Platform Medsos Bisa Kena Denda Ratusan Juta Gara-Gara Kontenmu Lho


Kamis, 11 September 2025 - 11.25 WIB
Platform Medsos Bisa Kena Denda Ratusan Juta Gara-Gara Kontenmu Lho
Hukuman Platform Digital UU ITE (Foto oleh Palmon Id di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernahkah kamu berpikir siapa yang sebenarnya bertanggung jawab jika sebuah postingan viral berisi hoaks merugikan banyak orang, atau jika konten judi online sliweran di timeline kamu? Dulu, jawabannya mungkin hanya tertuju pada si pembuat konten. Tapi sekarang, lanskap digital Indonesia sudah berubah total. Platform tempat konten itu tayang, seperti Instagram, TikTok, X, atau Facebook, kini ikut terseret dalam pusaran tanggung jawab hukum. Era di mana platform bisa berlindung di balik status hanya penyedia layanan sudah mulai berakhir, digantikan oleh aturan main baru yang lebih ketat di bawah payung Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang lebih kita kenal sebagai UU ITE.

Perubahan ini bukan sekadar wacana.

Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), secara serius menerapkan peraturan yang memaksa Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), sebutan resmi untuk para platform digital ini, untuk lebih proaktif. Ini adalah pergeseran besar dalam paradigma hukum siber di Indonesia. Jika sebelumnya penekanan lebih pada penegakan hukum terhadap individu pembuat konten, kini fokusnya meluas. Platform sebagai rumah dari konten tersebut juga wajib menjaga kebersihan dan keamanannya. Kegagalan dalam menjalankan kewajiban ini membawa konsekuensi yang tidak main-main, mulai dari sanksi administratif ringan hingga denda platform yang bisa mencapai ratusan juta rupiah, bahkan pemutusan akses total di Indonesia. Ini menjadi sinyal kuat bahwa tanggung jawab platform bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan hukum.

Era Baru Tanggung Jawab Platform Digital di Indonesia

Selama bertahun-tahun, platform digital beroperasi di bawah prinsip yang dikenal sebagai safe harbor. Secara sederhana, prinsip ini melindungi mereka dari tuntutan hukum atas konten yang diunggah oleh pengguna.

Logikanya, dengan jutaan konten yang diunggah setiap detik, mustahil bagi platform untuk memantau semuanya. Mereka dianggap netral, hanya sebagai perantara. Namun, seiring dengan masifnya dampak negatif dari penyebaran konten berbahaya, seperti disinformasi pemilu, radikalisme, penipuan online, hingga eksploitasi anak, banyak negara mulai mempertanyakan relevansi prinsip ini. Indonesia pun bergerak ke arah yang sama.

Pijakan utamanya adalah revisi UU ITE, terutama dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, serta peraturan pelaksananya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Aturan ini secara eksplisit menggariskan kewajiban bagi PSE. Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa PSE, khususnya yang beroperasi di Indonesia, wajib mematuhi peraturan perundang-undangan. Platform tidak bisa lagi berdalih bahwa mereka tunduk pada hukum di negara asal mereka. Saat beroperasi dan meraup keuntungan dari pengguna di Indonesia, mereka harus tunduk pada hukum siber yang berlaku di sini.

Ini adalah perubahan fundamental. Dari yang tadinya bersifat reaktif, menunggu laporan untuk bertindak, kini platform didorong untuk lebih proaktif.

Mereka diharapkan memiliki sistem, baik teknologi maupun tim moderator, yang mampu mendeteksi dan menangani konten berbahaya dengan cepat. Tanggung jawab platform ini mencakup pencegahan penyebaran dan kewajiban untuk melakukan takedown atau penghapusan konten ilegal dalam batas waktu yang ditentukan setelah menerima perintah dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini Kominfo.

Apa Saja yang Dianggap Konten Berbahaya Menurut UU ITE?

Istilah konten berbahaya sering kali terdengar luas dan subjektif.

