Stablecoin di Indonesia: Ancaman atau Peluang Emas di Era Rupiah Digital?

VOXBLICK.COM - Dunia aset kripto seringkali identik dengan grafik harga yang menyerupai roller coaster, membuat banyak orang ragu untuk terjun ke dalamnya. Namun, di tengah volatilitas tersebut, ada satu jenis aset digital yang dirancang untuk menjadi jangkar ketenangan: stablecoin.
Bayangkan aset kripto yang nilainya tidak liar, melainkan dipatok ke mata uang yang kita kenal sehari-hari, seperti Dolar AS atau bahkan Rupiah. Inilah konsep dasar stablecoin, sebuah inovasi yang berpotensi besar mengubah lanskap ekonomi digital, termasuk di Indonesia. Namun, seiring potensinya, muncul pula pertanyaan besar mengenai regulasi dan masa depannya di tengah rencana besar Bank Indonesia untuk meluncurkan Rupiah Digital.
Apa Itu Stablecoin? Jembatan Antara Uang Kripto dan Rupiah Anda
Secara sederhana, stablecoin adalah aset kripto yang nilainya diikat (pegged) pada aset lain yang lebih stabil, biasanya mata uang fiat. Analogi yang paling mudah adalah membayangkannya sebagai sebuah 'voucher digital'.Jika Anda memiliki satu unit stablecoin yang dipatok ke Dolar AS, itu seperti memegang voucher yang bisa ditukarkan kapan saja dengan nilai satu Dolar AS. Perusahaan penerbit stablecoin tersebut wajib menyimpan cadangan Dolar AS dalam jumlah yang sama dengan jumlah stablecoin yang mereka edarkan untuk menjamin nilainya.
Inilah yang membedakannya dari Bitcoin atau Ethereum yang harganya murni ditentukan oleh penawaran dan permintaan di pasar. Ada beberapa jenis stablecoin berdasarkan cara mereka menjaga stabilitas nilai:
Stablecoin Beragun Fiat (Fiat-Collateralized)
Ini adalah jenis yang paling umum dan mudah dipahami.Setiap koin yang diterbitkan dijamin oleh cadangan mata uang fiat (seperti Dolar AS, Euro, atau Yen) dalam rasio 1:1. Contoh paling populer adalah Tether (USDT) dan USD Coin (USDC). Transparansi cadangan ini menjadi kunci kepercayaan. Penerbitnya harus rutin diaudit untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar memiliki dana yang cukup untuk menjamin setiap stablecoin yang beredar.
Stablecoin Beragun Kripto (Crypto-Collateralized)
Jenis ini sedikit lebih rumit. Alih-alih dijamin oleh uang fiat di bank, nilainya dijamin oleh cadangan aset kripto lain, misalnya Ethereum. Karena aset kripto penjaminnya sendiri volatil, penerbit harus melakukan 'over-collateralization' atau menyimpan jaminan dengan nilai lebih tinggi dari stablecoin yang diterbitkan.Misalnya, untuk menciptakan stablecoin senilai $100, Anda mungkin perlu mengunci Ethereum senilai $150. Ini dilakukan untuk menciptakan penyangga jika harga Ethereum tiba-tiba turun. DAI adalah contoh populer dari stablecoin jenis ini.
Stablecoin Algoritmik (Algorithmic)
Ini adalah jenis yang paling eksperimental dan berisiko.Stabilitas harganya tidak dijamin oleh aset apa pun, melainkan oleh algoritma dan smart contract yang secara otomatis mengatur pasokan koin. Jika harga turun di bawah patokan, algoritma akan mengurangi pasokan untuk menaikkan harga, dan sebaliknya.
Runtuhnya TerraUSD (UST) pada tahun 2022 adalah contoh nyata betapa berbahayanya model ini jika gagal, yang menyebabkan kerugian miliaran dolar bagi investor dan menjadi pelajaran pahit bagi industri aset kripto.
Mengapa Stablecoin Penting untuk Ekonomi Digital Indonesia?
Kehadiran stablecoin bukan sekadar tren teknologi, tetapi juga membawa solusi nyata untuk berbagai masalah dalam sistem keuangan konvensional.Potensinya dalam mendorong ekonomi digital Indonesia sangat signifikan. Pertama, stablecoin memangkas biaya dan waktu pengiriman uang lintas negara (remitansi). Bayangkan seorang pekerja migran Indonesia di Malaysia ingin mengirim uang ke keluarganya di kampung. Melalui jalur konvensional, proses ini bisa memakan waktu berhari-hari dan dipotong berbagai biaya administrasi.
Dengan stablecoin, pengiriman bisa dilakukan dalam hitungan menit dengan biaya yang jauh lebih rendah, langsung ke dompet digital keluarga di Indonesia. Ini adalah sebuah revolusi efisiensi yang dapat meningkatkan kesejahteraan banyak keluarga. Kedua, stablecoin berfungsi sebagai 'safe haven' dan gerbang utama dalam ekosistem aset kripto.
Bagi para trader, saat pasar sedang bergejolak, mereka bisa dengan cepat memindahkan aset mereka ke stablecoin untuk mengamankan nilainya tanpa harus keluar sepenuhnya ke Rupiah. Bagi pemula, membeli stablecoin seringkali menjadi langkah pertama sebelum membeli aset kripto lain yang lebih volatil.
