Pasar Saham Panik Saat Politik Memanas Ini Cara Investor Cerdas Bertahan


Kamis, 11 September 2025 - 06.25 WIB
Pasar Saham Panik Saat Politik Memanas Ini Cara Investor Cerdas Bertahan
Investor Cerdas Bertahan Politik (Foto oleh Kanchanara di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernahkah kamu merasakan jantung berdebar sedikit lebih kencang saat membuka aplikasi investasi dan melihat layar dominan warna merah? Apalagi jika warna merah itu muncul serentak dengan berita utama di media tentang demonstrasi besar atau ketegangan politik yang sedang memanas. Seketika, pertanyaan muncul di kepala, Haruskah saya jual semua sekarang?. Perasaan ini sangat wajar, terutama bagi kita yang baru memulai perjalanan di dunia investasi. Fenomena di mana pasar saham seolah ikut demam saat suhu politik naik bukanlah isapan jempol. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sebagai barometer utama kondisi pasar modal Indonesia, seringkali menunjukkan reaksi cepat terhadap gejolak politik. Namun, memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik layar dapat mengubah kepanikan menjadi peluang dan ketakutan menjadi strategi. Ini bukan tentang sihir atau ramalan, melainkan tentang memahami hubungan antara sentimen pasar, risiko politik, dan perilaku investor.

Mengapa Pasar Saham Alergi Terhadap Gejolak Politik?

Bayangkan pasar saham sebagai seorang individu yang sangat menyukai rutinitas, keteraturan, dan kepastian. Ia merencanakan harinya berdasarkan jadwal yang jelas dan tidak suka kejutan.

Nah, gejolak politik adalah gangguan tak terduga dalam jadwal tersebut. Bisa berupa badai besar yang memaksa semua rencana dibatalkan atau sekadar tamu tak diundang yang membuat suasana jadi canggung. Intinya, pasar saham membenci ketidakpastian, dan politik adalah sumber ketidakpastian terbesar. Konsep ini dalam dunia keuangan dikenal sebagai risiko politik. Ini adalah hantu yang paling ditakuti oleh para investor, baik domestik maupun asing.

Risiko politik bukanlah sekadar isu demonstrasi di jalan. Cakupannya jauh lebih luas dan dampaknya bisa sangat dalam bagi dunia investasi. Pertama, ada risiko ketidakpastian kebijakan.

Sebuah pemerintahan baru, atau pemerintahan yang berada di bawah tekanan politik, bisa saja mengubah peraturan secara tiba-tiba. Bayangkan sebuah perusahaan yang sudah berinvestasi triliunan rupiah untuk membangun pabrik, tiba-tiba dihadapkan pada perubahan aturan pajak ekspor atau regulasi lingkungan yang lebih ketat. Hal ini secara langsung mengancam proyeksi keuntungan mereka, dan ketika keuntungan perusahaan terancam, harga sahamnya pun ikut merosot. Investor membenci perubahan mendadak seperti ini karena membuat valuasi perusahaan menjadi sulit diprediksi.

Kedua, stabilitas sosial adalah fondasi dari ekonomi yang sehat. Aksi demonstrasi yang meluas, kerusuhan, atau konflik sosial dapat secara fisik mengganggu operasional bisnis.

Rantai pasok bisa terhambat, toko-toko terpaksa tutup, dan konsumen enggan berbelanja. Aktivitas ekonomi yang melambat ini akan tercermin pada laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa. Ketika puluhan atau ratusan perusahaan melaporkan potensi penurunan pendapatan, maka secara agregat IHSG akan ikut terkoreksi. Ini adalah efek domino yang dimulai dari jalanan dan berakhir di lantai bursa.

Faktor ketiga, dan mungkin yang paling berpengaruh dalam jangka pendek, adalah sentimen pasar dari investor asing. Dana asing memegang peranan signifikan dalam pergerakan IHSG.

