Perang Senyap TikTok vs Meta Melawan Konten Negatif di Indonesia


Senin, 22 September 2025 - 11.30 WIB
Perang Senyap TikTok vs Meta Melawan Konten Negatif di Indonesia
Perbandingan Moderasi Konten Digital (Foto oleh Venecia Tostado di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernahkah Anda melihat sebuah video viral dan bertanya-tanya, kok bisa konten seperti ini lolos? Atau sebaliknya, unggahan Anda tiba-tiba hilang tanpa jejak, dianggap melanggar aturan yang bahkan tidak Anda sadari. Di balik layar scroll tanpa henti, ada pertempuran sengit yang terjadi setiap detik. Ini adalah perang senyap yang dilakukan oleh platform digital raksasa seperti TikTok dan Meta (induk perusahaan Facebook dan Instagram) melalui kebijakan moderasi konten mereka, sebuah sistem kompleks yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh ada di linimasa Anda, khususnya di Indonesia.

Setiap platform punya kitab suci-nya sendiri, seperangkat aturan yang rumit dan terus diperbarui. Tujuannya terdengar mulia, yaitu menciptakan ruang digital yang aman. Namun, kenyataannya jauh lebih rumit.

Pertarungan ini bukan sekadar menghapus konten negatif, tetapi juga tentang menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab, menghadapi tekanan pemerintah, serta beradaptasi dengan budaya dan bahasa Indonesia yang sangat beragam. Memahami cara kerja kebijakan moderasi konten ini bukan lagi sekadar urusan teknis, melainkan menjadi kunci untuk bertahan dan bernavigasi di dunia digital yang makin riuh.

Kenapa Kebijakan Moderasi Konten Itu Penting Banget?

Bayangkan internet tanpa aturan, sebuah dunia di mana semua informasi, baik maupun buruk, dibiarkan liar. Mungkin terdengar seperti utopia kebebasan berbicara bagi sebagian orang, tetapi kenyataannya akan lebih mirip distopia digital.

Di sinilah peran krusial kebijakan moderasi konten terasa. Ini bukan sekadar tentang sensor, melainkan tentang membangun fondasi ekosistem digital yang sehat dan aman bagi miliaran penggunanya.

Fungsi utamanya adalah melindungi pengguna dari berbagai jenis konten negatif.

Mulai dari ujaran kebencian yang bisa memicu konflik sosial, disinformasi yang menyesatkan publik (terutama saat pemilu), penipuan online, hingga konten ekstrem yang bisa merusak kesehatan mental. Menurut laporan dari We Are Social, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial. Paparan konstan terhadap konten negatif dalam durasi tersebut bisa berdampak serius, tidak hanya pada individu tetapi juga pada tatanan masyarakat.

Tantangan terbesarnya adalah menemukan titik keseimbangan yang pas. Di satu sisi, ada tuntutan untuk melindungi pengguna. Di sisi lain, ada prinsip kebebasan berekspresi yang harus dijaga.

Garis antara kritik tajam dan ujaran kebencian, atau antara parodi dan hoaks, seringkali sangat tipis. Inilah yang membuat pekerjaan moderator konten, baik itu manusia maupun AI, menjadi sangat sulit. Mereka harus membuat keputusan dalam hitungan detik yang bisa berdampak besar pada seorang kreator atau bahkan sebuah gerakan sosial. Di Indonesia, tantangan ini diperumit oleh kerangka hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang sering kali menjadi alat untuk menekan kritik. Platform digital global seperti TikTok dan Meta harus menavigasi aturan lokal ini sambil tetap berpegang pada standar komunitas global mereka.

Pada akhirnya, kebijakan moderasi konten adalah tulang punggung kepercayaan antara pengguna dan platform digital. Ketika pengguna merasa aman, mereka akan lebih nyaman berinteraksi, berkreasi, dan berbagi.

Sebaliknya, jika sebuah platform dianggap gagal menyaring konten negatif atau justru terlalu agresif dalam melakukan sensor, kepercayaan itu bisa luntur dengan cepat. Inilah mengapa pertarungan dalam moderasi konten menjadi begitu vital bagi keberlangsungan hidup setiap platform.

TikTok vs. Meta Siapa yang Lebih Ketat di Indonesia?

Meskipun tujuan akhirnya sama, yaitu membersihkan platform dari konten negatif, pendekatan yang diambil oleh TikTok dan Meta sangatlah berbeda.

