TikTok dan Meta Terancam Sanksi Berat di Indonesia Akibat Gagal Atasi Hoaks

VOXBLICK.COM - Peringatan keras dari pemerintah Indonesia bukan lagi sekadar wacana bagi platform digital raksasa. TikTok dan Meta, perusahaan induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp, kini berada di bawah pengawasan ketat terkait penyebaran disinformasi Indonesia. Kegagalan dalam menindak konten hoaks, ujaran kebencian, dan misinformasi lainnya bisa berujung pada penerapan sanksi platform digital yang serius, sebuah langkah yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga ruang digital yang sehat dan aman bagi jutaan penggunanya di tanah air. Ancaman ini menjadi semakin relevan mengingat masifnya penggunaan media sosial dan potensi dampaknya terhadap stabilitas sosial dan politik.
Era di mana platform bisa berlindung di balik argumen sebagai penyedia netral tampaknya akan segera berakhir.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), telah mempersiapkan serangkaian aturan medsos yang lebih tegas. Tekanan ini muncul dari kesadaran bahwa disinformasi Indonesia bukan lagi masalah sepele. Dampaknya terasa nyata, mulai dari polarisasi masyarakat, ketidakpercayaan pada institusi, hingga potensi kekacauan selama event-event penting nasional seperti hoaks pemilu. Oleh karena itu, tanggung jawab kini secara eksplisit diletakkan pada pundak platform seperti TikTok dan Meta untuk proaktif membersihkan ekosistem mereka dari konten berbahaya.
Mengapa Disinformasi Jadi Masalah Super Serius di Indonesia?
Untuk memahami urgensi di balik kebijakan Kominfo, kita perlu melihat lanskap digital Indonesia. Menurut laporan dari We Are Social dan Meltwater, pada awal 2023 terdapat 167 juta pengguna media sosial di Indonesia.
Angka ini setara dengan 60.4% dari total populasi. Rata-rata waktu yang dihabiskan orang Indonesia di media sosial adalah 3 jam 18 menit setiap hari. Dengan penetrasi yang begitu dalam dan waktu interaksi yang tinggi, media sosial telah menjadi arena utama pembentukan opini publik. Ketika arena ini dicemari oleh disinformasi Indonesia, dampaknya bisa sangat destruktif.
Hoaks pemilu adalah salah satu contoh paling gamblang.
Konten menyesatkan yang dirancang untuk menyerang kandidat tertentu, memutarbalikkan fakta, atau menciptakan narasi palsu dapat menyebar secepat kilat di platform seperti TikTok dan produk Meta. Hal ini tidak hanya merusak integritas proses demokrasi tetapi juga memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Ingat kembali bagaimana hoaks kesehatan selama pandemi COVID-19 menyebabkan kebingungan massal dan bahkan membahayakan nyawa. Ini menunjukkan bahwa dampak disinformasi Indonesia melampaui dunia maya dan memiliki konsekuensi di dunia nyata.
Masalahnya diperparah oleh kecepatan dan volume konten yang diunggah setiap detik.
Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan engagement sering kali tanpa sadar justru memperkuat penyebaran konten yang sensasional dan provokatif, yang mana sering kali merupakan konten hoaks. Platform seperti TikTok dengan format video pendeknya menjadi sangat efektif dalam menyebarkan narasi menyesatkan secara viral. Di sisi lain, grup-grup tertutup di platform Meta seperti WhatsApp menjadi ruang gema di mana disinformasi dapat menyebar tanpa pengawasan publik. Kombinasi faktor-faktor inilah yang mendorong lahirnya aturan medsos yang lebih ketat dan ancaman sanksi platform digital yang nyata.
Regulasi yang Menjadi Dasar Sanksi Platform Digital
Ancaman sanksi platform digital ini bukan tanpa dasar hukum. Payung hukum utama yang digunakan Kominfo adalah Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 (PM 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Aturan ini mewajibkan platform digital seperti TikTok dan Meta yang beroperasi di Indonesia untuk mendaftar dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Salah satu kewajiban paling krusial dalam PM 5/2020 adalah keharusan PSE untuk memastikan platformnya tidak memuat atau memfasilitasi penyebaran konten yang dilarang. Konten yang dilarang ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada, hal-hal berikut:
- Melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
- Memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap konten terlarang.
