Era Baru Kripto di Indonesia OJK Ambil Alih Pajak Bakal Ikut Berubah

VOXBLICK.COM - Pengalihan wewenang pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bukan sekadar pergantian logo di atas surat edaran. Ini adalah sinyal pergeseran fundamental dalam cara Indonesia memandang dan mengatur industri digital yang sedang naik daun ini. Bagi jutaan investor di tanah air, pertanyaan terbesarnya sederhana, bagaimana nasib cuan saya, dan yang lebih penting, bagaimana aturan pajaknya? Perubahan ini, yang dijadwalkan rampung sepenuhnya pada Januari 2025, berpotensi merombak total skema pajak kripto yang kita kenal saat ini, membuka lembaran baru bagi masa depan kripto di Indonesia.
Langkah ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Lewat payung hukum ini, pemerintah secara resmi mengklasifikasikan aset kripto sebagai aset keuangan digital.
Ini adalah perubahan terminologi yang sangat penting. Selama ini, di bawah Bappebti, aset kripto dianggap sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Kini, di bawah OJK, ia akan diperlakukan setara dengan produk keuangan lainnya seperti saham dan reksa dana. Logikanya sederhana, jika tempatnya sudah pindah ke rumah pengawas keuangan, maka aturan mainnya pun harus selaras dengan penghuni rumah lainnya. Tentu saja, proses transisi ini tidak terjadi dalam semalam dan membawa banyak diskusi mengenai formula terbaik untuk regulasi kripto Indonesia.
Babak Baru Aset Kripto: OJK Resmi Ambil Kemudi dari Bappebti
Transisi pengawasan aset kripto ke OJK adalah sebuah langkah strategis.
Selama bertahun-tahun, Bappebti telah berhasil meletakkan fondasi awal, terbukti dengan data dari Bappebti sendiri yang mencatat ada lebih dari 19 juta investor kripto terdaftar di Indonesia pada awal tahun 2024. Namun, seiring dengan pertumbuhan pesat dan kompleksitas produk yang semakin beragam, dari sekadar jual beli hingga staking, lending, dan DeFi, diperlukan lembaga dengan mandat dan keahlian spesifik di sektor jasa keuangan. Di sinilah OJK masuk.
OJK memiliki DNA yang berbeda dari Bappebti. Fokus utama OJK adalah perlindungan konsumen atau investor dan stabilitas sistem keuangan.
Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa prioritas utama OJK adalah memastikan investor terlindungi dari risiko penipuan, manipulasi pasar, dan keamanan dana. Pendekatan ini secara alami akan memengaruhi bagaimana OJK merancang regulasi, termasuk kerangka kerja untuk pajak kripto.
UU P2SK memberikan masa transisi selama dua tahun sejak diundangkan pada Januari 2023. Artinya, OJK dan Bappebti bekerja sama untuk memastikan peralihan yang mulus hingga Januari 2025. Selama periode ini, aturan yang ada, termasuk soal pajak, masih
berlaku. Namun, di balik layar, OJK dipastikan sedang meramu aturan baru yang lebih komprehensif, di mana isu pajak kripto menjadi salah satu agenda utamanya. Proses ini sangat krusial untuk menentukan arah masa depan kripto di tanah air.
Skema Pajak Kripto Saat Ini: Begini Aturan Mainnya
Sebelum membahas potensi perubahan, penting untuk memahami dulu bagaimana pajak kripto dihitung saat ini. Aturan yang berlaku sekarang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.
03/2022. Regulasi ini memperlakukan transaksi aset kripto sebagai objek dua jenis pajak final, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Disebut final karena pemotongannya dilakukan langsung oleh penyelenggara atau exchange saat transaksi terjadi, dan investor tidak perlu menghitungnya lagi di SPT Tahunan (kecuali melaporkan kepemilikan asetnya).
Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 22
Setiap kali kamu menjual aset kripto dan mendapatkan penghasilan, kamu akan dikenakan PPh Pasal 22. Tarifnya sangat simpel:
- 0,1% dari nilai transaksi jika kamu bertransaksi di Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) atau exchange yang terdaftar resmi di Bappebti.
