Benarkah Kita Hidup di Era Kebodohan Emas? Ini Kata Para Ahli

Oleh VOXBLICK

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 18.55 WIB
Benarkah Kita Hidup di Era Kebodohan Emas? Ini Kata Para Ahli
Era kebodohan di zaman digital. (Foto oleh energepic.com)

VOXBLICK.COM - Pertanyaan ini mungkin terdengar provokatif, namun semakin sering kita dengar: apakah kemajuan teknologi yang luar biasa saat ini justru membawa kita ke "Era Kebodohan Emas"? Sebuah zaman di mana informasi melimpah ruah, namun kemampuan kita untuk berpikir kritis dan menyerap pengetahuan mendalam justru menurun. Ini bukan sekadar obrolan di warung kopi, melainkan topik serius yang mulai dikaji oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Fenomena ini terasa nyata di sekitar kita.

Dari konten video pendek yang dirancang untuk memuaskan dopamin instan hingga algoritma kecerdasan buatan (AI) yang terus-menerus menyodorkan apa yang kita suka, ada kekhawatiran serius tentang dampak era digital terhadap kemampuan kognitif kita. Apakah kita sedang dalam jalur untuk menjadi lebih pintar, atau justru sebaliknya, semakin bergantung dan kurang mandiri dalam berpikir?

Benarkah Kita Hidup di Era Kebodohan Emas? Ini Kata Para Ahli
Benarkah Kita Hidup di Era Kebodohan Emas? Ini Kata Para Ahli (Foto oleh Amel Uzunovic)

Mengapa Muncul Istilah "Kebodohan Emas"?

Ide tentang "Kebodohan Emas" muncul dari pengamatan bahwa meskipun akses informasi belum pernah semudah ini, tingkat pemahaman dan literasi digital masyarakat tidak selalu berbanding lurus.

Justru, kita melihat peningkatan penyebaran hoaks, disinformasi, dan polarisasi opini. Beberapa faktor kunci yang diidentifikasi para ahli meliputi:

  • Informasi Berlebihan (Information Overload): Banjir data dan berita setiap hari membuat kita sulit membedakan mana yang penting dan mana yang tidak. Otak kita dipaksa memproses terlalu banyak, seringkali dengan kualitas yang bervariasi.
  • Algoritma Personalisasi: AI dan algoritma media sosial cenderung menciptakan "gelembung filter" dan "ruang gema" (echo chambers), di mana kita hanya terpapar pada informasi dan pandangan yang sejalan dengan kita. Ini mengurangi eksposur terhadap ide-ide baru dan tantangan intelektual.
  • Penurunan Rentang Perhatian: Konten pendek dan serba cepat melatih otak kita untuk mencari gratifikasi instan, membuat kita sulit fokus pada tugas yang membutuhkan konsentrasi jangka panjang, seperti membaca buku atau mempelajari topik kompleks.
  • Ketergantungan pada Alat Digital: Kita semakin mengandalkan smartphone dan mesin pencari untuk mengingat informasi dasar atau melakukan perhitungan sederhana, yang menurut beberapa ahli dapat melemahkan memori dan kemampuan berpikir analitis kita sendiri.

Peran Teknologi: Dari Video TikTok hingga Algoritma AI

Teknologi, yang seharusnya menjadi alat pencerahan, justru dituding sebagai biang keladi di balik potensi "Era Kebodohan Emas". Mari kita bedah lebih lanjut:

Video Pendek yang "Merusak Otak"?

Platform seperti TikTok atau YouTube Shorts menawarkan hiburan tanpa henti dalam durasi singkat.

Meskipun menyenangkan, para psikolog kognitif seperti Dr. Gloria Mark, penulis buku "Attention Span: A Groundbreaking Way to Restore Balance, Happiness, and Productivity," telah meneliti bagaimana konten semacam ini melatih otak kita untuk memiliki rentang perhatian yang lebih pendek. Otak menjadi terbiasa dengan "dopamine hit" cepat, sehingga tugas yang membutuhkan fokus panjang terasa membosankan dan sulit. Ini bisa memengaruhi kemampuan kita untuk membaca teks panjang, memecahkan masalah kompleks, atau bahkan mempertahankan percakapan mendalam.

AI: Pencerah atau Pembuat Malas?

