Suara Radio Bung Tomo Mengubah Takdir Pertempuran Surabaya Selamanya


Minggu, 07 September 2025 - 03.35 WIB
Suara Radio Bung Tomo Mengubah Takdir Pertempuran Surabaya Selamanya
Orasi Radio Bung Tomo (Foto oleh mahdi Saviz di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Udara di Surabaya pada akhir Oktober 1945 terasa sesak, bukan hanya karena kelembapan tropis. Udara itu pekat dengan harapan yang rapuh, penantian yang menegangkan, dan aroma mesiu yang siap tersulut.

Kemerdekaan baru saja diproklamasikan dua bulan sebelumnya, tetapi kebebasan masih jauh dari genggaman. Di tengah situasi genting ini, muncullah seorang jurnalis berusia 25 tahun bernama Sutomo, seorang pria yang suaranya, yang disiarkan melalui gelombang udara dari stasiun radio darurat, akan segera menjadi detak jantung revolusi yang menggelegar. Ini bukan sekadar kisah tentang sebuah pidato.

Ini adalah tentang bagaimana kekuatan kata-kata dari Bung Tomo menjadi senjata pamungkas bagi Arek-Arek Suroboyo, menggembleng seluruh kota untuk menentang salah satu kekuatan militer terkuat di dunia dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Surabaya yang legendaris.

Latar Belakang Ketegangan di Kota Pahlawan

Untuk memahami dahsyatnya pengaruh orasi Bung Tomo, kita perlu kembali ke suasana Surabaya pasca-proklamasi. Kemenangan Sekutu atas Jepang membawa pasukan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) ke Indonesia dengan dalih melucuti tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang.

Namun, di antara mereka ada personel NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang memiliki agenda tersembunyi, yaitu menegakkan kembali kekuasaan kolonial Belanda. Di Surabaya, ketegangan memuncak ketika Brigade Infanteri India ke-49 di bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat pada 25 Oktober 1945. Awalnya, ada kesepakatan antara pihak Indonesia dan Inggris. Namun, situasi memburuk dengan cepat.

Selebaran yang disebar dari udara oleh pasukan Inggris, menuntut rakyat Surabaya menyerahkan senjata mereka, dianggap sebagai pengkhianatan. Insiden ikonik di Hotel Yamato, di mana bendera Belanda disobek bagian birunya hingga menyisakan Merah Putih, adalah simbol perlawanan yang tak bisa ditawar. Pertempuran sporadis pun meletus di seluruh kota.

Puncaknya adalah pada 30 Oktober 1945, ketika Brigadir Jenderal Mallaby tewas dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah. Kematiannya memicu kemarahan besar di pihak Inggris.

Penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh, mengeluarkan ultimatum yang keras pada 9 November 1945. Isinya memerintahkan semua pejuang Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan senjata dan menyerah dengan tangan di atas kepala sebelum pukul 06.00 pagi pada 10 November 1945. Ultimatum ini adalah percikan api yang menyulut ledakan besar, dan Bung Tomo adalah orang yang memegang mikrofon saat itu.

Siapa Sebenarnya Sutomo Sang Bung Tomo?

Sutomo, atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo, bukanlah seorang jenderal militer atau politisi elite. Ia adalah seorang pemuda dari rakyat biasa dengan semangat yang luar biasa. Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920, ia tumbuh menjadi seorang jurnalis yang kritis dan aktif di berbagai organisasi pemuda.

Pengalamannya di dunia jurnalistik memberinya keahlian yang tak ternilai, yaitu kemampuan merangkai kata dan memahami denyut nadi masyarakat. Ia tahu bagaimana berbicara dengan bahasa yang bisa dipahami dan dirasakan oleh semua kalangan, dari pedagang pasar hingga pelajar. Ketika revolusi meletus, Bung Tomo mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dan memimpin Radio Pemberontakan. Stasiun radio inilah yang menjadi corong utamanya.

Ia bukan sekadar penyampai berita, ia adalah seorang komunikator ulung yang mampu mengubah informasi menjadi inspirasi. Sosoknya yang berapi-api dan pidatonya yang tulus membuatnya menjadi figur yang dipercaya oleh para pejuang muda, yang kemudian dikenal sebagai Arek-Arek Suroboyo. Ia adalah suara mereka, suara kemarahan, harapan, dan keberanian yang tak terbatas.

