Backpacker Bukan Sekadar Liburan, Ini Tantangan Keamanan yang Harus Diatasi


Selasa, 26 Agustus 2025 - 04.51 WIB
Backpacker Bukan Sekadar Liburan, Ini Tantangan Keamanan yang Harus Diatasi
Backpacker solo hadapi tantangan keamanan: tips hemat biaya tanpa jadi korban kejahatan saat traveling. Foto oleh cottonbro studio via Pexels

VOXBLICK.COM - Minggu pagi di terminal bus Yogyakarta, seorang pemuda berusia 22 tahun, dengan ransel lusuh dan dompet tipis, menunggu keberangkatan ke Bali. Ia bukan selebgram, bukan travel vlogger, hanya backpacker solo yang ingin menaklukkan destinasi dengan modal pas-pasan.

Fenomena ini bukan barang baru, terutama sejak era pandemi memberi ruang bagi para lajang untuk mencari makna baru lewat jalan-jalan sendiri. Tapi di balik feed Instagram yang penuh senyum dan pemandangan memesona, ada risiko yang siap mengintai.

Lantas, bagaimana kaum muda bisa melaju dengan minim biaya tanpa jadi korban berikutnya di berita kriminal?

Mengapa Backpacker Solo Sering Jadi Target Kejahatan?

Solo traveler, terutama yang berstatus backpacker dengan dana terbatas, sering dianggap ‘mangsa empuk’.

Data dari Statista mencatat, kasus kejahatan terhadap wisatawan di Asia Tenggara meningkat 14% sejak 2019, dengan Indonesia masuk tiga besar. Mayoritas korban adalah pelancong muda yang jalan sendiri, membawa barang berharga tanpa proteksi ekstra, dan sering abai soal riset keamanan lokal.



Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Farah Puspita, menyebutkan, “Backpacker solo cenderung mengabaikan risiko demi pengalaman otentik. Padahal, posisi mereka yang sendirian, sering berpindah tempat, dan minim jaringan membuat keamanan pribadi jadi taruhan.”

Berhemat, Tapi Jangan Sampai Ceroboh: Siapa Sangka Hostel Murah Bisa Jadi Bumerang?

Kamar dorm dengan kasur tingkat, harga miring, dan suasana akrab memang menggoda.

Tapi survei Hostelworld mengungkap, 27% backpacker solo mengaku pernah mengalami kehilangan barang di hostel. Kunci loker rusak, CCTV mati, atau bahkan tamu lain yang ‘nakal’, memperparah situasi.

Alih-alih sekadar pilih termurah, cek reputasi hostel di TripAdvisor, baca review terbaru, dan pastikan ada fasilitas keamanan dasar: loker pribadi, akses kartu, serta staf yang responsif.

Jangan pernah lengah meski lingkungan terasa ‘ramah backpacker’. Ingat, kejahatan kadang datang dari sesama pelancong, bukan hanya warga lokal.

Transportasi Hemat: Apakah Ojek Online dan Bus Malam Aman?

Ojek online memang jadi primadona backpacker. Tapi di kota wisata seperti Bali, Yogyakarta, atau Lombok, kasus pengemudi abal-abal berkedok aplikasi makin marak.

Laporan Kominfo tahun 2023 mengungkap, setidaknya ada 120 kasus penipuan dan pencurian yang melibatkan ojek online palsu dalam setahun terakhir.

Tips sederhana: selalu minta verifikasi plat nomor, foto pengemudi, dan jangan ragu batal jika ada gelagat mencurigakan. Pilih bus malam dengan operator resmi, jangan tergoda harga miring dari calo terminal.

Apalagi, bus ilegal rawan perampokan, sopir mabuk, hingga kecelakaan akibat kendaraan tak layak jalan.

Budget Minim, Risiko Maksimal: Kenapa Asuransi Perjalanan Wajib untuk Backpacker Solo?

Banyak backpacker menganggap asuransi perjalanan hanya buang-buang uang.

Padahal, data World Nomads menunjukkan, 1 dari 10 solo traveler pernah mengalami insiden yang membutuhkan klaim asuransi: mulai dari kecopetan, tersesat, hingga kecelakaan kecil.

Biaya asuransi perjalanan sebenarnya terjangkau, mulai Rp50.000 untuk perjalanan domestik. Fitur yang wajib: perlindungan barang, evakuasi medis, serta hotline darurat 24 jam. Jangan sampai hemat puluhan ribu malah buntung puluhan juta.

Gadget Canggih, Tapi Tetap Jadi Korban?

Ini Cara Digital Smart Traveler!

Smartphone, GPS, aplikasi booking, hingga dompet digital jadi ‘senjata’ utama backpacker Gen-Z. Tapi, riset Kaspersky 2023 menyebutkan, 19% traveler muda jadi korban pencurian data selama perjalanan. WiFi publik gratis sering jadi jebakan.

Solusi?

Gunakan VPN saat terkoneksi dengan WiFi umum, aktifkan fitur two-step verification untuk email dan aplikasi keuangan, serta backup data penting ke cloud. Jangan pernah upload itinerary secara real-time di media sosial.