Investor global memiliki banyak pilihan tempat untuk menaruh uang mereka. Saat mereka melihat adanya risiko politik yang meningkat di Indonesia, reaksi alami mereka adalah mencari safe haven atau tempat berlindung yang lebih aman. Mereka akan menarik modal mereka dari pasar saham Indonesia dan memindahkannya ke aset yang dianggap lebih stabil, seperti dolar AS, obligasi pemerintah AS, atau emas. Penarikan dana besar-besaran inilah yang sering menjadi pemicu utama penurunan tajam IHSG. Mereka tidak punya waktu untuk menganalisis detail politik lokal, bagi mereka, instabilitas adalah sinyal merah untuk segera keluar.

Reaksi Berantai di Pasar Saham Saat Aksi Demo Terjadi

Ketika sebuah berita tentang gejolak politik meledak, serangkaian reaksi berantai yang sangat cepat terjadi di dalam ekosistem pasar saham.

Proses ini seringkali lebih didorong oleh psikologi massa daripada analisis fundamental, terutama pada jam-jam atau hari-hari pertama.

Semuanya dimulai dari media dan sentimen pasar. Di era digital, berita menyebar dalam hitungan detik.

Judul-judul yang provokatif dan gambar-gambar dramatis dari lokasi demonstrasi dengan cepat memenuhi linimasa media sosial dan portal berita. Algoritma media sosial bahkan memperkuat penyebaran konten yang paling emosional. Hal ini menciptakan sebuah narasi ketakutan dan kepanikan. Bagi banyak investor, terutama pemula, narasi inilah yang menjadi dasar pengambilan keputusan mereka, bukan lagi data kinerja perusahaan.

Gelombang pertama biasanya datang dari investor ritel yang panik. Melihat portofolio mereka mulai memerah dan dihadapkan pada bombardir berita negatif, banyak yang mengambil jalan pintas dengan melakukan panic selling.

Mereka menjual saham mereka bukan karena fundamental perusahaannya memburuk, tetapi murni karena takut nilainya akan jatuh lebih dalam lagi. Aksi jual massal dari jutaan investor ritel ini, meskipun secara individu nilainya kecil, secara kolektif menciptakan tekanan jual yang signifikan dan mulai mendorong harga saham-saham turun.

Melihat tekanan jual dari ritel, investor institusional seperti manajer investasi reksa dana, dana pensiun, dan perusahaan asuransi mulai bereaksi. Mereka memiliki tim analis dan strategi manajemen risiko yang lebih canggih.

Beberapa mungkin melihat ini sebagai kesempatan untuk membeli saham bagus dengan harga murah. Namun, banyak juga yang terpaksa menjual untuk melindungi nilai aset kelolaan mereka atau mengikuti mandat manajemen risiko yang sudah ditetapkan. Karena volume transaksi mereka jauh lebih besar, aksi jual dari satu atau dua manajer investasi besar saja sudah cukup untuk membuat IHSG anjlok beberapa poin. Ini memperburuk tren penurunan yang sudah dimulai oleh investor ritel.

Puncaknya adalah respons dari investor asing. Seperti yang telah dibahas, mereka adalah yang paling sensitif terhadap risiko politik.

Sistem mereka seringkali secara otomatis memicu penjualan aset di negara yang tingkat risikonya meningkat. Arus modal keluar (capital outflow) yang masif tidak hanya menekan IHSG, tetapi juga melemahkan nilai tukar Rupiah. Pelemahan Rupiah ini menjadi masalah tambahan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang memiliki utang dalam dolar atau mengandalkan bahan baku impor, menciptakan lingkaran setan yang semakin menekan pasar saham. Hasil akhir dari semua reaksi berantai ini adalah indeks IHSG yang berwarna merah pekat, yang kemudian menjadi berita utama baru dan berpotensi memicu gelombang kepanikan selanjutnya.

Respons Pemerintah dan Bank Indonesia Penjaga Gawang Stabilitas

Di tengah badai sentimen pasar yang negatif akibat gejolak politik, pemerintah dan otoritas moneter tidak tinggal diam.

Mereka berperan sebagai penjaga gawang yang berusaha menahan gempuran dan mengembalikan kepercayaan pada pasar. Tindakan mereka sangat krusial untuk mencegah kepanikan berlanjut dan memastikan stabilitas ekonomi makro tetap terjaga.

Pemerintah, melalui kementerian terkait seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, biasanya menjadi garda terdepan dalam menenangkan pasar. Langkah pertama dan paling cepat adalah komunikasi publik.