Kekuatan Radio Pemberontakan Suara Dari Jantung Perlawanan

Di zaman tanpa internet dan media sosial, radio adalah medium komunikasi massa yang paling kuat. Radio Pemberontakan yang dipimpin oleh Bung Tomo menjadi pusat komando tak resmi bagi perlawanan di Surabaya. Dari sebuah studio sederhana, suaranya menjangkau setiap sudut kota, masuk ke rumah-rumah, warung kopi, dan pos-pos pertahanan.

Fungsinya jauh melampaui sekadar menyiarkan berita.

Stasiun radio ini menjadi:

  • Pusat Informasi: Menyebarkan informasi tentang pergerakan pasukan Sekutu dan instruksi bagi para pejuang.
  • Alat Propaganda: Melawan propaganda Sekutu dan menjaga moral publik agar tidak jatuh.
  • Sumber Inspirasi: Melalui orasi-orasinya, Bung Tomo mengubah radio menjadi mimbar yang membakar semangat juang.
Radio Pemberontakan adalah bukti nyata bagaimana teknologi, bahkan yang sederhana sekalipun, dapat menjadi senjata ampuh dalam sebuah perjuangan.

Ia menghubungkan ribuan pejuang yang tersebar, membuat mereka merasa menjadi bagian dari satu gerakan besar yang terkoordinasi. Kekuatan suara Bung Tomo yang disiarkan melalui radio inilah yang menyatukan tekad Arek-Arek Suroboyo untuk menghadapi ultimatum Sekutu dengan kepala tegak.

Anatomi Orasi yang Membakar Semangat Juang

Menjelang batas akhir ultimatum pada malam 9 November 1945, Bung Tomo menyampaikan pidatonya yang paling terkenal. Orasi ini bukanlah pidato politik yang penuh basa-basi. Itu adalah sebuah seruan perang suci, sebuah ledakan emosi yang murni dari hati seorang patriot. Ada beberapa elemen kunci yang membuat orasi Bung Tomo begitu legendaris dan efektif.

Gaya Bahasa dan Pilihan Kata yang Emosional

Bung Tomo tidak menggunakan bahasa formal yang kaku. Ia berbicara layaknya seorang kawan, seorang saudara yang sedang menyemangati keluarganya. Ia menggunakan sapaan akrab "saudara-saudara rakyat Surabaya" dan "pemuda-pemuda yang kau cintai". Pilihan katanya tajam, langsung, dan sarat dengan emosi.

Kalimat seperti "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!" adalah sebuah metafora yang sangat kuat dan mudah dipahami. Puncaknya adalah pekik takbir, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Merdeka!" yang, menurut sejarawan seperti Rushdy Hoesein, mampu menyentuh aspek spiritual dan religius masyarakat Surabaya yang saat itu mayoritas Muslim, mengubah perjuangan fisik menjadi sebuah jihad.

Momen yang Tepat Ultimatum Sekutu

Konteks adalah segalanya. Orasi Bung Tomo disampaikan pada saat yang paling krusial.

Rakyat Surabaya dihadapkan pada dua pilihan yang mustahil, menyerah dan terhina, atau melawan dan kemungkinan besar binasa. Pidato ini datang sebagai jawaban, sebagai penegasan identitas dan harga diri. Ia tidak menawarkan solusi mudah, sebaliknya, ia mengajak rakyat untuk memilih jalan perjuangan yang terhormat, meskipun penuh pengorbanan.

Ia membingkai perlawanan bukan sebagai tindakan nekat, tetapi sebagai satu-satunya pilihan moral yang tersisa bagi bangsa yang merdeka. Ultimatum yang seharusnya menakut-nakuti justru menjadi pemicu perlawanan terbesar berkat respons verbal yang brilian dari Bung Tomo.

Dampak Psikologis pada Pejuang dan Rakyat

Efek dari siaran radio malam itu sungguh luar biasa.

