Saat Surabaya Menjadi Lautan Api Demi Kemerdekaan Indonesia


Minggu, 07 September 2025 - 02.45 WIB
Saat Surabaya Menjadi Lautan Api Demi Kemerdekaan Indonesia
Pertempuran Surabaya 1945, Kobaran semangat kemerdekaan arek Suroboyo melawan penjajah. Foto oleh Veer Shah via Unsplash

VOXBLICK.COM - Udara di Surabaya pada akhir Oktober 1945 terasa begitu berat, seolah sarat dengan listrik statis sebelum badai besar datang. Kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamasikan dua bulan sebelumnya, dan euforia masih terasa di setiap sudut kota.

Namun, di balik semangat yang membara itu, ada ketegangan yang merayap. Kedatangan pasukan Sekutu, yang diwakili oleh Brigade Infanteri India Britania ke-49 di bawah komando Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, awalnya disambut dengan harapan. Misi mereka jelas: melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Eropa.

Akan tetapi, harapan itu segera memudar ketika di antara mereka terselip anggota NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang punya agenda tersembunyi untuk mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda. Bagi rakyat Indonesia, khususnya para pemuda atau yang lebih dikenal sebagai arek-arek Suroboyo, ini adalah pengkhianatan.

Api dalam sekam pun mulai menyala, menunggu satu percikan untuk meledak menjadi kobaran dahsyat yang akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Pertempuran Surabaya.

Latar Belakang Ketegangan Awal Kedatangan Sekutu

Untuk memahami skala ledakan pada 10 November 1945, kita perlu mundur sejenak. Kedatangan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pada 25 Oktober 1945 adalah bagian dari mandat pasca-Perang Dunia II.

Namun, situasi di lapangan jauh lebih rumit dari sekadar tugas administratif. Rakyat Surabaya, yang telah merebut senjata dari gudang-gudang Jepang, melihat setiap upaya pelucutan senjata sebagai langkah awal untuk melemahkan Republik yang baru lahir. Ketidakpercayaan mencapai puncaknya ketika pasukan Inggris mulai menduduki titik-titik vital di kota dan membebaskan interniran Belanda, banyak di antaranya langsung mempersenjatai diri.

Salah satu insiden paling awal yang menunjukkan betapa rapuhnya situasi adalah Insiden Hotel Yamato pada 19 September 1945. Beberapa orang Belanda mengibarkan bendera triwarna mereka di puncak hotel, sebuah tindakan yang dianggap sebagai provokasi terang-terangan terhadap kedaulatan Indonesia. Kemarahan arek-arek Suroboyo tak terbendung.

Mereka menyerbu hotel, memanjat tiang bendera, dan merobek bagian biru dari bendera Belanda, menyisakan warna merah dan putih. Peristiwa ini, meski kecil skalanya, adalah simbol penolakan keras terhadap kembalinya penjajahan dan menjadi pemantik semangat perlawanan. Situasi semakin memanas dengan adanya pamflet-pamflet yang disebar dari udara oleh pesawat Sekutu, yang memerintahkan rakyat Indonesia untuk menyerahkan semua senjata mereka.

Perintah ini diabaikan sepenuhnya. Bagi pejuang kemerdekaan Indonesia, senjata adalah satu-satunya jaminan kedaulatan mereka. Negosiasi antara pihak Indonesia, yang diwakili oleh Gubernur Jawa Timur R.M.T. Ario Soerjo, dengan Brigadir Jenderal Mallaby berlangsung alot. Pihak Indonesia bersikeras bahwa mereka hanya akan berurusan dengan AFNEI untuk tugas pelucutan tentara Jepang, bukan untuk memfasilitasi kembalinya Belanda.

Namun, kehadiran NICA yang semakin kentara membuat dialog menjadi hampir mustahil.

Setiap hari, ketegangan meningkat, kontak senjata skala kecil meletus di berbagai penjuru kota, mengubah Surabaya menjadi panci presto yang siap meledak.

Tragedi Jembatan Merah Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Titik balik yang mengubah konflik sporadis menjadi perang terbuka adalah peristiwa tragis pada 30 Oktober 1945. Pada hari itu, kontak senjata antara pasukan Inggris dan pejuang Indonesia pecah di seluruh kota.

Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin bahkan terbang ke Surabaya untuk menengahi gencatan senjata. Kesepakatan berhasil dicapai, dan suasana tampak mereda. Brigadir Jenderal Mallaby berkeliling kota dengan mobil Buick berbendera putih untuk mengawasi implementasi gencatan senjata. Namun, sore harinya, saat rombongan Mallaby mendekati Jembatan Merah, di dekat Gedung Internatio yang diduduki pasukan Inggris, situasi menjadi kacau.

Terjadi kesalahpahaman. Massa pejuang Indonesia mengepung gedung tersebut, curiga pasukan Inggris tidak mematuhi gencatan senjata. Pertempuran sengit pun kembali meletus. Mallaby terjebak di tengah baku tembak. Apa yang terjadi selanjutnya menjadi salah satu misteri terbesar dalam sejarah Indonesia.

Laporan dari pihak Inggris, seperti yang dijelaskan dalam berbagai arsip militer, mengklaim Mallaby ditembak oleh seorang pemuda Indonesia saat mencoba bernegosiasi dari dalam mobilnya, sebelum granat dilemparkan ke mobil yang menyebabkan ledakan hebat dan menewaskannya. Di sisi lain, versi dari pihak Indonesia menyebutkan bahwa tembakan pertama justru datang dari dalam Gedung Internatio, yang memicu kemarahan massa.

Kematian Mallaby, menurut versi ini, terjadi dalam kekacauan baku tembak yang tidak jelas siapa pemicu utamanya. Meskipun detail spesifik dari saat-saat terakhir Mallaby masih menjadi subjek perdebatan di antara para sejarawan, seperti yang diulas dalam buku The Battle for Surabaya karya John W.T. Post, dampak dari kematiannya tidak dapat disangkal.

Bagi Inggris, ini adalah pembunuhan keji terhadap seorang perwira tinggi yang menjalankan misi damai. Kematian Mallaby menjadi pembenaran bagi mereka untuk mengerahkan kekuatan militer penuh demi "memulihkan ketertiban" dan menuntut balas.

Peristiwa ini menutup semua pintu negosiasi dan membuka gerbang menuju salah satu pertempuran paling berdarah dalam revolusi, Pertempuran Surabaya.

Ultimatum yang Membakar Amarah Rakyat Surabaya

Kematian Mallaby memicu reaksi keras dari komando Sekutu di Jakarta. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima AFNEI, murka.

Ia menunjuk Mayor Jenderal Robert Mansergh dari Divisi India ke-5 untuk mengambil alih komando di Surabaya dengan satu tugas: menaklukkan kota. Pada 9 November 1945, sehari sebelum pertempuran besar meletus, Mansergh mengeluarkan ultimatum yang disebar melalui udara. Isi ultimatum itu bukan lagi ajakan, melainkan perintah yang arogan dan merendahkan martabat bangsa yang baru merdeka.

Ultimatum tersebut berisi poin-poin yang mustahil diterima oleh rakyat Surabaya:

  • Semua pemimpin Indonesia, termasuk para pemimpin pemuda dan kepala polisi, harus melaporkan diri di Bataviaweg pada pukul 18.00 tanggal 9 November 1945.
  • Mereka harus datang tanpa senjata dan menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat.
  • Seluruh rakyat Indonesia di Surabaya diwajibkan menyerahkan semua jenis senjata, paling lambat pukul 06.00 pagi pada 10 November 1945.
  • Orang-orang Indonesia yang membawa senjata setelah batas waktu tersebut akan ditembak di tempat.

Ultimatum ini dianggap sebagai penghinaan terbesar.

Para pemimpin dan arek-arek Suroboyo melihatnya bukan sebagai upaya penegakan hukum, melainkan deklarasi perang. Menyerah berarti menginjak-injak proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Pilihan yang tersisa hanya satu: melawan. Bukannya takut, rakyat Surabaya justru semakin bersatu. Mereka memilih kehormatan di atas keselamatan, memilih mati berjuang daripada hidup terjajah kembali.

Ultimatum Mansergh, yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti, justru menjadi bahan bakar yang menyulut api perlawanan menjadi kobaran yang tak terkendali.

Jawaban rakyat Surabaya atas ultimatum itu bukanlah dokumen penyerahan, melainkan pekik perjuangan yang akan segera menggema.