Perbedaan ini lahir dari sifat dasar platform mereka, demografi pengguna, dan teknologi yang mereka andalkan. Memahami perbedaan ini akan memberi kita gambaran yang lebih jelas tentang mengapa jenis konten tertentu lebih mudah ditemukan di satu platform dibandingkan platform lainnya.

Algoritma vs. Manusia Dapur Moderasi Mereka

Di balik setiap takedown konten, ada sebuah sistem yang bekerja. TikTok dan Meta punya resep yang berbeda dalam mengelola dapur moderasi mereka di Indonesia.


  • TikTok: Kecepatan Algoritma Jadi Andalan Utama
    Dengan jutaan video diunggah setiap jam, mustahil bagi TikTok untuk mengandalkan manusia sepenuhnya. Kekuatan utama mereka adalah algoritma machine learning yang sangat canggih. Sistem ini secara proaktif memindai video saat diunggah, menganalisis audio, gambar per frame, dan teks untuk mendeteksi potensi pelanggaran. Menurut laporan transparansi TikTok, lebih dari 95% video yang dihapus karena melanggar aturan diidentifikasi dan dihapus oleh sistem otomatis sebelum ada satu pun pengguna yang melaporkannya. Pendekatan proaktif ini efektif untuk menangani pelanggaran yang jelas, seperti ketelanjangan atau kekerasan grafis. Namun, kelemahannya terletak pada pemahaman konteks dan nuansa budaya Indonesia, yang seringkali gagal ditangkap oleh mesin.

  • Meta: Kombinasi Kekuatan AI dan Puluhan Ribu Moderator Manusia
    Meta, dengan pengalamannya yang lebih panjang, mengadopsi model hibrida. Mereka memiliki teknologi AI yang kuat untuk memfilter jutaan unggahan di Facebook dan Instagram, tetapi mereka juga mempekerjakan puluhan ribu moderator konten di seluruh dunia, termasuk yang fasih berbahasa Indonesia. Tim manusia ini bertugas meninjau laporan pengguna dan menangani kasus-kasus yang lebih kompleks dan ambigu, seperti sarkasme yang disalahartikan sebagai ujaran kebencian. Model ini memungkinkan pemahaman konteks yang lebih dalam, tetapi juga lebih lambat dan mahal. Selain itu, model ini juga membawa isu serius terkait kesehatan mental para moderator yang harus terpapar konten negatif setiap hari.

Jenis Konten Negatif yang Jadi Target Utama

Setiap platform digital punya prioritasnya sendiri dalam memerangi konten negatif, terutama yang relevan dengan konteks Indonesia.


  • Disinformasi dan Hoaks Pemilu: Menjelang dan selama periode pemilu di Indonesia, kedua platform meningkatkan kewaspadaan mereka. Meta bekerja sama dengan organisasi pengecek fakta lokal seperti Mafindo untuk memberi label pada konten yang meragukan. TikTok, di sisi lain, lebih fokus pada pelarangan akun-akun yang secara sistematis menyebarkan hoaks dan membatasi jangkauan video yang belum terverifikasi kebenarannya.

  • Ujaran Kebencian dan Isu SARA: Ini adalah area yang sangat sensitif di Indonesia. Meta memiliki definisi yang sangat detail tentang apa itu ujaran kebencian dalam Standar Komunitasnya. Namun, implementasinya sering dikritik karena dianggap terlalu kaku. TikTok, dengan sifat kontennya yang lebih visual dan berbasis tren, seringkali kesulitan mendeteksi ujaran kebencian yang terselubung dalam bentuk audio atau tarian yang viral.

  • Judi Online dan Pinjaman Ilegal: Ini adalah masalah besar di Indonesia yang diberantas secara aktif oleh pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara rutin meminta platform digital untuk menghapus ribuan konten semacam ini. Baik TikTok maupun Meta secara tegas melarang promosi aktivitas ilegal ini, namun para pelaku terus mencari cara baru untuk mengakali sistem, misalnya dengan menggunakan kode atau istilah slang yang sulit dideteksi oleh AI.

  • Konten Dewasa dan Ketelanjangan: Meta terkenal sangat ketat dalam hal ini, terutama di Instagram, di mana bahkan gambar seni atau foto menyusui terkadang bisa dihapus. TikTok memiliki pendekatan yang sedikit berbeda, mereka lebih fokus pada konteks. Namun, fitur Live Streaming sering menjadi celah bagi kreator untuk menampilkan konten yang berada di area abu-abu.

Proses Banding Kalau Konten Kamu Kena Takedown

Jika konten Anda dihapus, baik TikTok maupun Meta menyediakan mekanisme banding. Namun, pengalaman pengguna seringkali berbeda.