Pejabat tinggi akan mengeluarkan pernyataan yang meyakinkan para investor bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat, situasi terkendali, dan pemerintah berkomitmen untuk menjaga iklim investasi yang kondusif. Pesan-pesan ini dirancang untuk melawan narasi ketakutan yang beredar di media. Mereka akan menyoroti data-data positif seperti pertumbuhan PDB, tingkat inflasi yang terkendali, atau realisasi investasi yang masih berjalan. Tujuannya adalah untuk mengingatkan pelaku pasar agar tidak membuat keputusan berdasarkan noise jangka pendek, melainkan berdasarkan fundamental jangka panjang.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) memiliki peran yang lebih teknis namun sangat vital. Tugas utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

Saat terjadi capital outflow besar-besaran, permintaan terhadap dolar AS meningkat drastis, yang menekan nilai Rupiah. Untuk melawannya, BI akan melakukan intervensi di pasar valuta asing. Menggunakan cadangan devisa yang dimiliki, BI akan menjual dolar dan membeli Rupiah. Aksi ini membantu menyeimbangkan pasokan dan permintaan, sehingga mencegah Rupiah melemah terlalu tajam. Stabilitas Rupiah sangat penting karena berdampak langsung pada biaya impor, inflasi, dan beban utang luar negeri korporasi.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertugas menjaga keteraturan di dalam pasar saham itu sendiri. Selama periode volatilitas tinggi, OJK akan meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perdagangan untuk mencegah praktik manipulasi pasar atau short selling yang agresif yang dapat memperburuk keadaan. OJK juga terus berkoordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI). BEI bahkan memiliki mekanisme pengaman seperti trading halt atau penghentian perdagangan sementara jika IHSG turun melebihi batas tertentu dalam satu hari. Seperti yang ditegaskan dalam berbagai siaran pers mereka, OJK bersama BEI dan lembaga lainnya senantiasa berkomitmen untuk menjaga pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien di tengah berbagai tantangan. Kombinasi dari komunikasi yang menenangkan dari pemerintah, intervensi teknis dari BI, dan pengawasan ketat dari OJK membentuk jaring pengaman yang bertujuan meredam dampak terburuk dari gejolak politik terhadap perekonomian dan pasar saham.

Strategi Cerdas untuk Investor Muda Saat Politik Bergejolak

Mengetahui apa yang terjadi di balik layar adalah satu hal, tetapi mengetahui apa yang harus dilakukan adalah hal lain yang lebih penting.

Sebagai investor muda, periode gejolak politik bukan saatnya untuk panik, melainkan saatnya untuk berpikir cerdas dan strategis. Keputusan yang kamu ambil di masa-masa sulit inilah yang seringkali akan menentukan keberhasilan investasi jangka panjangmu.

Jangan Ikut Panik

Aturan pertama dan paling utama: jangan membuat keputusan investasi berdasarkan emosi. Kepanikan adalah penasihat keuangan terburuk.

Menjual saham saat pasar sedang anjlok karena berita politik seringkali berarti kamu merealisasikan kerugian di harga terendah (cut loss). Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa pasar cenderung pulih setelah guncangan jangka pendek. Warren Buffett pernah berkata, Bersikaplah takut saat orang lain serakah, dan serakahlah saat orang lain takut. Meskipun tidak berarti kamu harus membabi buta membeli semuanya, nasihat ini menekankan pentingnya berpikir kontra-arus dan tidak ikut-ikutan dalam psikologi massa yang sedang panik.

Pahami Portofoliomu

Momen seperti ini adalah waktu yang tepat untuk meninjau kembali isi portofoliomu. Tanyakan pada dirimu sendiri, Apa saja yang saya miliki dan mengapa saya memilikinya?.

Apakah saham-sahammu adalah perusahaan dengan fundamental yang kokoh, pemimpin di industrinya, dan memiliki rekam jejak yang baik? Perusahaan seperti ini cenderung lebih tahan banting terhadap guncangan jangka pendek. Sebaliknya, jika portofoliomu berisi saham-saham spekulatif yang kamu beli hanya karena ikut-ikutan, mungkin inilah saatnya untuk mengevaluasi ulang strategimu. Pahami juga bagaimana sektor bisnis dari saham-sahammu bisa terdampak. Perusahaan yang berorientasi ekspor mungkin tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak politik domestik, sementara perusahaan ritel atau properti bisa jadi lebih sensitif.