- 0,2% dari nilai transaksi jika exchange tempat kamu bertransaksi tidak terdaftar di Bappebti.
Contohnya, kamu menjual 1 Bitcoin seharga Rp 1 miliar di exchange terdaftar. Maka, PPh yang dipotong adalah 0,1% x Rp 1.000.000.000 = Rp 1.000.000. Pajak ini dikenakan pada nilai total penjualan, bukan hanya dari keuntunganmu. Ini adalah poin penting yang sering disalahpahami. Mau kamu untung atau rugi, selama ada transaksi penjualan, pajak PPh kripto tetap dipotong dari nilai totalnya.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Final
Selain PPh, ada juga PPN. Dalam konteks ini, aset kripto dianggap sebagai Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Karena itu, setiap transaksinya dikenakan PPN dengan tarif khusus yang lebih rendah dari PPN normal (11%). Tarif PPN final untuk kripto adalah:
- 0,11% dari nilai transaksi jika melalui exchange yang terdaftar.
- 0,22% dari nilai transaksi jika melalui exchange yang tidak terdaftar.
Jadi, dari contoh penjualan Bitcoin Rp 1 miliar di atas, PPN yang harus dibayar adalah 0,11% x Rp 1.000.000.000 = Rp 1.100.000. Secara total, dari penjualan tersebut, potongan pajak kripto adalah Rp 1.000.000 (PPh) + Rp 1.100.000 (PPN) = Rp 2.100.000. Skema pajak PPN kripto ini cukup unik karena PPN biasanya dikenakan atas konsumsi barang atau jasa, bukan instrumen investasi. Inilah salah satu aspek yang paling mungkin dievaluasi kembali oleh OJK.
Kenapa Pajak Kripto Bisa Berubah di Bawah OJK?
Pergeseran paradigma dari komoditas ke aset keuangan adalah kunci utama mengapa skema pajak kripto berpotensi besar untuk dirombak.
Ketika OJK atur kripto, lembaga ini akan melihatnya melalui kacamata yang sama seperti saat melihat saham, obligasi, atau reksa dana. Ini membuka beberapa kemungkinan fundamental yang bisa mengubah cara investor membayar pajak.
Potensi Klasifikasi Ulang Aset Kripto
Ini adalah perubahan paling mendasar. Jika aset kripto tidak lagi dianggap komoditas, maka pengenaan PPN menjadi tidak relevan. PPN dikenakan pada barang dan jasa.
Instrumen keuangan seperti saham tidak dikenakan PPN saat diperdagangkan. Penghapusan PPN bisa menjadi salah satu perubahan terbesar dalam regulasi kripto Indonesia yang baru. Ini akan menjadi kabar baik bagi para trader karena bisa mengurangi biaya transaksi secara signifikan.
Sebagai gantinya, fokus akan beralih sepenuhnya ke pajak penghasilan. Namun, model PPh yang digunakan pun bisa berubah total.
Alih-alih PPh 22 final atas nilai transaksi, OJK dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa mempertimbangkan model pajak atas capital gain atau keuntungan modal, sebuah model yang lebih lazim diterapkan pada instrumen investasi di seluruh dunia.
Harmonisasi dengan Sektor Keuangan Lain
Salah satu mandat OJK adalah menciptakan kesetaraan dan keadilan aturan main (level playing field) di seluruh sektor keuangan.
Tidak adil jika investor saham dikenakan model pajak A, sementara investor aset kripto dikenakan model pajak B yang karakternya sangat berbeda. Harmonisasi ini penting untuk menciptakan ekosistem investasi yang sehat dan tidak menimbulkan distorsi pasar.
Sebagai perbandingan, pajak transaksi penjualan saham di bursa efek bersifat final dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi bruto, mirip dengan PPh kripto saat ini. Namun, saham jelas tidak dikenakan PPN.
OJK mungkin akan mempertimbangkan untuk menyamakan perlakuan pajak PPh kripto dengan saham, atau bahkan mengadopsi model lain yang dianggap lebih sesuai dengan karakteristik unik aset kripto. Diskusi mengenai masa depan kripto ini pasti melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menemukan formula yang pas.