Meta cenderung memberikan alasan yang lebih spesifik tentang pasal mana dalam Standar Komunitas yang dilanggar, meskipun proses bandingnya bisa terasa birokratis dan lambat. TikTok, di sisi lain, proses notifikasinya terkadang lebih samar, seringkali hanya menyebut pelanggaran panduan komunitas tanpa detail. Namun, proses bandingnya bisa terasa lebih cepat, meskipun seringkali terasa seperti keputusan mesin tanpa intervensi manusia. Efektivitas sistem banding ini menjadi salah satu keluhan terbesar pengguna di kedua platform digital tersebut.

Bagaimana Platform Lain Bermain di Arena Moderasi Konten Indonesia?

Fokus perbincangan seringkali tertuju pada TikTok dan Meta, tetapi ekosistem digital Indonesia jauh lebih luas.

Platform digital lain juga memiliki pendekatan dan tantangannya sendiri dalam menerapkan kebijakan moderasi konten, yang turut membentuk lanskap informasi yang kita konsumsi.

X (dulu Twitter) Surga Kebebasan Berpendapat yang Penuh Risiko

X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, secara historis memposisikan diri sebagai benteng kebebasan berbicara. Platform ini menjadi ruang utama untuk diskursus politik dan berita real-time di Indonesia.

Namun, sejak diakuisisi oleh Elon Musk, terjadi perubahan signifikan. Kebijakan moderasi konten menjadi lebih longgar dan banyak tim moderasi yang dirampingkan. Akibatnya, banyak pengamat melihat adanya peningkatan penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian. Bagi pengguna di Indonesia, ini berarti X menjadi tempat yang lebih bebas untuk menyuarakan kritik, tetapi juga lebih rentan terhadap serangan buzzer dan penyebaran konten negatif tanpa kendali yang efektif. Sistem verifikasi berbayar (centang biru) juga mengubah dinamika, di mana validitas sebuah akun tidak lagi menjamin kredibilitas informasinya.

YouTube Tantangan Moderasi di Dunia Konten Berdurasi Panjang

YouTube, sebagai platform video terbesar, menghadapi tantangan yang unik. Sifat kontennya yang berdurasi panjang membuat proses moderasi menjadi lebih kompleks dan memakan waktu dibandingkan video pendek TikTok. YouTube menggunakan sistem three strikes yang terkenal, di mana sebuah channel akan ditutup permanen setelah menerima tiga teguran dalam periode 90 hari. Kebijakan ini lebih transparan bagi kreator, tetapi juga lebih reaktif. AI YouTube sangat andal dalam mendeteksi pelanggaran hak cipta, tetapi seringkali kesulitan menangani konten negatif yang lebih subtil seperti teori konspirasi atau radikalisme yang dibungkus dalam video edukasi. Selain itu, YouTube memiliki zona abu-abu melalui kebijakan demonetisasi, di mana konten yang dianggap tidak ramah pengiklan tidak dihapus, tetapi tidak bisa menghasilkan uang. Ini adalah bentuk moderasi lunak yang memengaruhi ekosistem kreator secara signifikan.

Telegram Ruang Gelap yang Sulit Dijangkau

Telegram sering dianggap sebagai wild west dunia digital. Dengan fitur enkripsi end-to-end dan kebijakan privasi yang ketat, platform ini menjadi pilihan utama untuk komunikasi yang aman.

Namun, fitur yang sama membuatnya menjadi surga bagi penyebaran konten negatif yang ekstrem, mulai dari pembajakan film, penjualan data ilegal, hingga koordinasi kelompok teroris. Kebijakan moderasi konten di Telegram sangat minimalis dan sebagian besar hanya berlaku untuk kanal publik. Pemerintah Indonesia, melalui Kominfo, beberapa kali mengancam akan memblokir Telegram karena kesulitan dalam meminta penghapusan konten ilegal. Ini menunjukkan adanya benturan fundamental antara privasi pengguna dan kebutuhan akan keamanan digital di sebuah platform digital.

Tantangan Unik Moderasi Konten di Indonesia

Menerapkan kebijakan moderasi konten yang efektif di Indonesia tidak bisa dilakukan dengan pendekatan satu untuk semua.

Negara dengan lebih dari 17.000 pulau, ratusan bahasa daerah, dan budaya yang sangat beragam ini menyajikan tantangan unik yang tidak dihadapi oleh platform digital di negara lain.