Disinformasi Indonesia dan hoaks pemilu jelas masuk dalam kategori "meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum." Berdasarkan aturan ini, Kominfo memiliki wewenang untuk memerintahkan PSE untuk melakukan pemutusan akses atau take-down terhadap konten tersebut. Batas waktunya pun sangat ketat. Untuk konten biasa, PSE diberi waktu 1x24 jam untuk menindaklanjuti laporan. Namun, untuk konten yang dianggap mendesak seperti terorisme, pornografi anak, atau konten yang bisa menyebabkan keresahan mendalam, waktunya dipersingkat menjadi hanya 4 jam.
Selain PM 5/2020, ada juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadi landasan hukum lebih luas.
UU ITE secara gamblang melarang penyebaran berita bohong yang menyesatkan dan mengakibatkan kerugian konsumen atau menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA. Kegagalan TikTok dan Meta dalam memoderasi konten yang melanggar UU ITE dapat dianggap sebagai bentuk pembiaran, yang memperkuat alasan bagi Kominfo untuk menjatuhkan sanksi platform digital. Dengan kerangka aturan medsos yang sudah ada ini, pemerintah memiliki legitimasi untuk bertindak tegas.
Deretan Sanksi yang Siap Menanti TikTok dan Meta
Pemerintah telah menyiapkan mekanisme sanksi yang bersifat bertahap (eskalatif). Artinya, tindakan tidak akan langsung berupa pemblokiran total, melainkan dimulai dari peringatan.
Namun, jika platform terus-menerus gagal memenuhi kewajibannya, sanksi yang lebih berat siap diberlakukan. Berikut adalah jenis-jenis sanksi platform digital yang bisa diterima TikTok dan Meta.
Peringatan Tertulis Sanksi Tahap Awal
Ini adalah langkah pertama dalam proses penegakan hukum.
Ketika Kominfo menemukan adanya pelanggaran atau menerima laporan valid mengenai konten disinformasi Indonesia yang tidak ditindaklanjuti, mereka akan mengirimkan surat teguran resmi kepada platform yang bersangkutan. Peringatan ini berfungsi sebagai notifikasi formal yang meminta platform untuk segera mengambil tindakan korektif. Biasanya, dalam teguran ini akan disebutkan secara spesifik pelanggaran yang terjadi dan batas waktu yang diberikan untuk memperbaikinya. Ini adalah kesempatan bagi TikTok dan Meta untuk menunjukkan komitmen dan kepatuhan mereka terhadap aturan medsos di Indonesia.
Denda Administratif Uang yang Tidak Sedikit
Jika peringatan tertulis diabaikan atau penanganan masalah dinilai tidak memuaskan, Kominfo dapat meningkatkan sanksi ke level berikutnya, yaitu denda administratif.
Besaran denda ini bisa sangat bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan pelanggaran, frekuensi pelanggaran, dan dampak yang ditimbulkan oleh disinformasi Indonesia tersebut. Meskipun jumlah pastinya sering kali tidak dipublikasikan secara rinci, tujuannya jelas untuk memberikan efek jera secara finansial. Bagi perusahaan sekelas Meta dan TikTok, denda ini mungkin tidak signifikan secara global, tetapi ini adalah sinyal kuat bahwa pemerintah serius dan pelanggaran berkelanjutan akan merugikan secara finansial.
Pemutusan Akses Sementara atau Throttling
Ini adalah sanksi yang dampaknya mulai dirasakan langsung oleh pengguna.
Kominfo memiliki kewenangan untuk memerintahkan Penyedia Jasa Internet (ISP) di seluruh Indonesia untuk melakukan pemutusan akses sementara terhadap platform yang melanggar. Bentuknya bisa berupa pemblokiran total untuk periode waktu tertentu atau throttling, yaitu penurunan kecepatan akses (bandwidth) secara sengaja. Ketika sebuah platform di-throttle, pengguna akan merasa layanan menjadi sangat lambat dan tidak responsif. Tujuannya adalah untuk menciptakan disinsentif bagi pengguna dan menekan platform agar segera patuh. Sanksi ini jelas akan merusak pengalaman pengguna dan reputasi TikTok maupun Meta.
