Tangan Besi Gajah Mada dan Visi Hayam Wuruk: Rahasia Tak Terungkap di Balik Puncak Kejayaan Majapahit


Sabtu, 30 Agustus 2025 - 07.55 WIB
Tangan Besi Gajah Mada dan Visi Hayam Wuruk: Rahasia Tak Terungkap di Balik Puncak Kejayaan Majapahit
Duet Pemimpin Kekuasaan Majapahit (Foto oleh Rodrigo Araya di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pada pertengahan abad ke-14, di jantung Pulau Jawa yang subur, sebuah kekuatan besar tengah mengukir takdirnya. Kerajaan Majapahit, di bawah kepemimpinan seorang raja muda bernama Hayam Wuruk, memasuki era keemasannya.

Namun, narasi kebesaran ini tidak akan lengkap tanpa menyebut nama yang menggetarkan di sampingnya: Mahapatih Gajah Mada. Bukan sekadar hubungan antara raja dan patih, ikatan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah sebuah sinergi kepemimpinan yang langka, sebuah perpaduan visi diplomatik dan kekuatan militer yang mendorong Majapahit menuju puncak kejayaan Majapahit yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kolaborasi mereka menjadi mesin penggerak utama dalam sejarah Majapahit, mengubah konstelasi politik di seluruh kepulauan.

Hayam Wuruk, yang naik takhta pada tahun 1350 Masehi dalam usia 16 tahun dengan gelar Sri Rajasanagara, bukanlah sekadar pewaris takhta. Kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca, menggambarkannya sebagai sosok raja yang berwibawa, cakap, dan sangat dihormati.

Ia adalah seorang patron seni dan budaya, di mana pada masa pemerintahannya, sastra, arsitektur, dan upacara keagamaan berkembang pesat. Hayam Wuruk adalah wajah diplomasi Majapahit; seorang negarawan yang cerdas dan visioner yang memahami pentingnya aliansi dan citra kerajaan di mata dunia. Di sisi lain, Gajah Mada adalah perwujudan kekuatan dan ambisi.

Jauh sebelum Hayam Wuruk berkuasa, Gajah Mada telah membuktikan loyalitas dan kemampuannya, menapaki karier dari seorang prajurit Bekel hingga menjadi Mahapatih. Ia adalah seorang ahli strategi militer yang tak kenal kompromi, seorang politikus ulung yang tangguh, dan arsitek di balik ekspansi teritorial kerajaan. Jika Hayam Wuruk adalah jiwa dari Kerajaan Nusantara, maka Gajah Mada adalah pedangnya.

Keduanya saling melengkapi, menciptakan keseimbangan yang sempurna untuk sebuah imperium besar.

Sumpah Palapa: Ikrar yang Mengikat Takdir Nusantara

Jauh sebelum duetnya dengan Hayam Wuruk dimulai, Gajah Mada telah menancapkan sebuah tonggak ambisi yang akan mendefinisikan seluruh kariernya dan arah sejarah Majapahit. Dalam naskah Pararaton, tercatat sebuah momen krusial pada tahun 1336 M, saat Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi.

Di hadapan Ratu Tribhuwanatunggadewi, ibunda Hayam Wuruk, ia mengucapkan sebuah sumpah yang legendaris: Sumpah Palapa. Ia bersumpah tidak akan menikmati istirahat atau kesenangan duniawi (amukti palapa) sebelum berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji kebesaran Majapahit.

Sumpah Palapa ini bukan sekadar retorika politik; ia adalah sebuah deklarasi visi, sebuah cetak biru penaklukan dan penyatuan yang akan menjadi obsesi Gajah Mada hingga akhir hayatnya.

Visi ini, yang awalnya mungkin terdengar mustahil, menjadi landasan kebijakan luar negeri Majapahit selama beberapa dekade berikutnya. Sumpah Palapa mengartikulasikan sebuah gagasan geopolitik yang luar biasa pada masanya: sebuah Kerajaan Nusantara yang terintegrasi.

