Darah Juang di Surabaya Mengungkap Kisah Pertempuran Paling Epik Indonesia


Minggu, 07 September 2025 - 04.25 WIB
Darah Juang di Surabaya Mengungkap Kisah Pertempuran Paling Epik Indonesia
Kisah Epik Pertempuran Surabaya (Foto oleh Den Harrson di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Udara Surabaya pada akhir tahun 1945 terasa begitu berat. Bukan hanya karena panas khas kota pelabuhan, tetapi karena ketegangan yang menggantung di setiap sudut jalan, di setiap tatapan mata warganya.

Euforia proklamasi kemerdekaan yang baru berumur dua bulan kini berhadapan dengan kenyataan pahit, kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dengan agenda tersembunyi untuk mengembalikan cengkeraman kolonialisme. Di kota inilah, semangat kemerdekaan yang masih muda akan diuji dalam sebuah konfrontasi brutal yang kelak tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia sebagai Pertempuran Surabaya yang legendaris.

Api Pertama Tersulut di Puncak Hotel Yamato

Semua bermula dari sebuah simbol. Pada 19 September 1945, hanya sebulan setelah proklamasi, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera triwarna Merah-Putih-Biru di puncak Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Bagi Arek-arek Suroboyo, tindakan ini bukan sekadar pengibaran bendera, melainkan sebuah penghinaan terang-terangan terhadap kedaulatan bangsa yang baru saja lahir.

Kabar ini menyebar secepat api di rumput kering, memicu amarah kolektif warga kota. Ribuan orang berkerumun di depan hotel, menuntut bendera itu diturunkan. Suasana memanas dengan cepat. Residen Soedirman, pejabat pemerintah Indonesia di Surabaya, mencoba jalur diplomasi dengan memasuki hotel untuk bernegosiasi. Namun, perundingan menemui jalan buntu dan berakhir dengan insiden tragis, Ploegman tewas dalam sebuah perkelahian.

Di tengah kekacauan itu, beberapa pemuda pemberani seperti Hariyono dan Koesno Wibowo memanjat tiang bendera. Di ketinggian, di bawah tatapan ribuan pasang mata yang menahan napas, mereka merobek bagian biru dari bendera Belanda, menyisakan warna merah dan putih yang sakral. Sang Merah Putih akhirnya berkibar, disambut pekik "Merdeka!" yang membahana.

Insiden Hotel Yamato ini menjadi percikan pertama yang menyulut api perlawanan dalam skala yang jauh lebih besar, sebuah pembuktian bahwa kedaulatan tidak bisa ditawar.

Kedatangan Sekutu dan Kesepakatan yang Gagal

Sebulan kemudian, pada 25 Oktober 1945, Brigade Infanteri India ke-49 di bawah komando Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak.

Mereka adalah bagian dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), dengan tugas resmi melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang sekutu (RAPWI). Gubernur Jawa Timur saat itu, R.M.T. Ario Soerjo, menyambut mereka dengan itikad baik, dengan syarat pasukan Sekutu tidak melibatkan tentara Belanda (NICA). Sebuah kesepakatan pun dicapai antara pihak Indonesia dan Brigjen Mallaby.

Pasukan Sekutu diizinkan memasuki kota hanya untuk menjalankan tugas kemanusiaan mereka. Namun, kepercayaan ini segera dikhianati. Pasukan Inggris mulai menyebar pamflet dari udara yang memerintahkan rakyat Surabaya untuk menyerahkan semua senjata mereka. Lebih buruk lagi, mereka menduduki titik-titik vital di kota, seperti kantor pos dan pusat telekomunikasi, serta membebaskan tawanan Belanda yang kemudian dipersenjatai.

Tindakan ini jelas melanggar kesepakatan dan mengkonfirmasi kecurigaan terburuk rakyat Surabaya bahwa Inggris hanyalah kuda troya bagi kembalinya Belanda. Situasi ini memanaskan kembali tensi yang sempat mereda setelah Insiden Hotel Yamato, menyiapkan panggung untuk sebuah konfrontasi fisik dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Kontak Senjata Pertama dan Intervensi Jakarta

Pada 27 Oktober 1945, kesabaran rakyat habis. Kontak senjata pertama pecah.

Pesawat Dakota milik Inggris menyebarkan pamflet ultimatum, yang langsung dibalas dengan perlawanan sengit dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berbagai laskar pejuang. Selama tiga hari berikutnya, dari 28 hingga 30 Oktober, Surabaya berubah menjadi medan perang. Pasukan Inggris yang tersebar di berbagai pos terdesak hebat oleh serangan gencar dari segala penjuru.

Keunggulan persenjataan mereka seolah tak berarti di hadapan semangat perlawanan yang membara. Brigjen Mallaby dan pasukannya terkepung dan berada di ambang kehancuran. Melihat situasi yang kritis, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin terbang ke Surabaya untuk menengahi konflik. Setelah perundingan alot, gencatan senjata berhasil disepakati pada 30 Oktober.