Keberagaman Bahasa dan Konteks Budaya

AI yang dilatih dengan data berbahasa Inggris akan kesulitan memahami kompleksitas bahasa di Indonesia. Sebuah kata bisa memiliki arti yang sama sekali berbeda di berbagai daerah.

Sarkasme, ironi, dan humor lokal seringkali disalahartikan oleh sistem otomatis sebagai pelanggaran serius. Misalnya, sebuah candaan yang menggunakan istilah sensitif dalam konteks lokal bisa saja ditandai sebagai ujaran kebencian. Sebaliknya, ujaran kebencian yang dibungkus dengan bahasa daerah atau peribahasa bisa lolos dari deteksi. Hal ini memaksa platform digital seperti TikTok dan Meta untuk berinvestasi lebih besar pada tim moderator manusia yang tidak hanya fasih berbahasa Indonesia, tetapi juga memahami konteks budaya yang relevan. Tanpa pemahaman mendalam ini, kebijakan moderasi konten akan terasa tumpul dan tidak adil.

Tekanan Regulasi dari Pemerintah

Platform digital yang beroperasi di Indonesia harus tunduk pada peraturan lokal, terutama UU ITE dan aturan turunannya seperti Peraturan Menteri Kominfo No. 5 (PM 5).

Aturan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk meminta penghapusan konten yang dianggap meresahkan masyarakat atau melanggar hukum dalam waktu 1x24 jam. Di satu sisi, ini membantu mempercepat penanganan konten negatif seperti judi online atau pornografi. Namun di sisi lain, beberapa pasalnya dianggap sebagai pasal karet yang dapat digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Platform digital berada dalam posisi yang sulit, terjepit antara mematuhi permintaan pemerintah dan melindungi kebebasan berekspresi penggunanya. Menurut Damar Juniarto dari SAFEnet, tekanan ini bisa mendorong platform untuk melakukan over-moderation atau moderasi berlebihan, di mana mereka lebih memilih untuk menghapus konten yang berpotensi bermasalah untuk menghindari sanksi dari pemerintah.

Tingkat Literasi Digital yang Belum Merata

Efektivitas kebijakan moderasi konten juga sangat bergantung pada penggunanya. Tingkat literasi digital di Indonesia yang masih belum merata menjadi tantangan besar.

Banyak pengguna yang belum bisa membedakan antara informasi valid dan hoaks, sehingga mereka tanpa sadar ikut menyebarkan konten negatif. Selain itu, banyak juga yang belum memahami cara kerja fitur pelaporan atau proses banding ketika konten mereka dihapus. Program edukasi seperti yang digalakkan oleh Siberkreasi dan Kominfo sangat penting, tetapi jangkauannya masih terbatas. Tanpa pengguna yang kritis dan proaktif, beban moderasi akan sepenuhnya berada di pundak platform digital, sebuah tugas yang hampir mustahil untuk dipenuhi secara sempurna.

Setiap platform digital, baik TikTok, Meta, maupun yang lainnya, terus beradaptasi untuk menghadapi labirin moderasi konten yang rumit ini.

Pertarungan melawan konten negatif di Indonesia adalah proses yang tidak akan pernah selesai, sebuah evolusi berkelanjutan antara teknologi, regulasi, dan perilaku manusia. Pada akhirnya, ruang digital yang kita tinggali adalah cerminan dari upaya kolektif ini.

Perdebatan tentang mana kebijakan moderasi konten yang terbaik tidak akan pernah ada ujungnya. Setiap platform digital memiliki filosofi, teknologi, dan tantangannya sendiri dalam menjaga ekosistemnya.

Apa yang kita lihat sebagai pengguna adalah hasil dari tarik-menarik kepentingan yang kompleks antara kebebasan, keamanan, keuntungan bisnis, dan regulasi pemerintah. Baik TikTok dengan kecepatan algoritmanya maupun Meta dengan pendekatan hibridanya sama-sama masih belajar dan beradaptasi dengan dinamika unik di Indonesia. Perlu diingat bahwa setiap platform memiliki aturan yang terus diperbarui, dan interpretasi terhadap konten bisa berbeda-beda. Informasi yang disajikan di sini bertujuan untuk memberikan gambaran umum berdasarkan data dan laporan yang tersedia saat ini. Sebagai pengguna, peran kita bukan hanya sebagai konsumen pasif. Dengan melaporkan konten negatif, berpikir kritis sebelum berbagi, dan memahami aturan main di setiap platform, kita turut berkontribusi dalam membentuk ruang digital yang lebih sehat dan aman untuk semua.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0