Ketika Hayam Wuruk naik takhta, ia tidak menentang atau mengekang ambisi Gajah Mada. Sebaliknya, ia merangkul dan melegitimasi Sumpah Palapa, menjadikannya sebagai tujuan resmi negara. Dengan restu dan dukungan penuh dari sang raja, Gajah Mada memiliki keleluasaan untuk mengerahkan segala sumber daya militer dan politik demi mewujudkan ikrarnya.

Kombinasi antara ambisi baja Gajah Mada dan legitimasi agung dari Hayam Wuruk menjadi kekuatan pendorong yang tak terhentikan dalam perjalanan menuju puncak kejayaan Majapahit.

Diplomasi dan Ekspedisi Militer: Dua Sisi Koin Kejayaan Majapahit

Untuk mewujudkan Sumpah Palapa, duet Hayam Wuruk dan Gajah Mada menerapkan strategi ganda yang brilian: diplomasi yang persuasif dan kekuatan militer yang tak terbantahkan.

Hayam Wuruk, dengan pesona dan kecakapan diplomasinya, membangun jaringan aliansi yang dikenal sebagai Mitreka Satata atau 'persahabatan setara'. Melalui konsep ini, kerajaan-kerajaan sahabat di luar Jawa, seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, diundang untuk menjadi mitra strategis, bukan sekadar wilayah taklukan.

Mereka diberi otonomi untuk mengatur urusan dalam negeri, namun harus mengakui kedaulatan Majapahit dan memberikan upeti sebagai tanda persahabatan. Pendekatan ini, yang didukung oleh kekuatan angkatan laut Majapahit yang dominan, terbukti sangat efektif dalam memperluas pengaruh kerajaan tanpa harus selalu menumpahkan darah. Kisah sukses ini menjadi bagian penting dalam sejarah Majapahit.

Namun, tidak semua kerajaan bersedia tunduk secara damai.

Di sinilah peran Gajah Mada sebagai panglima tertinggi menjadi vital. Ekspedisi militer, yang dikenal sebagai Pamalayu dan ekspedisi lainnya, dilancarkan untuk menundukkan wilayah-wilayah yang menolak supremasi Majapahit. Menurut catatan dalam Encyclopedia Britannica, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kekuasaan Majapahit membentang dari Semenanjung Malaya hingga wilayah timur nusantara.

Kitab Nagarakretagama Pupuh 13-14 bahkan mendaftar puluhan wilayah bawahan yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Kombinasi antara kebijakan 'gula' dari Hayam Wuruk dan 'cambuk' dari Gajah Mada inilah yang memungkinkan realisasi Sumpah Palapa.

Mereka menunjukkan kepada dunia bahwa Majapahit mampu bersikap anggun di meja perundingan, namun juga sangat mematikan di medan pertempuran, sebuah dualitas yang menjadi kunci puncak kejayaan Majapahit.

Tragedi Bubat: Retak dalam Duet Sempurna?

Di tengah gemerlap puncak kejayaan Majapahit, sebuah peristiwa kelam terjadi yang menodai hubungan harmonis antara Majapahit dan Kerajaan Sunda, sekaligus diduga memicu keretakan dalam duet Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Peristiwa yang dikenal sebagai Pasunda Bubat atau Perang Bubat pada tahun 1357 Masehi ini menjadi salah satu episode paling kontroversial dalam sejarah Majapahit. Kisah ini bermula dari niat Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Raja Sunda, Prabu Linggabuana.

Rombongan kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung yang diharapkan dapat mempererat hubungan kedua kerajaan besar di tanah Jawa.

Namun, interpretasi Gajah Mada terhadap kedatangan rombongan ini berbeda. Menurut kitab Pararaton, Gajah Mada memandang pernikahan ini sebagai sebuah tindakan penyerahan diri dari Sunda kepada Majapahit.

