Bukan Cuma soal Gambar, Ini 5 Perbedaan Filosofi Studio Ghibli vs Disney yang Bikin Filmnya Beda Kelas


Sabtu, 30 Agustus 2025 - 22.20 WIB
Bukan Cuma soal Gambar, Ini 5 Perbedaan Filosofi Studio Ghibli vs Disney yang Bikin Filmnya Beda Kelas
Filosofi Studio Ghibli vs Disney (Foto oleh Wolfgang Hasselmann di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Saat membicarakan raksasa animasi dunia, dua nama ini pasti langsung terlintas di benakmu: Studio Ghibli dari Timur dan Disney dari Barat. Keduanya adalah pilar yang telah membentuk imajinasi jutaan orang di seluruh dunia.

Tapi, pernahkah kamu berhenti sejenak dan berpikir bahwa di balik visual indah dan cerita yang memukau, terdapat jurang filosofi animasi yang sangat dalam di antara keduanya? Perdebatan Studio Ghibli vs Disney bukan sekadar tentang gaya seni, melainkan tentang cara mereka memandang dunia, manusia, dan penceritaan itu sendiri.

Perbedaan ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga memengaruhi bagaimana kita sebagai penonton merasakan dan memaknai sebuah film animasi. Memahami perbedaan ini akan membuka matamu pada kekayaan medium animasi. Ini bukan tentang menentukan siapa yang lebih baik, melainkan mengapresiasi bagaimana dua pendekatan yang berbeda mampu menghasilkan mahakarya yang tak lekang oleh waktu.

Dari cara mereka menggambarkan kebaikan dan kejahatan hingga hubungan manusia dengan alam, mari kita selami lima perbedaan filosofi mendasar yang membuat Studio Ghibli dan Disney berdiri di kutub yang berbeda dalam peta animasi global.

1. Moralitas & Karakter: Kompleksitas Abu-abu vs. Hitam-Putih yang Jelas

Salah satu perbedaan paling fundamental dalam perdebatan Studio Ghibli vs Disney terletak pada penggambaran moralitas.

Disney, terutama pada era klasiknya, cenderung menyajikan dunia dalam spektrum hitam-putih. Ada pahlawan yang murni baik dan penjahat yang murni jahat. Kamu bisa dengan mudah menunjuk siapa yang harus didukung dan siapa yang harus dibenci. Ursula di 'The Little Mermaid' atau Scar di 'The Lion King' adalah perwujudan kejahatan tanpa penebusan.

Filosofi animasi ini efektif untuk narasi yang jelas dan memuaskan, di mana kebaikan selalu menang atas kejahatan. Di sisi lain, Studio Ghibli, di bawah arahan jenius seperti Hayao Miyazaki dan Isao Takahata, menolak dualisme sederhana ini. Karakter-karakter mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan nuansa abu-abu. Tidak ada penjahat yang sepenuhnya jahat atau pahlawan yang sepenuhnya suci.

Ambil contoh Lady Eboshi dari 'Princess Mononoke'. Di satu sisi, ia menghancurkan hutan dan berperang melawan dewa-dewa alam. Namun di sisi lain, ia adalah pemimpin yang visioner, menciptakan komunitas inklusif di mana kaum terbuang seperti penderita kusta dan mantan pelacur diberi kesempatan hidup yang layak. Kamu tidak bisa membencinya sepenuhnya.

Demikian pula dengan 'No-Face' (Kaonashi) di 'Spirited Away', yang transformasinya dari makhluk pemalu menjadi monster rakus dan kembali lagi bukanlah cerminan kejahatan, melainkan kesepian dan pengaruh lingkungan yang korup. Filosofi animasi Hayao Miyazaki ini berakar pada pandangan Shinto, di mana tidak ada konsep 'kejahatan absolut'. Semua hal, baik manusia maupun roh, memiliki sisi baik dan buruk.

Pendekatan ini membuat karakter Ghibli terasa lebih manusiawi dan relevan dengan kompleksitas dunia nyata, mengajarkan penonton, terutama anak-anak, bahwa dunia tidak sesederhana dongeng.

2. Hubungan dengan Alam: Harmoni Penuh Hormat vs. Latar Belakang Indah

Alam adalah elemen sentral dalam hampir semua film Studio Ghibli. Namun, peran alam di sini jauh melampaui sekadar latar belakang yang indah.

