkan keuntunganmu.

Perlu kamu ingat, regulasi kripto dan perpajakan adalah bidang yang sangat dinamis dan dapat berubah dengan cepat. Apa yang berlaku hari ini mungkin saja berbeda tahun depan.

Oleh karena itu, sangat bijaksana untuk selalu mengikuti perkembangan berita dan berkonsultasi dengan penasihat pajak atau ahli hukum yang mengerti tentang aset kripto sebelum membuat keputusan finansial yang besar. Informasi dalam artikel ini bertujuan sebagai panduan umum dan bukan merupakan nasihat keuangan atau pajak.

Pilihan negara untuk berinvestasi aset kripto pada akhirnya kembali pada strategi, skala investasi, dan profil risikomu. Indonesia menawarkan kemudahan administrasi dengan konsekuensi beban pajak per transaksi.

Thailand memberikan keadilan dengan sistem pajak progresif dan pengurangan kerugian. Sementara itu, Singapura dan Malaysia berdiri sebagai pilihan paling menarik bagi investor jangka panjang yang mencari efisiensi pajak maksimal. Dengan memahami perbedaan ini, kamu sebagai investor kripto generasi baru dapat menavigasi pasar dengan lebih percaya diri dan memaksimalkan potensi keuntunganmu di era aset digital ini.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0