Blokir Total Sanksi Paling Pamungkas
Ini adalah opsi terakhir dan sanksi terberat yang bisa dijatuhkan.
Jika semua peringatan dan sanksi sebelumnya tidak diindahkan, Kominfo dapat memerintahkan pemutusan akses secara permanen atau pemblokiran total. Artinya, platform tersebut tidak akan bisa diakses sama sekali dari Indonesia menggunakan jaringan internet normal. Langkah ini tentu tidak diambil dengan mudah karena mempertimbangkan dampaknya terhadap jutaan pengguna dan ekosistem ekonomi digital yang bergantung pada platform tersebut. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa Kominfo tidak ragu untuk menggunakan kewenangan ini jika dianggap perlu untuk kepentingan nasional, terutama jika terkait dengan keamanan dan ketertiban umum yang terancam oleh hoaks pemilu atau disinformasi masif.
Bukan Cuma Gertakan Kominfo Punya Rekam Jejak Tegas
Ancaman sanksi platform digital ini bukanlah gertakan sambal. Kominfo memiliki rekam jejak yang menunjukkan ketegasannya dalam menegakkan aturan medsos.
Salah satu kasus paling terkenal adalah pemblokiran platform Telegram pada tahun 2017. Saat itu, Telegram dianggap tidak kooperatif dalam menangani konten propaganda terorisme. Setelah melalui proses komunikasi dan akhirnya pendiri Telegram datang langsung ke Indonesia untuk berdiskusi, akses akhirnya dibuka kembali dengan komitmen baru dari pihak Telegram untuk lebih proaktif. Kasus ini menjadi preseden penting yang menunjukkan bahwa pemerintah berani mengambil langkah drastis terhadap platform global sekalipun.
Selain Telegram, Kominfo juga secara rutin melakukan pemblokiran terhadap ribuan situs web dan aplikasi setiap tahunnya. Mayoritas adalah situs judi online, investasi ilegal, dan konten pornografi. Sebagaimana dilaporkan oleh situs resmi Kominfo, Menteri Budi Arie Setiadi menegaskan komitmennya untuk memberantas konten negatif, termasuk melakukan take-down terhadap ratusan ribu konten judi online. Ketegasan ini menunjukkan bahwa infrastruktur dan kemauan politik untuk melakukan pemblokiran sudah ada. Oleh karena itu, ancaman terhadap TikTok dan Meta terkait penanganan disinformasi Indonesia harus dipandang serius. Mereka tidak bisa lagi menganggap remeh permintaan dari regulator di Indonesia.
Tantangan Pemberantasan Disinformasi di Era Digital
Di sisi lain, perlu diakui bahwa memberantas disinformasi Indonesia bukanlah tugas yang mudah bagi TikTok dan Meta. Tantangannya sangat kompleks. Pertama, volume konten yang luar biasa besar.
Miliaran postingan, foto, dan video diunggah setiap hari, membuatnya mustahil untuk dimoderasi secara manual. Ketergantungan pada Kecerdasan Buatan (AI) memang membantu, tetapi AI belum sempurna. AI sering kesulitan memahami konteks, sarkasme, atau nuansa budaya dan bahasa lokal, yang dapat menyebabkan kesalahan dalam moderasi.
Kedua, kecepatan penyebaran. Sebuah hoaks, terutama yang terkait hoaks pemilu, bisa menjadi viral dalam hitungan menit, jauh sebelum tim moderator atau pemeriksa fakta sempat menganalisis dan menindaknya.
Saat konten itu di-take-down, pesannya mungkin sudah menyebar luas melalui tangkapan layar atau diunggah ulang di platform lain. Ini seperti permainan kejar-kejaran yang tidak ada habisnya.
Ketiga, ada perdebatan pelik seputar kebebasan berekspresi.