Ketakutan akan kekuatan militer Inggris yang modern berubah menjadi keberanian yang membara. Keraguan di hati para pemuda berganti menjadi tekad baja. Cerita dari para veteran Pertempuran Surabaya sering kali menyebutkan bagaimana suara Bung Tomo dari radio-radio butut seolah memberi mereka kekuatan tambahan. Para pemuda yang tadinya hanya berbekal bambu runcing merasa setara dengan tentara bersenjata lengkap.

Rakyat sipil, termasuk kaum perempuan dan orang tua, turut membantu di dapur umum dan palang merah. Orasi Bung Tomo berhasil mengubah psikologi massa dari korban menjadi pejuang. Seluruh kota bersatu, siap menyambut fajar 10 November 1945 dengan perlawanan total.

Pertempuran 10 November 1945 Darah dan Api di Surabaya

Ketika batas waktu ultimatum berlalu, neraka pun pecah di Surabaya.

Dari darat, laut, dan udara, pasukan Inggris menggempur kota. Kapal perang menembakkan meriamnya, pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom, dan tank-tank mulai merangsek masuk. Mereka mengira perlawanan akan segera padam. Mereka salah besar. Arek-Arek Suroboyo, dengan semangat yang telah dibakar oleh orasi Bung Tomo, menyambut serangan itu dengan perlawanan yang fanatik.

Pertempuran berlangsung dari jalan ke jalan, dari gedung ke gedung. Senjata mereka mungkin sederhana, banyak yang hanya menggunakan bambu runcing, golok, atau senapan rampasan, tetapi keberanian mereka tak tertandingi. Selama tiga minggu, Surabaya menjadi medan perang yang brutal. Ribuan pejuang dan warga sipil gugur.

Menurut catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), pertempuran ini adalah yang pertama dan terbesar antara pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan. Secara militer, Surabaya akhirnya jatuh ke tangan Inggris. Namun, secara politik dan moral, Indonesia meraih kemenangan gemilang. Pertempuran Surabaya menunjukkan kepada dunia bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia bukanlah omong kosong.

Bangsa ini rela berkorban darah dan nyawa untuk mempertahankannya. Kegigihan Arek-Arek Suroboyo memaksa dunia internasional untuk membuka mata dan mengakui eksistensi Republik Indonesia. Peristiwa 10 November 1945 ini menjadi fondasi diplomasi Indonesia di kemudian hari dan menjadi alasan mengapa tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Warisan Abadi Suara Bung Tomo

Setelah pertempuran usai, nama Bung Tomo terukir abadi dalam sejarah sebagai pahlawan nasional. Namun, warisannya lebih dari sekadar gelar. Warisannya adalah bukti abadi tentang kekuatan kata-kata. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan tidak selalu tentang pangkat militer atau jabatan politik, tetapi tentang kemampuan untuk menginspirasi dan menyatukan orang lain demi tujuan yang lebih besar.

Orasi Bung Tomo menjadi cetak biru bagi komunikasi perjuangan di Indonesia. Setiap kali kita merayakan Hari Pahlawan pada 10 November 1945, kita tidak hanya mengenang para pejuang yang gugur di Pertempuran Surabaya. Kita juga mengenang gema suara seorang pemuda yang, melalui sebuah mikrofon radio sederhana, berhasil membangkitkan semangat satu bangsa.

Suaranya melampaui gelombang radio, ia merasuk ke dalam jiwa Arek-Arek Suroboyo dan terus bergema hingga generasi sekarang sebagai pengingat akan harga sebuah kemerdekaan. Meskipun detail spesifik dari beberapa percakapan hari itu mungkin hilang ditelan waktu, semangat dan pesan inti dari perlawanan ini tercatat jelas dalam arsip sejarah dan ingatan kolektif bangsa.

Kisah Bung Tomo dan Pertempuran Surabaya bukan hanya sekadar bab dalam buku sejarah. Ini adalah cerminan dari kekuatan yang ada dalam diri kita, kekuatan untuk bersuara, untuk berjuang, dan untuk tidak pernah menyerah pada penindasan. Sejarah telah menunjukkan bahwa satu suara yang lantang di saat yang tepat dapat mengubah segalanya.

Ini adalah pelajaran tentang keberanian, pengorbanan, dan keyakinan bahwa masa depan yang lebih baik layak untuk diperjuangkan, sebuah pesan yang relevan dahulu, sekarang, dan selamanya.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0