Cara Menghindari Toxic Positivity Demi Tumbuh Kembang Emosi Anak yang Sehat

VOXBLICK.COM - Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, konsep toxic positivity atau kepositifan beracun semakin sering dibicarakan.
Fenomena ini, yang mendorong individu untuk selalu bersikap positif dan menekan emosi negatif, ternyata dapat memberikan dampak yang merusak, terutama bagi perkembangan emosional anak.
Memaksa anak untuk selalu tersenyum dan mengabaikan perasaan sedih, marah, atau kecewa mereka adalah bentuk pengabaian emosi yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk membangun ketahanan mental dan pemahaman diri yang sehat.
Mengelola emosi dengan baik adalah fondasi penting bagi kesehatan mental anak di masa depan. Penting bagi orang tua untuk memahami dampak toxic positivity dan bagaimana cara menghindarinya.
Memahami Jebakan Toxic Positivity dan Dampaknya pada Emosi
Toxic positivity pada dasarnya adalah keyakinan bahwa seseorang harus mempertahankan pola pikir positif setiap saat, menekan atau mengabaikan emosi negatif yang muncul.
Sikap ini sering kali muncul dalam bentuk kalimat seperti "Jangan sedih, tersenyumlah!" atau "Semua akan baik-baik saja," yang diucapkan tanpa empati terhadap perasaan yang sedang dialami.
Meskipun niatnya mungkin baik, penekanan berlebihan pada kepositifan ini justru dapat membuat individu merasa bersalah karena merasakan emosi yang dianggap 'salah' atau 'negatif'.
Ini bisa menjadi masalah besar, karena emosi adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Menekan emosi hanya akan memperburuk keadaan dalam jangka panjang.
Dalam konteks politik, metode kampanye bernada toxic positivity bahkan digunakan untuk memenangkan kontestasi, seperti yang diamati dalam beberapa pemilu. Hal ini menunjukkan bagaimana konsep ini dapat disalahgunakan untuk memanipulasi persepsi publik.
Bagi anak-anak, dampaknya bisa lebih dalam.
Ketika orang tua atau pengasuh secara konsisten menolak atau meremehkan emosi negatif anak, mereka secara tidak langsung mengajarkan bahwa perasaan tersebut tidak valid atau tidak pantas untuk diekspresikan.
Ini dapat menciptakan kebingungan dan rasa malu pada anak terkait emosi mereka sendiri.
Misalnya, jika seorang anak terjatuh dan menangis, mengatakan "Sudah, jangan nangis, anak kuat tidak boleh nangis!" alih-alih menghibur dan memvalidasi perasaannya, akan membuat anak merasa bersalah karena merasa sakit dan sedih.
Hal ini juga dapat menghambat kemampuan anak untuk mengembangkan empati terhadap orang lain.
Berbeda dengan optimisme yang sehat, toxic positivity tidak mendorong penerimaan terhadap seluruh spektrum emosi manusia. Optimisme yang sehat justru mengajarkan kita untuk menerima kenyataan, termasuk emosi negatif, dan berusaha melihat sisi baik dari situasi tanpa menyangkal apa yang dirasakan.
Sementara itu, toxic positivity menciptakan ilusi bahwa emosi negatif tidak ada atau tidak boleh ada.
Optimisme yang sehat mendorong kita untuk belajar dari pengalaman buruk dan tumbuh menjadi lebih kuat, sedangkan toxic positivity hanya menutupi masalah tanpa menyelesaikannya. Sebagai contoh, seorang anak yang gagal dalam ujian mungkin merasa sedih dan kecewa.
Optimisme yang sehat akan mendorong anak untuk mengakui perasaannya, menganalisis kesalahannya, dan berusaha lebih baik di lain waktu. Toxic positivity akan memaksa anak untuk tersenyum dan mengatakan "Tidak apa-apa, yang penting aku bahagia!" tanpa benar-benar mengatasi kekecewaannya.
