Skema Burden Sharing BI Bikin Heboh Ternyata Ini Dampaknya ke Gaji dan Tabungan Kamu


Rabu, 10 September 2025 - 14.30 WIB
Skema Burden Sharing BI Bikin Heboh Ternyata Ini Dampaknya ke Gaji dan Tabungan Kamu
Dampak Skema Burden Sharing (Foto oleh Marcus Ganahl di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernah dengar istilah cetak uang untuk bayar kebutuhan negara? Kedengarannya seperti solusi instan yang ajaib, kan? Tapi di dunia nyata, kebijakan ini punya nama yang lebih formal yaitu Burden Sharing. Selama pandemi COVID-19, istilah ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ekonom dan pembuat kebijakan. Ini bukan sekadar teori ekonomi yang rumit, tetapi sebuah kebijakan nyata yang dampaknya bisa terasa langsung ke dompet kita semua, memengaruhi harga-harga barang, nilai tabungan, hingga stabilitas Rupiah. Mari kita bedah lebih dalam apa itu sebenarnya Burden Sharing, mengapa ini menjadi pilihan krusial, dan bagaimana dampaknya merembet ke kehidupan keuangan pribadi kita sebagai generasi muda yang sedang membangun masa depan.

Apa Sebenarnya Skema Burden Sharing yang Bikin Heboh Itu?

Bayangkan situasi ini: Pemerintah (seperti kepala keluarga) sedang menghadapi krisis besar, misalnya pandemi. Pengeluaran untuk kesehatan, bantuan sosial, dan stimulus ekonomi membengkak luar biasa.

Di saat yang sama, pemasukan dari pajak (gaji keluarga) justru menurun drastis karena banyak bisnis yang lesu. Pemerintah butuh dana segar dengan cepat. Biasanya, pemerintah akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi, lalu menjualnya ke pasar, seperti investor institusional, bank, atau bahkan kita sebagai investor ritel. Namun, saat krisis, menjual SBN dalam jumlah besar bisa jadi sulit dan mahal karena investor meminta imbal hasil (bunga) yang sangat tinggi.

Di sinilah skema Burden Sharing masuk. Sederhananya, ini adalah sebuah kesepakatan di mana Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral, turun tangan untuk membeli SBN tersebut langsung dari pemerintah di pasar perdana.

Ini adalah langkah yang tidak biasa. Dalam kondisi normal, BI hanya boleh membeli SBN di pasar sekunder (dari investor lain, bukan langsung dari pemerintah) untuk tujuan stabilisasi pasar. Dengan membeli langsung, Bank Indonesia secara efektif menyuntikkan likuiditas atau uang baru ke dalam sistem untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Jadi, alih-alih pemerintah meminjam dari pasar, ia mendapat pendanaan langsung dari otoritas moneter. Inilah inti dari kebijakan moneter yang luar biasa ini.

Kebijakan ini diimplementasikan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Ada tiga jilid SKB yang dijalankan sejak 2020 hingga 2022 sebagai respons terhadap kebutuhan pembiayaan pandemi.

Tujuannya mulia, yaitu memastikan pemerintah punya cukup dana untuk menangani krisis kesehatan dan sosial tanpa menyebabkan gejolak parah di pasar keuangan. Namun, seperti semua kebijakan besar, ada dua sisi mata uang yang perlu kita pahami.

Manfaat vs. Risiko Burden Sharing Sebuah Pedang Bermata Dua

Kebijakan moneter seperti Burden Sharing sering digambarkan sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi penyelamat di tengah badai krisis.

Di sisi lain, jika tidak dikelola dengan hati-hati, ia bisa menciptakan masalah baru yang lebih besar. Memahami kedua sisinya penting untuk melihat gambaran dampak ekonomi secara utuh.

Sisi Terang Penyelamat di Masa Sulit

Ketika pandemi melanda, perekonomian berada di ujung tanduk. Tanpa pendanaan yang memadai, pemerintah bisa kesulitan membayar program-program vital. Di sinilah manfaat Burden Sharing terlihat jelas:


  • Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan: Dengan BI sebagai pembeli siaga (standby buyer), pasar SBN menjadi lebih stabil. Pemerintah tidak perlu panik mencari dana dengan menawarkan bunga selangit yang bisa membebani APBN di masa depan. Ini mencegah risiko gagal bayar yang bisa meruntuhkan kepercayaan pada ekonomi negara.