Ia menuntut agar Putri Dyah Pitaloka diserahkan sebagai persembahan atau upeti, bukan sebagai permaisuri yang setara. Tuntutan ini dianggap sebagai penghinaan besar oleh pihak Sunda. Prabu Linggabuana dan para prajuritnya memilih untuk bertempur sampai mati demi mempertahankan kehormatan mereka di Lapangan Bubat, daripada menyerah pada arogansi Gajah Mada.

Tragedi ini berakhir dengan gugurnya seluruh rombongan Sunda, termasuk sang putri yang memilih bunuh diri. Penting untuk dicatat bahwa kisah tragis ini hanya tercatat dalam Pararaton dan beberapa kidung Sunda. Naskah Nagarakretagama, yang ditulis pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, justru tidak menyebutkan sama sekali peristiwa ini.

Perbedaan sumber sejarah ini menimbulkan perdebatan di kalangan sejarawan mengenai kebenaran dan skala peristiwa tersebut. Namun, jika tragedi ini benar terjadi, ia mencerminkan benturan antara pendekatan diplomatik Hayam Wuruk yang ingin menjalin aliansi melalui pernikahan, dengan pendekatan pragmatis dan keras dari Gajah Mada yang hanya melihat satu tujuan: penaklukan total demi Sumpah Palapa.

Peristiwa ini menjadi bayang-bayang gelap yang menunjukkan bahwa bahkan kemitraan terhebat pun memiliki titik rapuhnya sendiri.

Warisan Abadi Sang Raja dan Mahapatih untuk Kerajaan Nusantara

Meskipun diwarnai tragedi, warisan yang ditinggalkan oleh kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada tak terbantahkan. Mereka berhasil membawa Kerajaan Majapahit ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya dan sesudahnya. Gajah Mada wafat sekitar tahun 1364 M.

Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi Majapahit. Hayam Wuruk dilaporkan sangat berduka dan membutuhkan waktu lama untuk menemukan pengganti yang sepadan, menunjukkan betapa vitalnya peran sang mahapatih. Setelah kematian Gajah Mada, Hayam Wuruk terus memerintah dengan bijaksana hingga wafatnya pada tahun 1389 M.

Selama sisa pemerintahannya, ia berhasil menjaga stabilitas dan kemakmuran yang telah dibangun bersama Gajah Mada.

Warisan terpenting dari duet ini adalah peletakan fondasi konsep persatuan geopolitik yang kita kenal sebagai Nusantara. Gagasan Sumpah Palapa, yang dieksekusi dengan cemerlang, untuk pertama kalinya menyatukan sebagian besar wilayah kepulauan di bawah satu payung kekuasaan.

Selain ekspansi wilayah, era Hayam Wuruk dan Gajah Mada juga menyaksikan perkembangan hukum, administrasi pemerintahan yang teratur, serta kemajuan dalam bidang seni dan budaya. Mereka tidak hanya membangun sebuah imperium militer, tetapi juga sebuah peradaban yang maju. Puncak kejayaan Majapahit menjadi bukti nyata bahwa visi besar yang didukung oleh eksekusi yang kuat mampu mengubah jalannya sejarah.

Pengaruh sejarah Majapahit, terutama pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, terus terasa hingga hari ini, menginspirasi gagasan tentang persatuan Indonesia.

Kisah Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah cerminan abadi tentang kekuatan kemitraan. Ia mengajarkan kita bahwa visi seorang pemimpin membutuhkan tangan seorang pelaksana yang cakap untuk menjadi kenyataan, dan sebaliknya, kekuatan tanpa arah yang bijak bisa menjadi destruktif.

Sejarah mereka, dengan segala kejayaan dan tragedinya, mengingatkan kita bahwa perjalanan sebuah bangsa dibentuk oleh keputusan, ambisi, dan terkadang, ego manusia-manusia di pusat kekuasaan. Mempelajari jejak langkah mereka bukan sekadar menengok masa lalu, melainkan mengambil hikmah tentang keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme, antara diplomasi dan kekuatan, sebuah pelajaran yang tetap relevan dalam menavigasi kompleksitas zaman kapan pun kita berada.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0