Dampak Negatif pada Perkembangan Emosional Anak dan Kesehatan Mental
Mengabaikan emosi negatif anak adalah salah satu bentuk perilaku parenting negatif yang merugikan.
Ketika anak terus-menerus diberitahu untuk "tidak menangis" atau "jangan marah," mereka belajar bahwa emosi tersebut adalah sesuatu yang harus disembunyikan.
Akibatnya, anak mungkin kesulitan mengidentifikasi, memahami, dan mengelola emosi mereka di kemudian hari.
Mereka mungkin juga kesulitan untuk mengekspresikan diri secara jujur dan terbuka, yang dapat merusak hubungan mereka dengan orang lain.
Penekanan pada kepositifan yang berlebihan dapat membuat anak merasa terisolasi ketika mereka menghadapi kesulitan. Mereka mungkin takut untuk berbagi perasaan mereka karena khawatir akan dihakimi atau dianggap lemah.
Hal ini dapat menghambat pembentukan hubungan yang sehat dan terbuka dengan orang tua atau figur otoritas lainnya.
Anak-anak perlu merasa aman dan nyaman untuk berbagi perasaan mereka tanpa takut dihakimi atau diremehkan.
Jika mereka tidak merasa aman, mereka akan cenderung memendam perasaan mereka, yang dapat menyebabkan masalah emosional di kemudian hari.
Lebih jauh lagi, toxic positivity dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mental. Ketika emosi negatif terus-menerus ditekan, mereka tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, emosi tersebut dapat menumpuk dan bermanifestasi dalam bentuk kecemasan, depresi, atau masalah perilaku lainnya.
Anak yang tidak diajarkan cara mengelola kesedihan atau kekecewaan mungkin akan kesulitan menghadapi stres di masa depan.
Mereka mungkin juga mengembangkan mekanisme koping yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan zat atau perilaku merusak diri sendiri.
Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan mengabaikan emosi negatif dapat memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan mental anak.
Selain itu, toxic positivity dapat menghambat perkembangan resiliensi pada anak. Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan dan tantangan.
Anak-anak yang diajarkan untuk menekan emosi negatif mereka mungkin kesulitan untuk mengatasi stres dan trauma.
Mereka mungkin merasa kewalahan oleh emosi mereka dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Sebaliknya, anak-anak yang diajarkan untuk menerima dan mengelola emosi mereka akan lebih mampu untuk mengatasi kesulitan dan tumbuh menjadi individu yang tangguh.
Membangun Kecerdasan Emosional: Panduan untuk Orang Tua dalam Mengelola Emosi Anak
Kunci untuk membantu anak tumbuh menjadi individu yang tangguh secara emosional adalah dengan mengajarkan mereka kecerdasan emosional.
Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat. Kecerdasan emosional adalah keterampilan penting yang dapat membantu anak-anak berhasil dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan orang tua:
1. Validasi Emosi Anak: Mendengarkan dan Memahami Perasaan Mereka
Langkah pertama dan terpenting adalah memvalidasi perasaan anak.
Ini berarti mengakui bahwa emosi yang mereka rasakan adalah nyata dan dapat diterima.
Alih-alih mengatakan "Jangan sedih," cobalah katakan, "Ibu/Ayah tahu kamu merasa sedih sekarang, dan itu tidak apa-apa." Kalimat sederhana ini menunjukkan bahwa Anda memahami dan menerima perasaan mereka, tanpa menghakimi.
Validasi emosi membantu anak merasa didengar dan dipahami, yang merupakan langkah penting dalam membangun kepercayaan dan hubungan yang sehat.
Misalnya, jika anak Anda merasa marah karena kalah dalam permainan, validasi emosinya dengan mengatakan, "Aku tahu kamu merasa marah karena kalah, itu wajar." Jangan meremehkan perasaannya dengan mengatakan, "Itu hanya permainan, jangan marah."
2. Beri Nama Emosi: Membantu Anak Mengartikulasikan Perasaan Mereka
Anak-anak sering kali kesulitan mengartikulasikan apa yang mereka rasakan.