  • Membiayai Belanja Darurat: Dana dari skema ini langsung digunakan untuk hal-hal krusial seperti pengadaan vaksin, pembangunan rumah sakit darurat, penyaluran bantuan sosial tunai (bansos) kepada masyarakat terdampak, dan insentif bagi tenaga kesehatan. Tanpa ini, penanganan krisis kesehatan dan sosial bisa jadi jauh lebih lambat.

  • Mendorong Pemulihan Ekonomi: Suntikan dana ke masyarakat melalui berbagai program bantuan membantu menjaga daya beli. Ketika masyarakat tetap bisa berbelanja, roda perekonomian, terutama di level UMKM, bisa terus berputar meskipun melambat. Ini membantu mencegah resesi yang lebih dalam.

Sisi Gelap Ancaman Inflasi dan Melemahnya Rupiah

Di balik manfaatnya, ada risiko besar yang mengintai. Tindakan BI membeli SBN secara langsung pada dasarnya menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat. Inilah yang memicu kekhawatiran utama:


  • Inflasi adalah Musuh Utama: Ini adalah risiko paling klasik dari cetak uang. Ketika jumlah uang di ekonomi meningkat pesat sementara jumlah barang dan jasa yang tersedia relatif tetap, maka harga-harga akan cenderung naik. Logikanya sederhana, terlalu banyak uang mengejar terlalu sedikit barang. Kenaikan harga secara umum dan terus-menerus inilah yang disebut inflasi. Jika tidak terkendali, inflasi akan menggerus daya beli masyarakat. Uang Rp100.000 yang Anda miliki hari ini nilainya akan lebih kecil tahun depan.

  • Stabilitas Rupiah Terancam: Tingkat inflasi yang tinggi membuat nilai mata uang suatu negara menjadi kurang menarik. Investor, baik domestik maupun asing, mungkin akan khawatir nilai aset mereka dalam Rupiah akan tergerus. Hal ini bisa memicu mereka untuk menjual aset Rupiah dan menukarnya dengan mata uang yang lebih stabil seperti Dolar AS. Aksi jual ini akan memberikan tekanan pada nilai tukar Rupiah, membuatnya melemah. Rupiah yang lemah berarti harga barang-barang impor seperti laptop, smartphone, bahan bakar, hingga bahan baku industri menjadi lebih mahal.

  • Risiko Ketergantungan (Moral Hazard): Ada kekhawatiran bahwa pemerintah bisa menjadi kecanduan dengan sumber pendanaan yang mudah ini. Jika pemerintah tahu bahwa BI akan selalu siap sedia membeli utangnya, disiplin dalam pengelolaan anggaran bisa mengendur. Ini bisa berbahaya untuk kesehatan fiskal jangka panjang negara.

Bagaimana Bank Indonesia Mengendalikan Api Inflasi?

Bank Indonesia sangat menyadari risiko inflasi yang datang bersamaan dengan skema Burden Sharing. Oleh karena itu, mereka tidak hanya bertindak sebagai pencetak uang, tetapi juga sebagai pemadam kebakaran yang siap siaga.

Mengelola ekses likuiditas dari Burden Sharing adalah prioritas utama untuk menjaga stabilitas Rupiah dan ekonomi makro. Berbagai instrumen kebijakan moneter pun disiapkan dan dieksekusi dengan hati-hati.

Strategi utama BI adalah menyerap kembali kelebihan uang (likuiditas) yang telah disuntikkan ke sistem perbankan. Ini disebut sebagai strategi normalisasi atau exit policy. Beberapa langkah yang diambil antara lain:

Kenaikan Suku Bunga Acuan (BI Rate)

Ini adalah senjata utama BI untuk melawan inflasi. Ketika BI menaikkan suku bunga acuannya, biaya pinjaman antarbank menjadi lebih mahal.