Namun, UU ITE dan peraturan turunannya memberikan definisi yang cukup jelas mengenai kategori konten apa saja yang dilarang keras untuk dibuat, didistribusikan, atau difasilitasi penyebarannya oleh PSE. Memahami kategori ini penting, bukan hanya untuk platform, tapi juga untuk kita sebagai pengguna agar lebih bijak dalam berkreasi dan berbagi.

Secara umum, konten yang dilarang adalah informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman, penyebaran berita bohong (hoaks) yang merugikan

konsumen, serta ujaran kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). UU ITE terbaru semakin memperjelas dan memperkuat beberapa poin ini.

Berikut adalah rincian beberapa kategori utama konten berbahaya yang menjadi fokus utama pemerintah dan menjadi dasar penjatuhan sanksi kepada platform:

Kategori Konten yang Wajib Disapu Bersih oleh Platform



  • Konten Pornografi dan Eksploitasi Seksual Anak: Ini adalah salah satu prioritas utama. Platform memiliki kewajiban mutlak untuk mencegah dan memberantas segala bentuk konten pornografi, terutama yang melibatkan anak-anak. Kegagalan dalam hal ini seringkali mendapat sanksi paling berat.

  • Konten Perjudian Online: Kominfo sangat gencar memerangi judi online. Setiap PSE yang kedapatan memfasilitasi, baik secara terang-terangan maupun terselubung, promosi atau praktik judi online akan langsung berhadapan dengan sanksi tegas, termasuk pemblokiran.

  • Terorisme dan Radikalisme: Konten yang berisi propaganda, ajakan, atau pelatihan terkait aktivitas terorisme dan radikalisme ekstrem wajib ditangani dengan sangat cepat. Platform diharapkan memiliki teknologi AI untuk mendeteksi konten semacam ini secara otomatis.

  • Disinformasi dan Hoaks: Terutama yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial, kepanikan publik, atau mengganggu ketertiban umum. Misalnya, hoaks terkait kesehatan saat pandemi, provokasi pemilu, atau berita bohong yang memicu konflik horizontal.

  • Ujaran Kebencian (Hate Speech): Konten yang secara eksplisit menyerang atau mendiskreditkan individu atau kelompok berdasarkan SARA. Ini menjadi area yang cukup sensitif dan membutuhkan moderasi yang cermat dari platform.

  • Konten yang Melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI): Seperti pembajakan film, musik, atau software. Meskipun penindakannya mungkin tidak sekeras kategori lain, ini tetap menjadi bagian dari tanggung jawab platform untuk menyediakan mekanisme pelaporan yang efektif bagi pemilik HKI.

Kewajiban platform adalah memastikan konten-konten seperti di atas tidak mendapatkan ruang untuk tersebar luas.

Ini menjadi tantangan besar mengingat volume konten yang luar biasa, namun hukum siber Indonesia tidak lagi memberikan toleransi terhadap kelalaian.

Jerat Hukum Bagi Platform: Dari Denda Ratusan Juta Hingga Blokir Total

Lalu, apa yang terjadi jika platform dianggap gagal memenuhi tanggung jawabnya? Aturan mainnya sudah sangat jelas dan bertahap. Pemerintah tidak serta-merta melakukan pemblokiran.

Ada mekanisme sanksi administratif yang diatur dalam PP 71/2019 dan diperkuat oleh UU ITE. Sanksi ini dirancang untuk memberikan efek jera dan memaksa kepatuhan dari para PSE.

Prosesnya biasanya dimulai ketika Kominfo menemukan adanya konten berbahaya di sebuah platform atau menerima laporan dari masyarakat.

Kominfo kemudian akan mengirimkan permintaan resmi kepada PSE untuk melakukan takedown atau penghapusan konten tersebut. Batas waktu yang diberikan sangat krusial. Untuk konten seperti pornografi anak, terorisme, atau konten lain yang dianggap sangat mendesak, platform wajib menurunkannya dalam waktu maksimal 4 jam. Untuk konten lain seperti judi online atau hoaks, batas waktunya adalah 24 jam.