Fokus pada Jangka Panjang

Ingat kembali tujuan awalmu berinvestasi. Kemungkinan besar adalah untuk tujuan jangka panjang, seperti dana pensiun, membeli rumah, atau pendidikan anak.

Guncangan pasar akibat politik yang terjadi hari ini mungkin tidak akan terasa signifikan dalam horizon waktu 10 atau 20 tahun. Coba lihat grafik historis IHSG selama 20 tahun terakhir. Kamu akan melihat banyak jurang yang disebabkan oleh berbagai krisis, baik itu krisis finansial global, pandemi, maupun tahun-tahun politik yang panas. Namun, tren keseluruhannya jelas menunjukkan pertumbuhan ke arah atas. Fokus pada tujuan jangka panjang membantumu untuk tidak terlalu terganggu oleh noise jangka pendek.

Waktunya Nyerok? Pikirkan Dollar Cost Averaging (DCA)

Penurunan pasar sering dianggap sebagai diskon oleh investor berpengalaman. Ini adalah kesempatan untuk membeli saham perusahaan bagus dengan harga lebih murah. Namun, mencoba menebak titik terendah pasar (timing the market) adalah permainan yang sangat sulit dimenangkan. Strategi yang lebih bijak dan tidak stres adalah Dollar Cost Averaging (DCA). Dengan DCA, kamu menginvestasikan sejumlah uang yang sama secara rutin (misalnya, setiap bulan) tanpa peduli pasar sedang naik atau turun. Saat pasar turun seperti sekarang, uangmu akan membeli lebih banyak unit saham atau reksa dana. Seiring waktu, ini akan merata-ratakan harga belimu dan berpotensi memberikan hasil yang lebih baik saat pasar pulih. Sebagaimana dijelaskan oleh Bursa Efek Indonesia dalam program edukasinya, konsistensi adalah kunci dalam berinvestasi.

Diversifikasi Adalah Kunci

Pepatah jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang menjadi sangat relevan di saat-saat seperti ini. Diversifikasi adalah strategi manajemen risiko yang paling dasar.

Jika seluruh portofoliomu hanya terdiri dari saham-saham di sektor perbankan, dan ada isu politik yang menargetkan sektor tersebut, maka seluruh investasimu akan terpukul. Sebar investasimu ke berbagai sektor yang berbeda (keuangan, konsumer, komoditas, teknologi) dan bahkan ke kelas aset yang berbeda (saham, obligasi, reksa dana pasar uang, atau emas). Portofolio yang terdiversifikasi dengan baik akan lebih stabil, karena jika satu sektor sedang turun, ada kemungkinan sektor lain sedang naik atau setidaknya tidak terlalu terpengaruh, sehingga kerugianmu bisa terminimalisir.

Melihat pasar saham bergejolak karena isu politik memang bisa membuat khawatir.

Namun, dengan membekali diri dengan pemahaman yang benar, kamu bisa mengubah perspektif dari seorang korban yang panik menjadi seorang investor yang melihat peluang. Ingatlah bahwa gejolak politik menciptakan volatilitas jangka pendek, namun yang benar-benar mendorong nilai investasi dalam jangka panjang adalah fundamental ekonomi dan kinerja perusahaan. Daripada bereaksi terhadap setiap berita utama, gunakan energimu untuk fokus pada hal-hal yang bisa kamu kontrol, yaitu tujuan investasimu, strategi yang kamu gunakan, dan kedisiplinanmu dalam menjalankannya. Pasar akan selalu naik dan turun, tetapi investor yang teredukasi dan tenang adalah mereka yang akan tetap bertahan dan bertumbuh.

Ingatlah, setiap keputusan investasi membawa profil risikonya sendiri. Apa yang berhasil untuk satu orang belum tentu cocok untuk yang lain.

Informasi ini bertujuan untuk menambah wawasan dan bukan sebagai rekomendasi finansial untuk situasi pribadimu. Sangat bijaksana untuk melakukan riset mendalam atau berdiskusi dengan perencana keuangan profesional sebelum mengambil langkah besar.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0