Dalam film-film seperti 'My Neighbor Totoro' dan 'Princess Mononoke', alam adalah entitas yang hidup, bernapas, dan memiliki kesadarannya sendiri. Sering kali, alam menjadi karakter utama. Hutan di 'Princess Mononoke' adalah medan pertempuran spiritual, sementara pedesaan di 'Totoro' adalah sumber keajaiban dan penyembuhan. Filosofi animasi ini mencerminkan penghormatan mendalam terhadap alam, sebuah konsep yang dikenal sebagai 'Shizen' dalam budaya Jepang.

Manusia bukanlah penguasa alam, melainkan bagian kecil dari ekosistem yang rapuh. Konflik sering kali muncul ketika manusia mencoba mendominasi atau mengeksploitasi alam, sebuah tema yang terus menunjukkan relevansi di era digital yang penuh krisis iklim. Sebaliknya, dalam banyak film Disney, alam sering kali digambarkan sebagai latar yang megah atau sumber daya yang bisa dimanfaatkan.

Hutan adalah tempat sang putri tersesat ('Snow White') atau kerajaan yang harus dikuasai ('The Lion King'). Meskipun ada pengecualian seperti 'Pocahontas' atau 'Moana' yang menunjukkan hubungan lebih dalam dengan alam, narasinya sering kali masih berpusat pada manusia (antthroposentris). Perbedaan Ghibli Disney dalam hal ini sangat mencolok. Bagi Ghibli, kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam hidup selaras dengan alam.

Bagi Disney, kebahagiaan sering kali adalah tentang mencapai tujuan personal di dalam tatanan sosial, di mana alam menjadi panggungnya. Pendekatan Ghibli ini memberikan pengalaman menonton yang lebih kontemplatif dan mendalam secara spiritual.

3. Ritme Narasi: Momen 'Ma' yang Tenang vs.

Plot yang Bergerak Cepat

Pernahkah kamu menonton film Ghibli dan merasakan ada momen-momen hening di mana tidak ada dialog atau aksi yang mendorong plot? Momen di mana Chihiro hanya menatap laut dari kereta, atau Kiki duduk di tepi pantai? Itulah yang disebut 'Ma' (間), sebuah konsep estetika Jepang yang berarti 'kekosongan' atau 'ruang jeda'.

Kritikus film legendaris, Roger Ebert, pernah bertanya kepada Hayao Miyazaki tentang momen ini. Miyazaki menjelaskan, "Jika Anda hanya memiliki aksi tanpa henti tanpa ruang untuk bernapas, itu hanya kesibukan belaka." Momen 'Ma' ini sengaja disisipkan untuk memberikan ruang bagi karakter dan penonton untuk merenung, merasakan emosi, dan menyerap atmosfer dunia di sekitar mereka.

Inilah yang membuat dunia Ghibli terasa begitu hidup dan nyata. Ini kontras dengan struktur narasi klasik Disney yang sangat efisien dan berorientasi pada plot. Setiap adegan, setiap dialog, dirancang untuk memajukan cerita ke titik berikutnya. Ritmenya cepat, penuh dengan lagu, aksi, dan resolusi konflik. Meskipun sangat efektif dalam menjaga perhatian penonton, pendekatan ini terkadang mengorbankan kedalaman atmosfer.

Dalam perbandingan Studio Ghibli vs Disney, Disney adalah tentang 'apa yang terjadi selanjutnya?', sementara Ghibli sering kali bertanya 'bagaimana rasanya berada di sini sekarang?'. Keberanian Ghibli untuk melambatkan tempo adalah salah satu kekuatan terbesarnya, memungkinkan sebuah film animasi untuk menjadi sebuah pengalaman puitis.

4. Representasi Perempuan: Protagonis Mandiri vs.

Evolusi Sang Putri

Perbedaan Ghibli Disney juga sangat terlihat dalam penggambaran karakter perempuan. Sejak awal, Studio Ghibli telah menempatkan perempuan muda yang kuat, kompleks, dan mandiri sebagai pusat ceritanya. Mereka bukan objek romansa atau gadis dalam kesusahan yang menunggu diselamatkan. Chihiro ('Spirited Away') menyelamatkan orang tuanya dan dirinya sendiri melalui kerja keras dan ketabahan.

Nausicaä ('Nausicaä of the Valley of the Wind') adalah seorang pemimpin, ilmuwan, dan pejuang. Kiki ('Kiki's Delivery Service') berjuang dengan krisis kepercayaan diri saat memulai bisnisnya sendiri. Karakter-karakter ini digerakkan oleh tujuan internal mereka sendiri, bukan oleh pencarian cinta.