Jika platform gagal mematuhi perintah dalam batas waktu tersebut, maka sanksi administratif akan mulai berjalan. Tahapannya adalah sebagai berikut:


  1. Surat Teguran: Langkah awal adalah memberikan teguran tertulis. Ini adalah peringatan formal bahwa platform telah melakukan pelanggaran.

  2. Denda Administratif: Jika teguran diabaikan, pemerintah dapat menjatuhkan denda platform. Besaran denda ini bervariasi. Dalam beberapa rilisnya, Kominfo menyebutkan angka yang signifikan. Misalnya, untuk setiap konten judi online yang tidak ditangani, platform bisa dikenakan denda. Akumulasi denda ini bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

  3. Penghentian Sementara: Jika platform masih membandel, sanksi bisa naik level menjadi penghentian sementara akses ke sistem elektronik tersebut. Ini artinya, layanan mereka akan diblokir sementara di Indonesia sampai mereka menunjukkan itikad baik untuk patuh.

  4. Pemutusan Akses (Blokir Total): Ini adalah sanksi pamungkas. Jika semua peringatan dan sanksi sebelumnya tidak diindahkan, Kominfo memiliki wewenang penuh untuk memutus akses platform tersebut secara permanen dari Indonesia. Langkah ini pernah beberapa kali dilakukan terhadap platform yang dianggap tidak kooperatif.

Kebijakan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menegakkan kedaulatan digital. Tanggung jawab platform kini terukur dengan jelas melalui kecepatan dan efektivitas mereka dalam merespons perintah dari regulator.

Mengenal PSE Lingkup Privat dan Kewajibannya

Untuk memahami konteks ini lebih dalam, kita perlu mengenal istilah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Ini adalah kategori yang mencakup hampir semua platform digital yang kita gunakan sehari-hari.

Menurut Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020, PSE Lingkup Privat adalah penyelenggaraan sistem elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat. Ini termasuk raksasa teknologi global seperti Google, Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp), X, TikTok, hingga platform e-commerce dan layanan streaming.

Peraturan ini mewajibkan semua PSE Lingkup Privat, baik lokal maupun asing, yang memenuhi kriteria tertentu (misalnya, diakses dari Indonesia atau menawarkan layanan di Indonesia) untuk mendaftarkan diri ke Kominfo.

Pendaftaran ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah bentuk komitmen platform untuk tunduk pada hukum Indonesia.

Kewajiban utama setelah mendaftar adalah:


  • Menjamin Akses bagi Penegak Hukum: PSE harus menyediakan akses terhadap data dan sistem elektronik mereka untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan.

  • Melakukan Perlindungan Data Pribadi: Mereka wajib menjaga keamanan data pribadi pengguna sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia, sejalan dengan UU Pelindungan Data Pribadi (PDP).

  • Melakukan Moderasi Konten: Inilah inti dari pembahasan kita. Mereka wajib melakukan takedown konten yang dilarang sesuai permintaan Kominfo dalam batas waktu yang ditentukan.

Kewajiban pendaftaran PSE ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Namun, pemerintah berargumen bahwa ini adalah langkah krusial untuk memastikan adanya akuntabilitas.

Tanpa pendaftaran, akan sulit bagi pemerintah untuk menjangkau dan memberikan sanksi kepada platform asing. Dengan terdaftar, ada entitas yang jelas yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Bagaimana Aturan Ini Dibandingkan dengan Negara Lain?

Langkah yang diambil Indonesia sebenarnya sejalan dengan tren global. Banyak negara dan blok regional juga sedang atau telah menerapkan peraturan yang lebih ketat untuk mengatur tanggung jawab platform.

Salah satu yang paling terkenal adalah Digital Services Act (DSA) yang diterapkan oleh Uni Eropa.

DSA memiliki semangat yang sama dengan regulasi di Indonesia, yaitu menggeser beban dari pengguna ke platform. Beberapa poin kunci dari DSA yang mirip dengan pendekatan di Indonesia antara lain:


  • Mekanisme Notice and Action: Platform harus menyediakan cara yang mudah bagi pengguna untuk melaporkan konten ilegal, dan mereka wajib bertindak cepat atas laporan tersebut.