Membantu mereka memberi nama pada emosi mereka dapat menjadi langkah awal yang besar. Gunakan kosakata emosi yang beragam, seperti senang, sedih, marah, takut, kecewa, cemas, atau frustrasi. Anda bisa menggunakan buku cerita bergambar tentang emosi atau bahkan membuat kartu emosi bersama anak.
Semakin banyak kosakata emosi yang mereka miliki, semakin mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan perasaan mereka.
Misalnya, Anda bisa bertanya kepada anak Anda, "Apakah kamu merasa sedih, marah, atau frustrasi?" alih-alih hanya bertanya, "Apa yang kamu rasakan?". Anda juga bisa menggunakan sumber daya dari UNICEF untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan emosional anak.
3. Ajarkan Strategi Mengelola Emosi: Cara Sehat untuk Mengekspresikan Perasaan
Setelah emosi divalidasi dan diberi nama, ajarkan anak cara mengelolanya.
Ini bukan tentang menekan emosi, tetapi tentang menemukan cara yang sehat untuk mengekspresikannya. Beberapa strategi yang bisa diajarkan antara lain:
- Bernapas dalam-dalam: Ajarkan anak untuk menarik napas panjang melalui hidung dan mengeluarkannya perlahan melalui mulut saat merasa marah atau cemas.
Ini adalah teknik relaksasi sederhana yang dapat membantu menenangkan sistem saraf dan mengurangi stres.
- Bergerak: Aktivitas fisik seperti berlari, melompat, atau menari bisa menjadi cara yang baik untuk melepaskan energi negatif. Olahraga melepaskan endorfin, yang memiliki efek positif pada suasana hati.
- Menggambar atau Menulis: Jika anak sudah bisa menulis, dorong mereka untuk menuliskan perasaan mereka.
Jika belum, menggambar ekspresi emosi mereka bisa sangat membantu. Ini mirip dengan langkah memulai menulis fiksi untuk self-healing, di mana emosi yang ingin dikeluarkan menjadi titik awal.
Menulis atau menggambar dapat membantu anak memproses emosi mereka dan mendapatkan perspektif yang lebih jelas.
- Berbicara: Dorong anak untuk berbicara tentang apa yang membuat mereka merasa tidak nyaman, tetapi pastikan mereka merasa didengarkan tanpa diinterupsi atau dihakimi.
Mendengarkan secara aktif adalah kunci untuk membantu anak merasa didukung dan dipahami.
- Mencari Pengalihan yang Sehat: Terkadang, mengalihkan perhatian sejenak ke aktivitas yang menyenangkan bisa membantu meredakan intensitas emosi negatif. Misalnya, membaca buku, bermain game, atau mendengarkan musik.
4. Jadilah Contoh yang Baik: Menunjukkan Cara Mengelola Emosi dengan Sehat
Anak belajar banyak dari mengamati orang tua mereka.
Tunjukkan kepada anak bagaimana Anda sendiri mengelola emosi Anda. Jika Anda merasa frustrasi, tunjukkan cara Anda mengatasinya dengan tenang, misalnya dengan mengambil jeda sejenak atau berbicara dengan pasangan Anda. Hindari menunjukkan kemarahan yang meledak-ledak atau menekan emosi Anda sendiri.
Anak-anak akan meniru perilaku orang tua mereka, jadi penting untuk menjadi contoh yang baik dalam hal pengelolaan emosi.
Jika Anda menunjukkan kepada anak Anda cara mengelola emosi Anda dengan sehat, mereka akan lebih mungkin untuk mengembangkan keterampilan yang sama.
5. Ciptakan Lingkungan yang Aman untuk Berbicara: Membangun Kepercayaan dan Keterbukaan
Pastikan rumah Anda adalah tempat yang aman bagi anak untuk mengekspresikan diri. Hindari hukuman fisik, pertengkaran orang tua yang terbuka di depan anak, atau pengabaian emosi.