Susan Napier, seorang profesor Studi Jepang dan penulis buku "Miyazakiworld", dalam analisisnya menyoroti bagaimana protagonis perempuan Miyazaki "menavigasi dunia yang kompleks dengan ketahanan dan kecerdasan". Di sisi lain, Disney memiliki warisan panjang 'Putri Disney' yang secara tradisional perannya didefinisikan oleh hubungan mereka dengan pangeran. Tentu saja, ini adalah pandangan yang disederhanakan, dan Disney telah berevolusi secara signifikan.

Karakter seperti Mulan, Merida ('Brave'), Elsa ('Frozen'), dan Moana menunjukkan pergeseran besar ke arah penggambaran perempuan yang lebih mandiri dan berdaya. Namun, warisan romantisme dongeng tetap menjadi bagian kuat dari DNA naratif mereka. Perjuangan Studio Ghibli vs Disney dalam representasi ini menunjukkan perbedaan budaya dan prioritas penceritaan.

Ghibli sejak awal fokus pada perjalanan personal dan pertumbuhan batin, sementara Disney, meski berkembang, sering kali masih terikat pada struktur narasi romantis yang telah teruji oleh waktu. Kamu bisa membaca lebih lanjut tentang bagaimana film-film Ghibli memberikan rasa nyaman melalui karakter-karakternya yang kuat.

5. Seni Animasi: Kesempurnaan Gambar Tangan vs.

Kemajuan Digital

Inilah inti dari keahlian teknis kedua studio. Hayao Miyazaki adalah seorang advokat vokal untuk animasi gambar tangan. Baginya, ketidaksempurnaan kecil dari garis yang digambar dengan pensil memberikan kehidupan dan jiwa pada karakter. Ghibli mempertahankan sebagian besar proses produksi mereka secara tradisional, di mana setiap frame adalah sebuah karya seni yang dilukis dengan tangan.

Meskipun mereka menggunakan teknologi digital untuk menyempurnakan beberapa aspek, esensi dari animasi gambar tangan tetap dijaga. Filosofi animasi ini adalah tentang merayakan sentuhan manusia. Ada kehangatan dan tekstur dalam film Ghibli yang sulit ditiru oleh CGI (Computer-Generated Imagery) yang sempurna. Relevansi di era digital ini justru semakin kuat, karena karya mereka menjadi bukti keabadian seni rupa tradisional.

Disney, di sisi lain, adalah pionir inovasi teknologi dalam animasi. Dari sel multiplane di 'Snow White' hingga revolusi digital dengan 'Toy Story' (melalui Pixar) dan penguasaan CGI di film-film seperti 'Frozen' dan 'Moana', Disney selalu mendorong batas-batas teknologi. Mereka mencari kesempurnaan visual, gerakan yang mulus, dan detail yang memukau yang hanya mungkin dicapai melalui kekuatan komputasi.

Peralihan dari animasi gambar tangan penuh di era 'The Little Mermaid' ke era hibrida di 'Tarzan' dan akhirnya ke dominasi CGI menunjukkan filosofi Disney yang adaptif dan berorientasi pada kemajuan. Seperti yang diulas dalam banyak analisis, termasuk oleh Vulture dalam peringkat film animasi Disney, evolusi teknis ini adalah bagian dari identitas mereka.

Perdebatan Studio Ghibli vs Disney di sini bukanlah tentang metode mana yang superior, melainkan tentang tujuan artistik: Ghibli mencari jiwa dalam ketidaksempurnaan buatan tangan, sementara Disney mengejar keajaiban melalui kesempurnaan teknologi. Pada akhirnya, dunia animasi jauh lebih kaya karena keberadaan kedua raksasa ini. Studio Ghibli dan Disney menawarkan jendela yang berbeda untuk melihat dunia.

Ghibli mengajak kita untuk merenung, menghargai keheningan, dan menerima kompleksitas hidup serta alam. Disney mengundang kita untuk bermimpi, percaya pada keajaiban, dan merayakan kemenangan kebaikan dengan semangat yang tak tergoyahkan. Entah kamu lebih menyukai nuansa puitis dari animasi gambar tangan Hayao Miyazaki atau kemegahan teknis dari film-film Disney modern, keduanya membuktikan bahwa animasi bukan hanya untuk anak-anak.

Ia adalah medium penceritaan yang kuat, mampu menyentuh hati dan pikiran dengan cara yang tak bisa dilakukan oleh medium lain. Pilihan antara keduanya bukanlah tentang selera, melainkan tentang apa yang sedang dicari oleh jiwamu saat itu. Perlu diingat bahwa interpretasi terhadap sebuah karya seni bersifat subjektif dan dapat berbeda bagi setiap individu.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0