Bank-bank komersial kemudian akan meneruskan kenaikan biaya ini kepada nasabah dalam bentuk suku bunga kredit yang lebih tinggi, baik untuk KPR, kredit kendaraan, maupun kredit usaha. Suku bunga simpanan seperti deposito juga akan ikut naik. Dengan bunga pinjaman yang lebih mahal, masyarakat dan perusahaan akan cenderung mengurangi belanja dan investasi yang dibiayai utang. Sebaliknya, bunga tabungan yang lebih menarik akan mendorong orang untuk lebih banyak menabung daripada berbelanja. Aktivitas ekonomi yang sedikit direm ini membantu mengurangi tekanan permintaan dan pada akhirnya mendinginkan laju inflasi.

Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operations)

Bank Indonesia juga secara aktif melakukan operasi di pasar uang untuk menyerap likuiditas. Caranya adalah dengan menjual kembali SBN yang dimilikinya kepada perbankan.

Ketika bank membeli SBN dari BI, uang yang dimiliki bank tersebut akan berkurang karena digunakan untuk membayar pembelian SBN. Dengan demikian, jumlah uang yang bisa disalurkan bank sebagai kredit ke masyarakat pun ikut berkurang. Proses ini secara efektif menyedot kelebihan uang dari sistem, mirip seperti spons yang menyerap tumpahan air. Instrumen yang digunakan bisa berupa Reverse Repo SBN atau penjualan surat berharga milik BI sendiri.

Kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM)

GWM adalah jumlah minimum dana yang harus disimpan oleh bank di Bank Indonesia dan tidak boleh disalurkan sebagai kredit. Dengan menaikkan persentase GWM, BI memaksa bank untuk menyimpan lebih banyak uang sebagai cadangan.

Akibatnya, kemampuan bank untuk memberikan pinjaman kepada publik menurun. Ini adalah cara lain yang sangat efektif untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di ekonomi dan mengendalikan inflasi serta menjaga stabilitas Rupiah.

Data Bicara Apa Kata Angka Soal Inflasi dan Rupiah?

Teori adalah satu hal, tetapi bukti di lapangan adalah hal lain.

Mari kita lihat data untuk menilai dampak ekonomi dari skema Burden Sharing yang berlangsung dari 2020 hingga 2022. Apakah kekhawatiran akan lonjakan inflasi dan anjloknya stabilitas Rupiah benar-benar terjadi?

Menurut data dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS), gambaran yang muncul cukup kompleks. Kebijakan ini memang berhasil menjaga perekonomian dari jurang resesi yang lebih dalam.


  • Tingkat Inflasi: Pada tahun 2020, saat Burden Sharing dimulai, inflasi Indonesia justru sangat rendah, yaitu 1,68%, jauh di bawah target BI. Hal ini karena daya beli masyarakat sedang anjlok akibat pandemi. Pada 2021, inflasi masih terkendali di angka 1,87%. Namun, pada 2022, inflasi melonjak signifikan hingga mencapai 5,51%. Kenaikan ini bukan semata-mata karena dampak ekonomi dari Burden Sharing saja. Faktor global seperti perang di Ukraina yang menaikkan harga energi dan pangan dunia, serta gangguan rantai pasok global, juga memberikan andil besar. Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi juga menjadi pemicu utamanya.

  • Stabilitas Rupiah: Selama periode Burden Sharing, nilai tukar Rupiah relatif terjaga. Tentu ada fluktuasi, tetapi tidak terjadi kepanikan pasar atau pelemahan drastis yang dikhawatirkan. Rata-rata nilai tukar berada di kisaran Rp14.000 - Rp15.000-an per Dolar AS. Kemampuan Bank Indonesia dalam mengelola ekspektasi pasar dan intervensi yang terukur menjadi kunci menjaga stabilitas Rupiah. Kepercayaan investor tetap terjaga karena mereka melihat kebijakan moneter ini sebagai langkah darurat yang terukur dan memiliki rencana jalan keluar yang jelas.

Banyak ekonom, termasuk dari lembaga seperti Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa tanpa kebijakan extraordinary ini, kondisi ekonomi bisa jauh lebih buruk. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter adalah kunci keberhasilan Indonesia dalam menghadapi guncangan pandemi. Ini menunjukkan bahwa Burden Sharing adalah pilihan sulit namun perlu pada masanya, dan mitigasi risikonya dilakukan secara paralel.

Jadi, Apa Artinya Ini Semua untuk Keuangan Pribadi Kita?