Fokus pada Perlindungan Investor
Model pajak saat ini, yang memotong pajak dari total nilai transaksi tanpa peduli untung atau rugi, bisa dianggap kurang berpihak pada investor, terutama mereka yang baru memulai atau mengalami
kerugian. Seorang investor yang menjual aset kripto miliknya dalam posisi rugi tetap harus membayar pajak PPh kripto dan pajak PPN kripto. Ini bisa menjadi disinsentif. Model pajak capital gain, di sisi lain, lebih adil karena pajak hanya dikenakan jika investor benar-benar merealisasikan keuntungan. Hal ini sejalan dengan mandat OJK untuk melindungi kepentingan investor.
Skenario Perubahan Pajak Kripto: Apa Saja Kemungkinannya?
Meskipun belum ada pengumuman resmi, kita bisa memprediksi beberapa skenario yang mungkin terjadi berdasarkan praktik umum di sektor keuangan dan sinyal dari regulator.
Ketika OJK atur kripto secara penuh, beberapa model ini bisa menjadi pertimbangan.
Model Pajak Capital Gain
Ini adalah skenario yang paling banyak dibicarakan oleh para analis dan pelaku industri. Dalam model ini, pajak hanya dihitung dari selisih positif antara harga jual dan harga beli aset.
Cara kerjanya: Kamu membeli 1 Ethereum seharga Rp 50 juta dan menjualnya setahun kemudian seharga Rp 70 juta. Keuntungan (capital gain) kamu adalah Rp 20 juta. Pajak akan dihitung dari angka Rp 20 juta ini, bukan dari Rp 70 juta. Tarifnya bisa bersifat final atau tidak final (digabungkan dengan penghasilan lain di SPT Tahunan). Model ini dianggap lebih adil dan mencerminkan esensi dari investasi, yaitu mengenakan pajak atas keuntungan, bukan pendapatan kotor. Tantangannya adalah administrasi, baik bagi investor maupun pemerintah, karena memerlukan pencatatan harga beli yang akurat dan terperinci. Hal ini sejalan dengan pernyataan Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, yang menyebutkan bahwa penerapan capital gain tax akan menciptakan keadilan bagi para investor aset kripto.
Perubahan Tarif PPh dan PPN
Skenario lain yang lebih sederhana adalah OJK dan Kemenkeu mempertahankan model pajak final berbasis transaksi yang ada, tetapi melakukan penyesuaian.
Kemungkinan pertama adalah menghapus komponen pajak PPN kripto sama sekali, karena aset kripto kini dianggap aset keuangan. Selanjutnya, tarif pajak PPh kripto bisa saja disesuaikan, mungkin sedikit dinaikkan untuk mengkompensasi hilangnya PPN, atau mungkin disamakan persis dengan tarif pajak transaksi saham. Skenario ini lebih mudah diimplementasikan karena tidak memerlukan perubahan sistem pelaporan yang drastis dari sisi exchange dan investor.
Pajak Atas Staking, Lending, dan Earning Lainnya
Ekosistem aset kripto jauh lebih luas dari sekadar jual beli.
Banyak investor mendapatkan penghasilan pasif melalui staking (mengunci aset untuk mendukung jaringan dan mendapatkan imbalan), lending (meminjamkan aset untuk mendapatkan bunga), atau dari airdrop. Aturan PMK 68 saat ini belum secara eksplisit dan detail mengatur perlakuan pajak untuk aktivitas-aktivitas ini. OJK, dengan pemahamannya yang lebih mendalam tentang produk keuangan derivatif dan inovatif, kemungkinan besar akan merumuskan aturan yang lebih jelas. Penghasilan dari staking, misalnya, bisa saja diklasifikasikan sebagai penghasilan bunga atau sewa yang memiliki skema pajak PPh kripto tersendiri. Ini adalah area abu-abu yang perlu segera mendapat kepastian dalam regulasi kripto Indonesia.
Tanggapan Pelaku Industri dan Investor
Pelaku industri, seperti para pendiri exchange lokal, pada umumnya menyambut baik peralihan ke OJK. Mereka melihat ini sebagai langkah menuju kedewasaan pasar dan legitimasi yang lebih kuat di mata investor institusional maupun ritel.