Ciptakan suasana di mana anak merasa nyaman untuk berbagi pikiran dan perasaan mereka tanpa takut dimarahi atau diabaikan. Anak-anak perlu merasa aman dan nyaman untuk berbagi perasaan mereka tanpa takut dihakimi atau diremehkan.
Jika mereka tidak merasa aman, mereka akan cenderung memendam perasaan mereka, yang dapat menyebabkan masalah emosional di kemudian hari.
Ciptakan rutinitas di mana Anda secara teratur berbicara dengan anak Anda tentang perasaan mereka. Misalnya, Anda bisa bertanya kepada mereka setiap malam sebelum tidur, "Bagaimana perasaanmu hari ini?".
6. Ajarkan Perbedaan Antara Optimisme dan Toxic Positivity: Memahami Batasan Kepositifan
Penting untuk mengajarkan anak bahwa bersikap positif bukan berarti mengabaikan kenyataan atau perasaan negatif.
Jelaskan bahwa optimisme yang sehat melibatkan penerimaan terhadap semua emosi dan mencari solusi atau pembelajaran dari setiap situasi. Ini berbeda dengan toxic positivity yang memaksa seseorang untuk selalu terlihat bahagia, bahkan ketika mereka tidak merasakannya.
Ajarkan anak untuk membedakan antara mengakui perasaan mereka dan terjebak dalam perasaan negatif.
Optimisme yang sehat membantu anak untuk melihat sisi baik dari situasi yang sulit, sementara toxic positivity hanya menutupi masalah tanpa menyelesaikannya.
7. Hindari Bahasa yang Meremehkan: Menggunakan Kata-Kata yang Mendukung dan Memvalidasi
Kata-kata tertentu dapat secara tidak sengaja memanipulasi perasaan anak atau membuat mereka merasa bersalah karena menyuarakan pendapat atau mempertikaikan keputusan.
Contohnya adalah kalimat yang menyiratkan bahwa anak tidak berhak merasa kecewa atau marah. Berhati-hatilah dengan bahasa yang Anda gunakan dan pastikan itu mendukung, bukan meremehkan.
Hindari mengatakan hal-hal seperti "Jangan cengeng" atau "Kamu terlalu sensitif". Sebaliknya, gunakan kata-kata yang memvalidasi perasaan anak, seperti "Aku mengerti mengapa kamu merasa seperti itu" atau "Tidak apa-apa merasa sedih".
Gunakan bahasa yang positif dan mendukung untuk membantu anak merasa aman dan nyaman untuk berbagi perasaan mereka.
Membangun ketahanan emosional pada anak adalah sebuah proses berkelanjutan yang membutuhkan kesabaran, empati, dan pemahaman.
Dengan menghindari jebakan toxic positivity dan secara aktif mengajarkan anak cara mengenali serta mengelola seluruh spektrum emosi mereka, kita membekali mereka dengan alat yang sangat berharga untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bahagia.
Ini adalah investasi jangka panjang dalam kesejahteraan mental mereka, memungkinkan mereka untuk tumbuh menjadi individu yang utuh, mampu menghadapi tantangan hidup dengan kekuatan dan kebijaksanaan.
Mengajarkan anak mengelola emosi adalah hadiah yang akan mereka bawa sepanjang hidup mereka, membantu mereka membangun hubungan yang sehat, mencapai tujuan mereka, dan menjalani kehidupan yang memuaskan.
Dengan memberikan dukungan dan bimbingan yang tepat, kita dapat membantu anak-anak kita tumbuh menjadi individu yang tangguh, empatik, dan bahagia.
Penting juga untuk mencari bantuan profesional jika Anda merasa kesulitan untuk membantu anak Anda mengelola emosi mereka.
Terapis atau konselor anak dapat memberikan dukungan dan bimbingan tambahan untuk membantu anak Anda mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk berhasil. Jangan ragu untuk mencari bantuan jika Anda membutuhkannya. Kesehatan mental anak Anda adalah prioritas utama.
Apa Reaksi Anda?