Musuh bisa datang dari follower sendiri.

Jangan Asal Percaya Orang Baru: Pelajaran Berharga dari Kasus “Travel Scam”

Bertemu teman baru di hostel atau kafe lokal memang bagian seru dari solo traveling. Tapi, kasus travel scam kian marak. Modus klasik: menawarkan trip dadakan, tiket murah, atau ‘helpful local’ yang ujungnya menipu.

Tahun lalu, seorang backpacker asal Bandung kehilangan Rp4 juta usai ditipu ‘teman barunya’ di Bangkok yang menawarkan paket tour bodong.

Jangan transfer uang ke rekening asing tanpa bukti jelas, hindari berbagi salinan paspor atau data pribadi, dan pastikan transaksi hanya lewat platform resmi (misal, Airbnb, Klook, atau OTA terpercaya).

Jika ragu, minta waktu untuk riset, jangan mudah terbuai rayuan ‘harga teman’.

Risiko Kesehatan: Apa Saja yang Sering Diremehkan Backpacker Hemat?

Demi menekan biaya, banyak backpacker solo mengorbankan makan sehat, tidur cukup, bahkan ogah beli obat.

Padahal, laporan WHO Asia Tenggara menyebut, 31% wisatawan usia 18-28 tahun pernah jatuh sakit saat traveling, mulai dari diare, demam, hingga infeksi kulit.

Selalu bawa obat dasar: paracetamol, oralit, salep luka, dan vitamin. Jangan anggap enteng luka kecil atau gigitan serangga. Pastikan air minum kemasan, hindari street food yang tak higienis, dan penuhi kebutuhan tidur meski jadwal padat.

Ngandelin Insting?

Kenapa Riset Destinasi Tetap Wajib?

Sikap spontan kadang jadi ‘ciri khas’ backpacker solo. Tapi, tanpa riset destinasi, risiko bisa berlipat. Banjir, konflik lokal, atau zona rawan kriminalitas bisa muncul tiba-tiba.

Studi PATA (Pacific Asia Travel Association) 2022 mengungkap, 44% insiden pada backpacker berkaitan dengan kurangnya informasi lokal.

Manfaatkan forum seperti Reddit r/solotravel, komunitas digital, dan aplikasi crowd-sourced map (misal, Google Maps, Maps.me) untuk update info terbaru.

Catat nomor penting: polisi wisata, rumah sakit 24 jam, dan kontak KBRI jika ke luar negeri.

Hostel, Couchsurfing, atau Camping: Mana yang Lebih Aman?

Pilihan akomodasi murah bukan cuma hostel, tapi juga couchsurfing dan camping. Setiap opsi punya risiko. Hostel cenderung aman jika punya review bagus, tapi privasi minim. Couchsurfing memungkinkan interaksi lokal, tapi ada kasus pelecehan dan penipuan properti.

Camping memberi kebebasan, tapi rawan pencurian dan serangan binatang.

Pilih sesuai kenyamanan pribadi. Jangan ragu tanya identitas host, cek foto, dan baca testimoni jujur di platform resmi. Untuk camping, pilih lokasi resmi atau camping ground yang diawasi petugas.

Waspada di “Zona Merah”: Jangan Cuma Andalkan Google!

Google memang canggih, tapi tak selalu update soal zona rawan.

Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Denpasar punya ‘kantong’ kriminalitas yang sulit dipetakan. Polisi wisata biasanya punya data lebih akurat tentang kawasan yang harus dihindari, terutama malam hari.

Tanya ke staf hostel, sopir angkutan, atau komunitas backpacker lain. Jangan paksakan diri jalan kaki di area sepi, terutama jika baru pertama kali menginjakkan kaki di kota tersebut.

‘Feeling’ boleh jadi alarm, tapi data lapangan tetap nomor satu.

Jaga Privasi, Jangan FOMO: Kenapa Oversharing Bisa Jadi Bumerang?

Keinginan pamer destinasi baru di media sosial kadang bikin lupa privasi. Oversharing jadwal, lokasi, atau detail rencana bisa jadi ‘undangan terbuka’ bagi pelaku kejahatan.

Studi Cybersecurity Ventures memaparkan, 65% kasus penipuan dan pencurian pada pelancong muda terjadi setelah mereka membagikan lokasi real-time di media sosial.

Batasi postingan, unggah foto setelah berpindah tempat, dan gunakan fitur private story untuk lingkaran terbatas.

Ingat, tidak semua follower adalah teman.

Solo Traveling Bukan Hanya Tentang Berani, Tapi Juga Cerdas Mengelola Risiko

Menjadi backpacker solo itu lebih dari sekadar menantang diri dan berhemat. Perjalanan dengan anggaran minim memang menguji kreativitas, tapi tanpa strategi keamanan, semua bisa berakhir petaka. Setiap keputusan harus diambil dengan pertimbangan matang, bukan sekadar insting atau ikut-ikutan tren.

Data, teknologi, komunitas, dan asuransi jadi kombinasi wajib agar petualangan tetap seru, bukan berubah jadi kisah pahit. Dalam dunia traveling masa kini, cerdas itu jauh lebih keren daripada sekadar nekat.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0