Hyperfixation Bisa Ganggu Produktivitas Kerja dan Kesehatan Mental

Oleh Ramones

Rabu, 27 Agustus 2025 - 17.40 WIB
Hyperfixation Bisa Ganggu Produktivitas Kerja dan Kesehatan Mental
Hyperfixation dan produktivitas kerja (Foto oleh Markus Winkler di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Bekerja dengan semangat tinggi memang penting, tapi bagaimana jika semangat itu berubah jadi obsesi pada satu hal saja? Fenomena hyperfixation makin sering dibicarakan, terutama setelah banyak pekerja profesional muda dan Gen-Z mengaku pernah mengalaminya.

Hyperfixation adalah kondisi saat seseorang terlalu fokus pada satu topik, aktivitas, atau minat dalam waktu lama, sampai-sampai mengabaikan hal-hal lain di sekitarnya. Meski sepintas terdengar mirip dengan 'deep work' atau 'hyperfocus', kenyataannya keduanya punya dampak yang sangat berbeda, apalagi untuk produktivitas kerja dan kesehatan mental.

Memahami Bedanya Hyperfixation dan Hyperfocus

Banyak orang mengira hyperfixation sama dengan hyperfocus.

Padahal, menurut penelitian yang dikutip oleh Mendez (2025), hyperfixation justru bisa merugikan jika dibiarkan tanpa batas. Hyperfocus memang membuat kita fokus total pada tugas penting, membantu menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efisien. Sebaliknya, hyperfixation kerap membuat kita terjebak pada satu aktivitas, bahkan yang tidak mendukung produktivitas utama.

Misalnya, seseorang terlalu asyik merakit Lego mini berjam-jam saat deadline pekerjaan menumpuk, atau terus mencari info soal satu topik sampai lupa makan dan istirahat.

Bagaimana Hyperfixation Bisa Mengganggu Produktivitas?

Pernah merasa seolah waktu berjalan sangat cepat saat mengerjakan sesuatu yang kamu suka, tapi tiba-tiba semua tugas lain jadi terbengkalai?

Hyperfixation sering kali membuat seseorang kehilangan keseimbangan antara pekerjaan, waktu istirahat, dan aktivitas sosial. Data dari Mendez (2025) menunjukkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, bisa terjadi penurunan produktivitas, munculnya stres, bahkan burnout. Fokus berlebihan yang tidak terarah bisa membuat pekerjaan utama terbengkalai, target tidak tercapai, hingga hubungan kerja jadi renggang.

  • Mengabaikan Deadline: Hyperfixation bisa bikin lupa waktu dan tugas utama.

    Deadline pekerjaan sering terlewat atau dikerjakan mepet waktu.

  • Mengorbankan Aktivitas Lain: Seseorang jadi enggan bersosialisasi atau melakukan aktivitas lain yang sebenarnya juga penting.
  • Risiko Burnout: Terus-menerus terfokus pada satu hal menyebabkan energi mental terkuras, memicu kelelahan dan stres berlebihan.

Dampak Hyperfixation terhadap Kesehatan Mental

Bukan cuma produktivitas yang terancam, kesehatan mental juga ikut terpengaruh.

Berdasarkan temuan Mendez, kondisi ini bisa membuat seseorang merasa cemas, mudah marah, bahkan depresi karena merasa gagal mengontrol waktu dan prioritas. Banyak pekerja dengan ADHD mengalami hyperfixation, sehingga keseharian terasa seperti "paranoia produktivitas" ada dorongan terus-menerus untuk menyelesaikan satu hal sempurna, tapi akhirnya meninggalkan banyak hal penting lainnya.

Gejala yang sering muncul antara lain:

  • Kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukai
  • Merasa bersalah setelah sadar telah membuang waktu
  • Kesulitan tidur karena pikiran terus terpaku pada satu hal
  • Menunda makan atau istirahat demi menyelesaikan satu aktivitas tertentu

Penyebab Utama Hyperfixation di Tempat Kerja

Lingkungan kerja modern yang serba cepat kadang tanpa sadar mendorong kita untuk terus 'on', bahkan di luar jam kantor.

Ada tekanan untuk selalu produktif, sehingga ketika menemukan hal menarik, kita cenderung menenggelamkan diri terlalu dalam. Beberapa riset, seperti yang dikutip dari WHO, menyebutkan bahwa stres, kurang tidur, dan tidak adanya manajemen waktu yang baik memperbesar risiko hyperfixation. Selain itu, budaya hustle sering kali membuat orang merasa harus 'all out' tanpa henti.

Peran Media Sosial dan Teknologi

Media sosial juga punya peran besar. Banyak aplikasi dan konten didesain untuk membuat pengguna betah berlama-lama, sehingga mudah memicu hyperfixation. Terlebih bagi mereka yang bekerja di bidang kreatif atau digital, scrolling tanpa sadar bisa berubah jadi jam-jam produktif yang hilang tanpa terasa.