  • Kewajiban Transparansi: Platform besar (Very Large Online Platforms) wajib transparan mengenai algoritma rekomendasi mereka dan cara mereka melakukan moderasi konten.

  • Sanksi yang Berat: Pelanggaran terhadap DSA dapat mengakibatkan denda hingga 6% dari pendapatan global tahunan perusahaan, sebuah angka yang sangat masif.

Negara lain seperti Jerman dengan NetzDG Law, Inggris dengan Online Safety Bill, dan Australia dengan berbagai aturannya juga menunjukkan pola yang sama. Semua bergerak menuju ekosistem digital di mana platform tidak bisa lagi lepas tangan.

Mereka adalah gatekeeper informasi di era modern, dan dengan kekuatan besar itu, datang pula tanggung jawab platform yang besar. Jadi, apa yang terjadi di Indonesia bukanlah anomali, melainkan bagian dari gerakan global untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman dan akuntabel.

Dampaknya Buat Kamu Sebagai Pengguna Biasa

Aturan ketat soal tanggung jawab platform ini tentu punya dampak langsung dan tidak langsung bagi kita sebagai pengguna. Di satu sisi, ini adalah kabar baik.

Ruang digital kita berpotensi menjadi lebih bersih dari konten-konten negatif seperti penipuan, judi online, dan hoaks yang meresahkan. Penegakan hukum siber yang lebih tegas kepada platform berarti ada perlindungan ekstra bagi konsumen dan masyarakat umum.

Namun, di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu kita cermati:


  1. Potensi Over-Censorship: Karena takut terkena sanksi, platform mungkin menjadi terlalu berhati-hati. Mereka bisa saja menurunkan konten yang sebenarnya berada di area abu-abu atau bersifat kritik, hanya untuk bermain aman. Ini bisa berisiko membatasi kebebasan berekspresi.

  2. Pentingnya Proses Banding: Jika kontenmu tiba-tiba diturunkan oleh platform, penting untuk memahami hakmu. Platform yang baik harus menyediakan mekanisme banding yang jelas dan adil, di mana kamu bisa memberikan argumen mengapa kontenmu tidak melanggar aturan.

  3. Tanggung Jawab Pribadi Tetap Ada: Meskipun platform ikut bertanggung jawab, itu tidak berarti tanggung jawab individu sebagai pembuat konten menjadi hilang. Jika kamu membuat dan menyebarkan konten berbahaya yang melanggar UU ITE, kamu tetap bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana yang relevan. Aturan ini adalah tanggung jawab berlapis, bukan pengalihan tanggung jawab.

Sebagai pengguna yang cerdas, kita harus bisa beradaptasi. Pahami aturan main di setiap platform, buatlah konten secara bertanggung jawab, dan manfaatkan fitur pelaporan jika menemukan konten yang melanggar.

Ingat, menciptakan ekosistem digital yang sehat adalah tanggung jawab kita bersama, baik pengguna, platform, maupun pemerintah.

Informasi yang disajikan di sini bertujuan untuk memberikan gambaran umum dan edukasi mengenai peraturan yang berlaku. Ini tidak dapat dianggap sebagai nasihat hukum yang bersifat final.

Untuk kasus atau pertanyaan hukum yang spesifik, sangat disarankan untuk berkonsultasi langsung dengan ahli hukum atau praktisi yang kompeten di bidang hukum siber.

Pergeseran paradigma dalam hukum siber Indonesia ini adalah sebuah keniscayaan di tengah era digital yang semakin kompleks.

Langkah pemerintah untuk mempertegas tanggung jawab platform melalui UU ITE dan aturan pelaksananya adalah upaya untuk menyeimbangkan antara inovasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan publik. Bagi platform, ini adalah panggilan untuk berinvestasi lebih serius dalam sistem moderasi dan kepatuhan hukum. Bagi kita sebagai pengguna, ini adalah pengingat bahwa di balik setiap klik, unggahan, dan bagikan, ada aturan main yang harus dihormati demi keamanan dan kenyamanan bersama di dunia maya.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0