"Merdeka atau Mati!" Gema Suara Bung Tomo Mengguncang Angkasa

Di tengah suasana genting menjelang batas akhir ultimatum, muncul seorang tokoh yang suaranya mampu membakar semangat jutaan orang. Dia adalah Sutomo, atau yang lebih kita kenal dengan nama Bung Tomo.

Melalui corong Radio Pemberontakan, suaranya yang berapi-api, penuh emosi, dan menggelegar menjadi simfoni perjuangan bagi seluruh rakyat. Pidatonya bukan sekadar orasi politik, melainkan sebuah panggilan suci, sebuah mantera yang mengubah rasa takut menjadi keberanian dan keraguan menjadi keyakinan. Pada malam 9 November 1945, Bung Tomo menyampaikan pidatonya yang paling legendaris.

Ia menyeru kepada seluruh arek-arek Suroboyo untuk tidak gentar menghadapi kekuatan militer Inggris yang superior. Ia mengingatkan mereka pada kemuliaan perjuangan untuk mempertahankan tanah air. Dengan pekikan takbir "Allahu Akbar!" yang diulang-ulang, ia menyentuh sanubari terdalam rakyat, membangkitkan spirit jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Tuhan untuk membela kebenaran.

Salah satu kutipan pidatonya yang paling ikonik berbunyi: "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga... Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!" Suara Bung Tomo lebih tajam dari peluru dan lebih kuat dari ledakan meriam.

Ia berhasil menyatukan berbagai lapisan masyarakat, dari laskar pejuang, ulama, santri, hingga rakyat jelata, dalam satu barisan perlawanan. Perannya dalam Pertempuran Surabaya menunjukkan kekuatan media di masa perang. Radio menjadi senjata utamanya untuk mengorganisir, memotivasi, dan menegaskan bahwa perlawanan ini adalah perang rakyat semesta.

Pidatonya menjelang 10 November 1945 adalah deklarasi tidak resmi dari rakyat Surabaya kepada dunia, bahwa mereka lebih baik hancur lebur daripada harus menyerahkan kemerdekaan mereka.

Gema suaranya menjadi penanda bahwa fajar esok hari akan disambut dengan darah dan api, demi sebuah cita-cita bernama kemerdekaan Indonesia.

Pecahnya Pertempuran 10 November 1945 Neraka di Kota Pahlawan

Pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945, tepat saat batas waktu ultimatum berakhir, langit Surabaya yang masih remang-remang berubah menjadi merah menyala.

Dari kapal-kapal perang Inggris yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak, meriam-meriam kaliber besar memuntahkan proyektilnya ke jantung kota. Serangan ini diikuti oleh bombardir dari udara oleh pesawat-pesawat tempur Royal Air Force.

Gempuran dahsyat ini adalah awal dari Pertempuran Surabaya, sebuah pertempuran yang oleh pihak Inggris diperkirakan akan selesai dalam tiga hari, namun ternyata berlangsung selama tiga minggu penuh.

Fase-fase Pertempuran

Hari Pertama Gempuran Total

Serangan pembuka Inggris adalah demonstrasi kekuatan militer modern yang mengerikan. Gedung-gedung pemerintahan, pusat komunikasi, dan basis-basis pejuang menjadi target utama.

Tujuannya adalah untuk menimbulkan syok dan melumpuhkan semangat perlawanan sebelum pasukan darat masuk. Namun, mereka salah perhitungan. Bukannya menyerah, arek-arek Suroboyo justru keluar dari puing-puing dengan semangat yang lebih membara.

Berbekal senjata rampasan, bambu runcing, dan tekad baja, mereka menyambut kedatangan tank-tank Sherman dan pasukan darat Inggris dengan perlawanan sengit.

Perang Kota dari Gang ke Gang

Pertempuran dengan cepat berubah menjadi perang kota yang brutal. Tank-tank Inggris yang perkasa di jalan-jalan besar menjadi tidak berdaya saat memasuki gang-gang sempit khas Surabaya. Di sinilah keunggulan para pejuang.

Mereka mengenal setiap sudut kota, setiap lorong, dan setiap atap rumah. Mereka melancarkan taktik gerilya kota, melakukan serangan kilat lalu menghilang ke dalam kampung. Setiap rumah menjadi benteng pertahanan, setiap jendela menjadi pos penembak jitu. Pertarungan berlangsung dari pintu ke pintu, dari lantai ke lantai.