Ini membuatnya menjadi infrastruktur vital dalam pasar aset kripto yang saat ini diatur sebagai komoditas oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Ketiga, stablecoin memiliki potensi besar untuk mendorong inklusi keuangan. Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses ke layanan perbankan formal.
Dengan stablecoin, mereka bisa mengakses layanan keuangan digital global hanya dengan bermodalkan ponsel pintar dan koneksi internet, memungkinkan mereka untuk menabung, bertransaksi, dan berpartisipasi dalam ekonomi digital tanpa harus melalui proses perbankan yang terkadang rumit.
Tantangan Regulasi: Langkah Hati-Hati Bank Indonesia
Di balik semua potensi tersebut, ada tantangan besar yang menghadang, yaitu regulasi.Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas sistem pembayaran, memandang stablecoin dengan sangat hati-hati. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah Rupiah. Pandangan ini ditegaskan dalam proyek ambisius BI yang bernama 'Proyek Garuda', yaitu sebuah kerangka kerja untuk pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau yang kita kenal sebagai Rupiah Digital.
Dalam White Paper Pengembangan Rupiah Digital, Bank Indonesia menjelaskan bahwa Rupiah Digital akan menjadi satu-satunya uang digital yang sah (legal tender) di Indonesia. Kehadiran Rupiah Digital ini bertujuan untuk menjaga kedaulatan Rupiah di era digital, melawan penggunaan aset kripto dan stablecoin swasta dalam sistem pembayaran yang dapat menggerus efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.
Dengan kata lain, BI ingin memastikan bahwa 'jangkar' dari semua transaksi digital di Indonesia tetaplah Rupiah yang dikeluarkan oleh bank sentral, bukan stablecoin yang diterbitkan oleh pihak swasta. Kekhawatiran regulator sangat beralasan.
Risiko utama dari stablecoin swasta adalah risiko de-pegging, di mana nilainya gagal bertahan pada patokan 1:1. Kasus TerraUSD menjadi bukti nyata bahwa kegagalan satu stablecoin besar dapat menciptakan efek domino yang merusak seluruh pasar.
Selain itu, ada pula risiko terkait stabilitas keuangan jika penggunaan stablecoin menjadi masif, serta potensi pemanfaatannya untuk aktivitas ilegal seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme karena sifatnya yang pseudonim.
Stablecoin vs. Rupiah Digital: Siapa Pemenangnya?
Ini bukanlah sebuah pertandingan, melainkan sebuah evolusi sistem keuangan. Rupiah Digital dan stablecoin memiliki perbedaan mendasar.Rupiah Digital adalah kewajiban langsung dari Bank Indonesia, setara dengan uang kertas dan logam yang kita gunakan sekarang, hanya saja dalam bentuk digital. Keamanannya dijamin oleh negara, menjadikannya aset digital paling bebas risiko di Indonesia. Di sisi lain, stablecoin adalah produk dari entitas swasta. Risikonya melekat pada kemampuan dan transparansi penerbitnya dalam mengelola dana cadangan.
Regulasi terhadap stablecoin di Indonesia saat ini masih berada di area abu-abu. Meskipun diperdagangkan sebagai aset di bawah Bappebti, penggunaannya sebagai alat pembayaran dilarang keras oleh Bank Indonesia. Masa depan stablecoin di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana regulator merancang kerangka aturan yang bisa mengakomodasi inovasi tanpa mengorbankan stabilitas. Skenario yang paling mungkin di masa depan adalah ko-eksistensi.
Rupiah Digital akan menjadi tulang punggung sistem pembayaran domestik, digunakan untuk transaksi sehari-hari dengan keamanan tertinggi. Sementara itu, stablecoin (terutama yang berpatokan pada mata uang asing) mungkin akan terus memiliki peran dalam konteks perdagangan aset kripto global dan transaksi lintas batas, dengan catatan harus beroperasi di bawah pengawasan regulasi yang ketat.
Inovasi teknologi blockchain yang dibawa oleh stablecoin tetap berharga dan bisa diadopsi untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan. Perjalanan stablecoin di Indonesia masih sangat panjang dan penuh dinamika. Potensinya untuk merevolusi efisiensi keuangan dan inklusi tidak bisa diabaikan, namun risiko yang menyertainya juga nyata dan harus dimitigasi dengan cermat oleh regulator.
Bagi masyarakat, penting untuk memahami perbedaan fundamental antara inovasi swasta seperti stablecoin dan inisiatif negara seperti Rupiah Digital. Lanskap aset digital dan regulasinya terus berkembang dengan sangat cepat. Informasi yang ada hari ini bisa jadi sudah tidak relevan besok.
Setiap instrumen keuangan digital, termasuk stablecoin yang dirancang untuk stabil, tetap membawa risiko inheren yang mungkin tidak cocok untuk semua profil investor. Melakukan riset mandiri yang mendalam, memahami teknologi di baliknya, dan mengukur toleransi risiko pribadi adalah langkah krusial sebelum memutuskan untuk terlibat dalam ekosistem finansial yang baru dan inovatif ini.
Apa Reaksi Anda?