Sebuah momen krusial yang diharapkan bisa mengakhiri pertumpahan darah dan membuka kembali jalan dialog. Namun, takdir berkata lain. Sore itu, sebuah peristiwa tragis terjadi dan mengubah total jalannya sejarah Indonesia.

Tewasnya Jenderal Mallaby Misteri Pemicu Perang Besar

Saat berkeliling kota menggunakan mobil Buick untuk menyosialisasikan gencatan senjata, rombongan Brigjen Mallaby terjebak dalam kerumunan massa dan pejuang Indonesia di dekat Jembatan Merah, tepat di depan Gedung Internatio. Situasi yang awalnya tenang mendadak menjadi kacau.

Baku tembak kembali meletus antara pasukan Inggris dari Batalion Gurkha yang bertahan di dalam gedung dan para pejuang Indonesia di luar. Di tengah kekacauan inilah, Brigjen Mallaby tewas. Hingga hari ini, kematiannya masih diselimuti misteri. Pihak Inggris mengklaim jenderalnya dibunuh secara keji oleh massa.

Namun, menurut berbagai kesaksian dari pihak Indonesia, Mallaby tewas akibat ledakan granat yang dilemparkan ke mobilnya saat baku tembak berlangsung. Beberapa analisis bahkan menyebut kemungkinan ia terkena tembakan dari pasukannya sendiri yang panik. Sejarawan Richard McMillan dalam bukunya "The British Occupation of Indonesia, 1945-1946," mencatat betapa kompleks dan membingungkannya situasi tersebut.

Meskipun berbagai catatan sejarah memberikan versi yang berbeda mengenai detail kejadian, dampaknya tetap sama: kematian Mallaby menjadi pembenaran bagi Inggris untuk melancarkan serangan balasan berskala penuh. Berita kematian seorang jenderal di medan laga menjadi pukulan telak bagi kehormatan militer Inggris dan menjadi pemicu utama meletusnya Pertempuran Surabaya yang sesungguhnya.

Ultimatum 10 November dan Gema Radio Bung Tomo

Kabar tewasnya Mallaby sampai ke markas komando Sekutu. Kemarahan Inggris memuncak. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima AFNEI, bersumpah akan membalas kematian perwiranya. Komando pasukan di Surabaya diserahkan kepada Mayor Jenderal Robert Mansergh, seorang perwira yang dikenal tegas dan berpengalaman dari palagan Eropa.

Pada 9 November 1945, Mansergh mengeluarkan ultimatum yang sangat keras dan merendahkan. Isinya memerintahkan seluruh pemimpin dan pejuang Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan diri tanpa syarat, meletakkan senjata di tempat yang ditentukan dengan tangan di atas kepala, paling lambat pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Jika ultimatum itu diabaikan, Inggris mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara hingga hancur lebur. Ultimatum ini disambut dengan penolakan mutlak. Gubernur Soerjo, melalui siaran radio, dengan tegas menyatakan bahwa Arek-arek Suroboyo akan melawan hingga titik darah penghabisan.

Namun, suara yang paling menggetarkan dan membakar semangat perlawanan datang dari seorang pemuda bernama Sutomo, atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo. Melalui siaran Radio Pemberontakan, suaranya yang berapi-api menggelegar ke seluruh penjuru kota dan meresap ke dalam sanubari setiap pejuang.

Dengan pekik takbir "Allahu Akbar!" yang khas, Bung Tomo berpidato: "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga... Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!" Pidato Bung Tomo bukan sekadar retorika. Itu adalah suntikan moral yang luar biasa, mengubah ketakutan menjadi keberanian, dan keraguan menjadi keyakinan. Pidatonya menjadi bahan bakar bagi api perlawanan, memastikan bahwa pada pagi 10 November 1945, Surabaya tidak akan menyerah, melainkan akan bertarung habis-habisan dalam episode paling heroik dari perang kemerdekaan.

Puncak Pertempuran Surabaya Neraka di Kota Pahlawan

Tepat pukul 06.00 pagi pada 10 November 1945, langit Surabaya berubah menjadi merah. Suara ledakan memekakkan telinga. Kapal-kapal perang Inggris di pelabuhan memuntahkan peluru meriamnya ke jantung kota. Pesawat-pesawat tempur Mosquito dan Thunderbolt meraung-raung di udara, menjatuhkan bom dan memberondong setiap target yang bergerak.

Di darat, tank-tank Sherman dan artileri berat mulai merangsek maju, memporak-porandakan pertahanan baris depan. Inggris mengerahkan kekuatan penuh, sekitar 30.000 tentara berpengalaman, didukung oleh persenjataan modern yang superior. Mereka memperkirakan perlawanan di Surabaya akan bisa ditumpas dalam tiga hari. Namun, mereka salah besar. Mereka tidak memperhitungkan satu hal: semangat perlawanan yang tak kenal padam dari Arek-arek Suroboyo.