Oscar Darmawan, CEO Indodax, dalam sebuah wawancara dengan media, menyatakan bahwa regulasi yang jelas di bawah OJK akan memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Kepastian ini, termasuk soal pajak, adalah hal yang paling diinginkan oleh industri. Mereka berharap skema pajak yang baru nanti tidak memberatkan dan tidak mematikan inovasi, sehingga Indonesia bisa tetap kompetitif. Asosiasi seperti Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO) juga aktif memberikan masukan kepada regulator agar aturan baru yang terbentuk nantinya benar-benar efektif dan aplikatif.
Bagi investor, sentimennya beragam. Di satu sisi, ada optimisme bahwa aturan pajak di bawah OJK akan lebih adil, terutama jika model capital gain diterapkan dan PPN dihapus. Namun di sisi lain, ada juga kekhawatiran akan kompleksitas administrasi jika harus melaporkan capital gain secara mandiri. Bagaimanapun, mayoritas investor setuju bahwa regulasi yang lebih jelas akan lebih baik untuk pertumbuhan jangka panjang aset kripto. Transparansi dan kepastian adalah kunci untuk membangun kepercayaan, yang pada akhirnya akan mendorong adopsi yang lebih luas. Hal ini juga didukung oleh data dari CNBC Indonesia yang menyebutkan pertumbuhan investor yang stabil menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap masa depan kripto.
Langkah yang Perlu Disiapkan Investor Kripto
Sambil menunggu aturan baru diresmikan, ada beberapa langkah proaktif yang bisa kamu lakukan sebagai investor untuk mempersiapkan diri menghadapi era baru regulasi kripto Indonesia:
- Simpan Catatan Transaksi dengan Rapi: Mulailah dari sekarang untuk mencatat semua transaksi aset kripto kamu secara detail. Catat tanggal pembelian, harga beli, jumlah yang dibeli, tanggal penjualan, harga jual, dan jumlah yang dijual. Banyak exchange menyediakan fitur untuk mengunduh riwayat transaksi. Simpan file ini baik-baik. Jika skema capital gain benar-benar diterapkan, catatan ini akan sangat berharga untuk menghitung kewajiban pajak kripto kamu secara akurat.
- Tetap Update dengan Informasi Resmi: Pantau terus berita dan pengumuman resmi dari OJK dan Direktorat Jenderal Pajak. Jangan mudah percaya pada rumor atau informasi dari sumber yang tidak kredibel. Ikuti akun media sosial resmi atau situs web lembaga-lembaga tersebut.
- Pahami Risiko dan Potensi: Ingatlah bahwa investasi pada aset kripto memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi. Perubahan regulasi adalah salah satu bagian dari risiko tersebut. Lakukan riset mandiri (Do Your Own Research) sebelum berinvestasi pada aset apa pun dan jangan pernah menginvestasikan uang lebih dari yang kamu sanggup untuk kehilangan.
- Konsultasi dengan Ahli Pajak: Jika nilai portofolio kamu sudah cukup signifikan atau kamu melakukan banyak transaksi yang kompleks, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak yang memahami seluk beluk aset digital. Mereka bisa memberikan nasihat yang lebih personal sesuai dengan kondisi keuanganmu.
Perpindahan kewenangan pengawasan aset kripto ke OJK menandai fase pendewasaan industri di Indonesia.
Ini adalah sinyal kuat bahwa pemerintah mengakui potensi besar aset digital, namun juga menyadari perlunya kerangka regulasi yang kokoh untuk melindungi masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi. Isu pajak kripto adalah bagian tak terpisahkan dari kerangka ini. Meski masih ada ketidakpastian mengenai bentuk akhir dari skema pajak yang baru, arah perubahannya cenderung menuju sistem yang lebih adil, lebih selaras dengan instrumen keuangan lain, dan lebih komprehensif. Bagi investor, ini adalah momen penting untuk lebih teredukasi dan mempersiapkan diri. Era baru regulasi kripto Indonesia sudah di depan mata, dan mereka yang siap akan menjadi yang paling diuntungkan.
Apa Reaksi Anda?