Mitos Seputar Hyperfixation yang Sering Disalahpahami

Banyak mitos beredar tentang hyperfixation, mulai dari anggapan bahwa ini tanda orang berbakat, hingga dianggap sebagai bentuk motivasi tinggi. Faktanya, menurut jurnal WHO (2024), hyperfixation tidak selalu berarti seseorang lebih produktif atau cerdas. Justru, jika tidak dikendalikan, bisa menghambat pertumbuhan karier dan kesehatan mental.

  • "Hyperfixation Bikin Karier Melesat": Nyatanya, terlalu fokus pada satu hal justru bisa menghambat pengembangan skill lain dan membuat kinerja di bidang lain menurun.
  • "Orang Hyperfixation Itu Multitalenta": Sering kali, mereka hanya ahli di satu bidang, tapi kesulitan membagi waktu untuk hal lain.
  • "Ini Cuma Masalah Kurang Disiplin": Hyperfixation bisa terjadi pada siapa saja, bahkan yang sangat disiplin.

    Faktor psikologis dan lingkungan punya peran besar.

Cara Mengelola Hyperfixation di Dunia Kerja

Mengelola hyperfixation tidak mudah, tapi sangat mungkin dilakukan dengan strategi yang tepat. Berikut beberapa tips berdasarkan pengalaman nyata dan hasil riset:
  • Buat To-Do List Harian: Menulis prioritas pekerjaan harian membantu otak tetap terarah.

    Pecah tugas besar jadi beberapa langkah kecil agar tidak mudah terjebak di satu tugas saja.

  • Atur Jam Kerja dengan Alarm: Gunakan timer untuk mengingatkan kapan harus beralih tugas atau istirahat.

    Teknik Pomodoro terbukti efektif untuk menghindari fokus berlebihan.

  • Jadwalkan Waktu Istirahat: Luangkan waktu rutin untuk rehat sejenak, entah itu sekadar berjalan kaki, meditasi, atau ngobrol ringan dengan rekan kerja.
  • Batasi Distraksi Digital: Matikan notifikasi aplikasi yang tidak penting saat bekerja.

    Tentukan jam khusus untuk mengecek media sosial agar tidak kecolongan waktu.

  • Bangun Kebiasaan Refleksi: Setiap akhir hari, evaluasi apakah waktu sudah digunakan sesuai prioritas.

    Jika merasa terjebak di satu hal, coba cari aktivitas baru yang bisa menyeimbangkan rutinitas.

Kapan Harus Waspada dan Mencari Bantuan?

Jika hyperfixation sampai memengaruhi kesehatan fisik, gangguan tidur, atau hubungan sosial, sangat penting untuk mulai mencari bantuan profesional.

Banyak orang mengira bisa mengatasi sendiri, padahal terkadang bantuan ahli psikologi atau konselor sangat membantu untuk membangun pola pikir dan kebiasaan baru. Menurut WHO, konseling dan dukungan sosial sangat efektif untuk mengatasi pola pikir obsesif seperti hyperfixation, terutama jika sudah berdampak pada kesehatan mental dan produktivitas kerja.

Belajar dari Pengalaman Nyata

Bayangkan seorang penulis dengan ADHD yang kerap terjebak berjam-jam mencari referensi tanpa menulis satu paragraf pun. Atau, seorang programmer yang terus menyempurnakan satu fitur aplikasi hingga lupa deadline fitur lain. Pengalaman seperti ini nyata dialami banyak profesional. Kuncinya adalah menyadari kapan fokus berubah menjadi obsesi, dan kapan harus menyeimbangkan energi agar produktivitas tetap terjaga.

Proses belajar menghadapi hyperfixation memang tidak instan. Namun, dengan konsistensi dan dukungan yang tepat, siapa pun bisa mengelola fokus agar tetap sehat dan produktif. Banyak perusahaan kini mulai memberikan ruang untuk diskusi terbuka soal kesehatan mental di tempat kerja, termasuk soal hyperfixation. Ini langkah penting agar stigma seputar gangguan fokus bisa perlahan dipatahkan dan diganti dengan solusi nyata.

Setiap orang punya cara berbeda untuk mengelola fokus. Temukan strategi yang paling cocok dengan gaya kerja dan kebutuhan pribadi. Jika merasa kesulitan, jangan ragu untuk mencari bantuan atau berdiskusi dengan rekan kerja. Dukungan lingkungan sangat berpengaruh dalam membangun kebiasaan kerja yang sehat. Menjaga keseimbangan antara fokus dan fleksibilitas adalah kunci.

Jika kamu merasa mulai terjebak dalam lingkaran hyperfixation, ambil waktu sejenak untuk mengatur ulang prioritas dan rutinitas harianmu. Penting juga untuk mengingatkan diri sendiri bahwa produktivitas bukan berarti bekerja tanpa henti, tapi tentang menemukan ritme yang sehat untuk tubuh dan pikiran.

Sebelum mencoba berbagai tips atau teknik manajemen waktu, akan sangat membantu jika kamu berkonsultasi langsung dengan dokter, psikolog, atau profesional kesehatan yang memahami kebutuhan dan situasi pribadimu. Dengan begitu, solusi yang kamu pilih benar-benar sesuai dan bisa memberikan hasil terbaik untuk keseimbangan hidup serta produktivitas kerja.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0