Di pihak Indonesia, sekitar 20.000 personel TKR dan lebih dari 100.000 sukarelawan sipil dan laskar rakyat mengangkat senjata. Persenjataan mereka jauh dari seimbang, banyak yang hanya bersenjatakan bambu runcing, golok, dan senapan rampasan dari Jepang. Namun, kekurangan itu mereka tutupi dengan keberanian dan taktik gerilya kota yang brilian.

Pertempuran berubah menjadi perang kota yang brutal, dari rumah ke rumah, dari gang ke gang.

Perang Kota yang Mengguncang Dunia

Pejuang Indonesia mengubah setiap gedung menjadi benteng pertahanan, setiap gang sempit menjadi zona mematikan. Lokasi-lokasi seperti Jembatan Merah, Gedung Internatio, dan Kantor Gubernur menjadi saksi pertempuran jarak dekat yang sangat sengit.

Para pemuda pejuang dengan nekat menghadang laju tank hanya dengan bermodalkan granat dan bom molotov. Teriakan "Merdeka atau Mati!" dan pekik takbir terus menggema di antara desingan peluru, menjadi penyemangat di tengah neraka pertempuran. Perlawanan rakyat Surabaya begitu dahsyat sehingga mengejutkan pihak Inggris dan dunia internasional.

Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber, termasuk dari Encyclopedia Britannica, pertempuran ini memakan korban yang sangat besar di pihak Indonesia. Diperkirakan antara 6.000 hingga 16.000 pejuang dan warga sipil gugur, sementara puluhan ribu lainnya harus mengungsi. Di sisi lain, pihak Inggris menderita sekitar 600 hingga 2.000 tentara tewas, sebuah jumlah yang signifikan dan tidak mereka perkirakan sebelumnya.

Pertempuran Surabaya yang diprediksi selesai dalam hitungan hari, ternyata berlangsung selama tiga minggu penuh.

Dampak dan Warisan Pertempuran Surabaya

Secara militer, Pertempuran Surabaya berakhir dengan jatuhnya kota ke tangan Sekutu pada akhir November 1945. Namun, secara politik dan psikologis, pertempuran ini adalah kemenangan gemilang bagi Indonesia.

Perlawanan heroik di Surabaya mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada Belanda dan dunia: kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, tetapi hak yang akan dipertahankan dengan segenap jiwa dan raga. Pertempuran Surabaya menjadi simbol perlawanan nasional. Peristiwa ini berhasil menarik perhatian dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak negara yang awalnya memandang sebelah mata mulai bersimpati. Tekanan diplomatik terhadap Belanda pun meningkat.

Di dalam negeri, semangat yang ditunjukkan oleh Arek-arek Suroboyo menginspirasi perlawanan di daerah-daerah lain, mengobarkan semangat revolusi di seluruh nusantara. Pertempuran ini adalah bukti nyata bahwa sejarah Indonesia ditulis dengan darah para pahlawan. Sebagai pengakuan atas pengorbanan luar biasa tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Surabaya pun mendapat julukan sebagai Kota Pahlawan.

Warisan Pertempuran Surabaya bukan hanya monumen atau nama jalan, melainkan semangat pantang menyerah yang terpatri dalam identitas bangsa, sebuah pengingat abadi akan harga sebuah kemerdekaan. Kisah Pertempuran Surabaya lebih dari sekadar kronologi tanggal dan peristiwa yang tercatat dalam buku sejarah Indonesia. Ini adalah cerminan dari DNA sebuah bangsa yang menolak untuk tunduk pada penindasan.

Peristiwa ini menunjukkan bagaimana orang-orang biasa, dari berbagai latar belakang, dapat bersatu dan menjadi kekuatan yang luar biasa ketika kedaulatan mereka terancam. Semangat yang ditunjukkan oleh Bung Tomo, keberanian para pemuda di Hotel Yamato, dan pengorbanan ribuan pejuang tanpa nama adalah bukti abadi dari kekuatan tekad manusia dalam menghadapi tirani.

Melihat kembali jejak para pahlawan di Surabaya, kita tidak hanya diajak untuk mengenang pengorbanan mereka. Kita dipanggil untuk memahami bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini ditempa dalam api dan darah. Setiap jengkal tanah, setiap kebebasan berpendapat, adalah buah dari keberanian luar biasa.

Seperti yang dapat kita pelajari dari berbagai arsip sejarah, termasuk yang dikelola oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, perjalanan bangsa ini penuh dengan perjuangan. Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan kompas yang mengarahkan kita untuk menghargai setiap detiknya dan membangun masa depan yang layak atas pengorbanan tersebut.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0