Sejarah mencatat pertempuran ini sebagai salah satu yang terberat yang pernah dihadapi tentara Inggris setelah Perang Dunia II, sebuah fakta yang dikonfirmasi oleh berbagai dokumen militer yang kini dapat diakses oleh publik, termasuk melalui arsip seperti yang dikelola oleh Australian War Memorial yang mendokumentasikan peran Sekutu di Pasifik.

Tiga Minggu Perlawanan Heroik

Inggris mengerahkan sekitar 30.000 pasukan, lengkap dengan artileri berat, tank, dan dukungan udara.

Di sisi lain, diperkirakan ada 20.000 anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sekitar 100.000 milisi sipil yang bertempur untuk Indonesia. Perbedaan persenjataan sangat timpang, namun semangat juang menyeimbangkannya. Selama tiga minggu, Surabaya menjadi neraka. Kota ini hancur lebur, mayat bergelimpangan di jalanan.

Korban di pihak Indonesia sangat besar, diperkirakan antara 6.000 hingga 16.000 pejuang dan warga sipil tewas, serta ratusan ribu lainnya mengungsi. Sementara itu, pihak Inggris kehilangan sekitar 600 hingga 2.000 tentara. Meskipun pada akhir November Surabaya berhasil diduduki sepenuhnya oleh Inggris, pertempuran ini adalah sebuah kemenangan strategis bagi Indonesia.

Perlawanan gigih ini menggagalkan rencana cepat Sekutu dan menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang bisa direbut kembali dengan mudah. Ini adalah awal dari pengakuan internasional.

Dampak dan Warisan Pertempuran Surabaya

Meskipun secara militer Indonesia kalah dan Surabaya jatuh ke tangan Sekutu, Pertempuran Surabaya memiliki dampak yang luar biasa besar bagi perjalanan revolusi.

Pertempuran ini adalah sebuah pembaptisan api bagi republik yang masih bayi. Perlawanan habis-habisan arek-arek Suroboyo mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada Belanda dan dunia: bangsa Indonesia siap membayar harga apapun untuk kemerdekaannya. Di tingkat internasional, berita tentang pertempuran sengit di Surabaya menarik perhatian media global. Simpati internasional mulai tumbuh untuk perjuangan Indonesia.

Negara-negara seperti India dan Australia mulai menekan Inggris dan Belanda. Pertempuran ini efektif mengubah narasi dari sekadar "pemberontakan ekstremis" menjadi perjuangan sah sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Peristiwa 10 November 1945 menjadi kartu truf diplomasi Indonesia di forum-forum internasional di kemudian hari. Di dalam negeri, Pertempuran Surabaya menjadi legenda yang mengkristalkan semangat persatuan dan nasionalisme.

Kisah heroik para pejuang menyebar ke seluruh nusantara, menginspirasi perlawanan di daerah-daerah lain. Untuk mengenang dan menghormati pengorbanan tanpa pamrih para pahlawan yang gugur dalam pertempuran tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Sejak saat itu, setiap tahunnya, bangsa Indonesia berhenti sejenak untuk merenungkan keberanian para pendahulunya, menjadikan Surabaya sebagai "Kota Pahlawan", sebuah monumen hidup dari semangat "Merdeka atau Mati". Informasi mengenai penetapan ini juga tercatat dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah yang dirilis oleh institusi seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Api yang membakar Surabaya pada November 1945 mungkin telah padam, namun bara semangatnya tidak akan pernah mati. Peristiwa itu menjadi pengingat abadi bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan, pengorbanan, dan darah para pahlawan. Setiap kali kita memperingati Hari Pahlawan, kita tidak hanya mengenang sebuah pertempuran di masa lalu.

Kita dipanggil untuk merefleksikan makna pengorbanan itu dalam konteks masa kini. Sejarah bukan sekadar catatan tentang tanggal dan peristiwa, ia adalah cermin bagi generasi sekarang untuk melihat betapa mahalnya harga sebuah kebebasan.

Menghargai perjalanan waktu berarti memahami bahwa setiap kemudahan yang kita nikmati hari ini dibangun di atas fondasi pengorbanan mereka, dan tugas kita adalah melanjutkan perjuangan itu dengan cara mengisi kemerdekaan, membangun bangsa yang lebih adil, makmur, dan berdaulat.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0