Di mana batas antara opini yang tidak populer, kritik keras, dan disinformasi Indonesia yang berbahaya? Penegakan aturan medsos yang terlalu agresif berisiko memberangus diskusi yang sah dan menjadi alat sensor. Menemukan keseimbangan yang tepat adalah tantangan besar. Seperti yang sering disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil seperti SAFEnet, moderasi konten harus transparan dan akuntabel agar tidak melanggar hak-hak digital warga.
Oleh karena itu, upaya penegakan sanksi platform digital oleh Kominfo juga perlu diimbangi dengan dialog konstruktif dengan platform.
Kolaborasi dengan pemeriksa fakta lokal, investasi dalam teknologi moderasi yang lebih canggih, dan kampanye literasi digital yang masif adalah bagian dari solusi holistik yang dibutuhkan. Peraturan dan kebijakan dapat berubah sewaktu-waktu, oleh karena itu, merujuk pada sumber resmi pemerintah selalu menjadi langkah yang paling bijaksana untuk mendapatkan informasi terkini.
Langkah yang Sudah Diambil TikTok dan Meta
Menghadapi tekanan regulasi yang semakin kuat, baik TikTok maupun Meta tidak tinggal diam. Mereka telah mengimplementasikan berbagai kebijakan dan fitur untuk memerangi penyebaran disinformasi Indonesia.
Meta, misalnya, telah lama menjalin kemitraan dengan jaringan pemeriksa fakta pihak ketiga di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ketika sebuah konten diidentifikasi sebagai hoaks oleh mitranya, Meta akan mengurangi distribusinya di linimasa, memberikan label peringatan, dan menyediakan konteks tambahan dari pemeriksa fakta. Mereka juga menggunakan AI untuk mendeteksi akun palsu dan perilaku tidak otentik terkoordinasi yang sering menjadi sumber penyebaran hoaks.
Sama halnya dengan TikTok, platform ini telah memperkuat Panduan Komunitasnya untuk secara eksplisit melarang misinformasi yang berbahaya. Mereka bekerja sama dengan lembaga seperti Agence France-Presse (AFP) sebagai mitra pemeriksa fakta.
TikTok juga meluncurkan pusat informasi dalam aplikasi selama momen-momen penting seperti pemilu, yang bertujuan untuk mengarahkan pengguna ke sumber informasi yang kredibel dan otoritatif. Fitur pelaporan juga terus disempurnakan agar pengguna dapat dengan mudah menandai konten yang mereka anggap sebagai disinformasi Indonesia. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa platform sadar akan tanggung jawab mereka, meskipun efektivitasnya di lapangan masih sering menjadi perdebatan.
Namun, bagi regulator seperti Kominfo, upaya-upaya ini mungkin masih dianggap belum cukup, terutama jika laju penyebaran hoaks masih tinggi. Tekanan untuk berbuat lebih banyak akan terus ada.
Dialog antara pemerintah dan platform menjadi kunci untuk menyelaraskan ekspektasi dan menemukan solusi praktis yang dapat diimplementasikan tanpa mengorbankan inovasi dan kebebasan berekspresi secara tidak proporsional.
Ruang digital Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan lingkungan online yang aman dan terpercaya, bebas dari racun disinformasi Indonesia yang memecah belah.
Di sisi lain, ada dinamika kompleks antara regulasi pemerintah, tanggung jawab platform global seperti TikTok dan Meta, serta hak digital para pengguna. Ancaman sanksi platform digital dari Kominfo adalah sinyal yang sangat jelas bahwa era laissez-faire telah berakhir. Ke depan, kolaborasi, transparansi, dan komitmen nyata dari semua pihak akan menentukan masa depan ekosistem digital yang sehat. Pada akhirnya, tanggung jawab juga ada pada kita sebagai pengguna untuk lebih kritis dalam mencerna informasi, tidak mudah menyebarkan konten yang belum terverifikasi, dan secara aktif berpartisipasi dalam menciptakan ruang diskusi online yang lebih baik.
Apa Reaksi Anda?