Memahami konsep makroekonomi seperti Burden Sharing, inflasi, dan stabilitas Rupiah bukanlah sekadar untuk menambah wawasan. Ini memiliki implikasi langsung pada perencanaan keuangan pribadi kita sebagai profesional muda.

Dampak ekonomi dari kebijakan ini terasa nyata di kehidupan sehari-hari.

Dampak Langsung ke Dompet Anda


  • Biaya Hidup Meningkat: Ini adalah dampak inflasi yang paling terasa. Secangkir kopi di kafe langganan, ongkos transportasi online, harga bahan makanan di supermarket, semuanya perlahan tapi pasti merangkak naik. Gaji yang terasa besar tahun lalu mungkin terasa pas-pasan tahun ini.

  • Nilai Tabungan Tergerus: Jika Anda hanya menyimpan uang di rekening tabungan biasa dengan bunga kurang dari 1% per tahun, sementara tingkat inflasi tahunan adalah 5%, maka secara riil nilai uang Anda berkurang sebesar 4% setiap tahunnya. Uang Anda tidak bekerja untuk Anda, malah kehilangan nilainya.

  • Rencana Masa Depan Menjadi Lebih Mahal: Cita-cita membeli rumah, mobil, atau bahkan biaya liburan impian menjadi lebih mahal dari yang diperkirakan. Target dana yang Anda tetapkan tiga tahun lalu mungkin perlu direvisi karena kenaikan harga.

Langkah Cerdas untuk Melindungi Aset Anda

Mengetahui tantangannya adalah separuh dari kemenangan. Kita tidak bisa mengontrol kebijakan moneter Bank Indonesia, tapi kita bisa mengontrol respons keuangan pribadi kita.


  1. Anggarkan dengan Disiplin: Di era kenaikan harga, membuat anggaran dan melacak pengeluaran menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ketahui ke mana perginya setiap Rupiah Anda. Identifikasi pengeluaran yang bisa dikurangi untuk dialokasikan ke pos yang lebih produktif seperti investasi atau dana darurat.

  2. Berinvestasi untuk Melawan Inflasi: Jangan biarkan uang Anda tidur. Cari instrumen investasi yang secara historis dapat memberikan imbal hasil di atas tingkat inflasi. Pilihan bisa beragam, mulai dari reksa dana saham, saham perusahaan blue-chip, hingga properti. Tujuannya adalah membuat aset Anda tumbuh lebih cepat daripada laju kenaikan harga.

  3. Perkuat Dana Darurat: Meskipun nilainya bisa tergerus inflasi, dana darurat dalam bentuk tunai atau setara kas tetap wajib dimiliki. Ini adalah jaring pengaman Anda untuk kebutuhan tak terduga tanpa harus menjual investasi di saat yang tidak tepat.

  4. Tingkatkan Pendapatan Anda: Selain mengelola pengeluaran, fokus pada peningkatan pemasukan adalah strategi proaktif. Manfaatkan keahlian Anda untuk mencari pekerjaan sampingan (side hustle), bernegosiasi untuk kenaikan gaji, atau berinvestasi pada diri sendiri melalui kursus dan sertifikasi untuk meningkatkan nilai jual Anda di pasar kerja.

Skema Burden Sharing adalah sebuah studi kasus yang menarik tentang bagaimana pemerintah dan bank sentral menavigasi krisis. Itu adalah langkah berani yang membawa manfaat sekaligus risiko.

Bagi kita, pelajaran terbesarnya adalah bahwa dunia ekonomi selalu dinamis dan penuh ketidakpastian. Kebijakan yang diambil di tingkat atas akan selalu memiliki riak yang sampai ke level personal kita. Oleh karena itu, membekali diri dengan literasi finansial bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk bisa bertahan dan bahkan berkembang dalam kondisi ekonomi apa pun.

Memahami dinamika ekonomi seperti ini adalah langkah awal untuk membuat keputusan finansial yang lebih cerdas. Setiap pilihan investasi atau strategi keuangan yang Anda ambil harus disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan pribadi Anda.

Informasi yang dibahas di sini bertujuan untuk edukasi dan tidak dimaksudkan sebagai anjuran keuangan spesifik dari seorang profesional.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0