Kecerdasan buatan (AI) adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, AI bisa menjadi asisten yang luar biasa untuk riset, analisis data, dan bahkan pembelajaran.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa ketergantungan berlebihan pada AI untuk tugas-tugas berpikir dapat mengurangi kemampuan kita sendiri. Jika AI selalu memberi kita jawaban, apakah kita masih akan melatih otot-otot kognitif kita untuk menemukan jawaban itu sendiri? Para ahli etika AI mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan dan menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti pemikiran kritis.

Apa Kata Para Ahli? Analisis Mendalam

Pandangan para ahli mengenai "Era Kebodohan Emas" ini bervariasi, namun kebanyakan setuju bahwa ada pergeseran signifikan dalam cara kita berinteraksi dengan informasi dan menggunakan kemampuan kognitif kita.

  • Pakar Neurologi dan Kognitif: Mereka mengamati perubahan pada struktur otak dan pola aktivitas neuron yang berkaitan dengan rentang perhatian dan pemrosesan informasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan media digital yang intens dapat memengaruhi area otak yang bertanggung jawab untuk memori kerja dan pengambilan keputusan. Namun, perlu diingat bahwa otak manusia sangat adaptif (neuroplastisitas), sehingga perubahan ini juga bisa berarti kita mengembangkan jenis kecerdasan baru, meski berbeda dari yang tradisional.
  • Sosiolog dan Ilmuwan Media: Mereka menyoroti dampak sosial dari disinformasi dan polarisasi yang diperparah oleh algoritma. Menurut mereka, masalahnya bukan pada kurangnya kecerdasan, melainkan pada kurangnya literasi media dan kemampuan untuk mengevaluasi sumber informasi. Mereka menekankan bahwa kita perlu belajar bagaimana menavigasi lanskap informasi yang kompleks ini.
  • Filosof dan Pendidik: Mereka berargumen bahwa inti dari masalah ini adalah hilangnya nilai-nilai seperti pemikiran mendalam, refleksi, dan kebijaksanaan. Sistem pendidikan perlu beradaptasi untuk tidak hanya mengajarkan fakta, tetapi juga cara berpikir kritis dan etis di era digital.

Profesor Sherry Turkle dari MIT, seorang sosiolog yang meneliti dampak teknologi pada manusia, seringkali menyuarakan kekhawatirannya tentang bagaimana perangkat digital mengikis kapasitas kita untuk introspeksi dan percakapan tatap muka yang

mendalam. Baginya, ini bukan hanya tentang "kebodohan", tetapi juga tentang hilangnya kedalaman hubungan manusia dan pemahaman diri.

Menangkal "Kebodohan Emas": Solusi dan Harapan

Meski tantangannya nyata, bukan berarti kita harus pasrah. Ada banyak cara untuk menangkis efek negatif dari era digital dan memanfaatkan potensinya secara positif:

  • Latihan Literasi Digital: Belajar memverifikasi informasi, mengenali hoaks, dan memahami cara kerja algoritma. Ini adalah keterampilan esensial di abad ke-21.
  • Diet Digital (Digital Detox): Secara berkala menjauhkan diri dari perangkat digital untuk melatih fokus dan memberi otak waktu untuk beristirahat dan memproses informasi secara mendalam.
  • Prioritaskan Konten Berkualitas: Pilih untuk mengonsumsi konten yang merangsang pemikiran, edukatif, dan memberikan perspektif baru, bukan hanya yang menghibur secara instan.
  • Manfaatkan AI dengan Bijak: Gunakan AI sebagai alat untuk memperluas kemampuan kita, bukan untuk menggantikannya. Misalnya, untuk meringkas informasi, bukan untuk menghindari membaca sumber aslinya.
  • Kembangkan Kebiasaan Membaca Mendalam: Luangkan waktu untuk membaca buku, artikel panjang, atau melakukan hobi yang membutuhkan fokus dan konsentrasi.

Jadi, apakah kita benar-benar hidup di "Era Kebodohan Emas"? Mungkin lebih tepatnya, kita berada di era transisi di mana cara kita berpikir dan belajar sedang mengalami evolusi drastis.

Tantangannya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita memilih untuk berinteraksi dengannya. Para ahli sepakat bahwa masa depan kemampuan kognitif kita sangat bergantung pada kesadaran dan disiplin kita sebagai individu dalam menghadapi gelombang informasi dan inovasi yang tak ada habisnya ini. Ini adalah era di mana kecerdasan sejati mungkin bukan lagi tentang seberapa banyak yang kita tahu, melainkan seberapa bijak kita menggunakan alat untuk belajar dan berpikir.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0