Intrik Politik Perebutan Kekuasaan Runtuhkan Majapahit Analisis Mendalam Sejarah Jawa

Oleh VOXBLICK

Kamis, 02 Oktober 2025 - 03.50 WIB
Intrik Politik Perebutan Kekuasaan Runtuhkan Majapahit Analisis Mendalam Sejarah Jawa
Intrik politik runtuhkan Majapahit. (Foto oleh cottonbro studio)

VOXBLICK.COM - Dalam lembaran-lembaran kuno sejarah Jawa, terukir kisah kebesaran Majapahit, sebuah imperium yang pernah membentangkan kekuasaannya dari Sumatera hingga Papua, menjadi puncak peradaban Nusantara. Namun, di balik gemerlap kejayaan dan kemegahan istana, tersimpan benih-benih kehancuran yang ditabur oleh tangan-tangan tak terlihat: intrik politik dan perebutan kekuasaan yang tak berkesudahan. Ini bukan sekadar cerita tentang invasi eksternal atau bencana alam, melainkan drama internal yang mengoyak dinasti dari dalam, sebuah pelajaran pahit tentang kerapuhan sebuah kekaisaran yang dibangun di atas fondasi ambisi manusia.

Puncak Kejayaan dan Benih Keruntuhan

Era keemasan Majapahit tak diragukan lagi mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Dengan Sumpah Palapa yang legendaris, Gajah Mada berhasil menyatukan sebagian besar Nusantara di bawah

panji Majapahit, menciptakan sebuah entitas politik dan budaya yang belum pernah ada sebelumnya. Ekonomi berkembang pesat, seni dan sastra mencapai puncaknya, dan Majapahit menjadi pusat perdagangan maritim yang disegani. Namun, justru di tengah kemegahan inilah, bibit-bibit kerentanan mulai tumbuh. Sistem suksesi yang kompleks dan adanya banyak cabang keluarga kerajaan membuka celah bagi perebutan kekuasaan, sebuah skenario yang seringkali menjadi pemicu kehancuran kerajaan-kerajaan besar.

Meskipun Hayam Wuruk dikenal sebagai raja yang cakap dan visioner, kebijakan-kebijakan internalnya, terutama terkait pembagian wilayah kekuasaan kepada kerabat dekat (bhre), tanpa disadari menciptakan kantung-kantung kekuatan yang kelak akan saling

berhadapan. Para bhre ini, yang notabene adalah pangeran atau putri raja, memiliki otonomi yang cukup besar di wilayah masing-masing, lengkap dengan pasukan dan sumber daya sendiri. Ini adalah bom waktu politik yang menunggu pemicu.

Intrik Suksesi Pasca-Hayam Wuruk: Awal Mula Perebutan Kekuasaan

Kematian Hayam Wuruk pada tahun 1389 menjadi titik balik krusial. Kehilangan sosok sentral yang mampu menyeimbangkan berbagai faksi, Majapahit segera terperosok ke dalam krisis suksesi.

Pewaris takhta adalah Wikramawardhana, menantu dan keponakan Hayam Wuruk, yang menikahi Kusumawardhani, putri mahkota. Namun, ada pula Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir, yang juga memiliki klaim kuat atas takhta dan dukungan dari sebagian bangsawan serta wilayah timur Majapahit.

Perebutan kekuasaan ini bukan hanya terjadi di tingkat istana, tetapi juga melibatkan faksi-faksi bangsawan dan daerah yang mendukung salah satu pihak. Para petinggi kerajaan mulai memihak, menciptakan polarisasi yang tajam.

Intrik politik menjadi semakin rumit, di mana aliansi dapat berubah sewaktu-waktu, dan kesetiaan seringkali diuji oleh janji-janji kekuasaan atau ancaman pembalasan. Ketegangan ini terus memuncak, menggerogoti stabilitas internal Majapahit yang selama ini dikenal kokoh.

Perang Paregreg: Puncak Konflik Saudara

Puncak dari intrik suksesi ini adalah pecahnya Perang Paregreg (1404-1406 M), sebuah perang saudara yang dahsyat antara Wikramawardhana di ibu kota (Majapahit Barat) dan Bhre Wirabhumi di Blambangan (Majapahit Timur).

Konflik ini bukan hanya perang perebutan kekuasaan, melainkan juga pertumpahan darah yang melibatkan ribuan prajurit dan rakyat jelata. Selama dua tahun, tanah Jawa Timur menjadi medan pertempuran, menghancurkan infrastruktur, mengganggu perdagangan, dan menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat.

Dampak Perang Paregreg sangat fatal bagi Majapahit. Meskipun Wikramawardhana akhirnya memenangkan perang dan Bhre Wirabhumi tewas, kemenangan itu datang dengan harga yang sangat mahal.

  • Melemahnya Otoritas Pusat: Kekuatan dan wibawa raja Majapahit di mata daerah-daerah taklukan menurun drastis.
  • Fragmentasi Kekuasaan: Banyak wilayah yang sebelumnya setia mulai melihat peluang untuk melepaskan diri atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada pusat.
  • Kerugian Ekonomi: Jalur perdagangan terganggu, pertanian hancur, dan kas kerajaan terkuras habis untuk membiayai perang.
  • Kehilangan Kepercayaan: Rakyat dan bangsawan mulai kehilangan kepercayaan pada kemampuan Majapahit untuk menjaga stabilitas dan kesejahteraan.
Perang Paregreg adalah luka menganga yang tidak pernah sembuh sepenuhnya, membuka jalan bagi kemunduran Majapahit yang tak terhindarkan.

Kemunduran Ekonomi dan Pengaruh Luar

Pasca-Perang Paregreg, Majapahit kesulitan memulihkan diri. Kemunduran ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat keruntuhan.

Jalur perdagangan maritim yang dulu dikuasai Majapahit mulai diambil alih oleh kekuatan-kekuatan baru di pesisir, seperti Kesultanan Malaka dan berbagai pelabuhan di Jawa Utara yang semakin mandiri. Perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan bergeser, mengurangi pemasukan kas kerajaan secara signifikan.

Bersamaan dengan itu, pengaruh agama baru, Islam, mulai menyebar luas di Nusantara, terutama di kota-kota pelabuhan. Para pedagang Muslim tidak hanya membawa komoditas, tetapi juga ajaran agama.

Banyak penguasa lokal dan rakyat jelata yang beralih keyakinan, menciptakan jaringan kekuasaan baru yang tidak lagi terikat pada Majapahit. Kesultanan Demak, yang kelak menjadi kekuatan Islam pertama di Jawa, tumbuh dari sisa-sisa pengaruh Majapahit yang melemah, menawarkan alternatif politik dan spiritual bagi masyarakat.

Fragmentasi Kekuasaan dan Akhir Majapahit

Abad ke-15 Majapahit terus mengalami kemunduran. Setelah Perang Paregreg, masih terjadi serangkaian perebutan kekuasaan dan konflik internal, meskipun tidak sebesar Paregreg.

Istana Majapahit semakin terisolasi, sementara berbagai wilayah di pesisir dan pedalaman semakin independen. Para bangsawan dan penguasa daerah lebih fokus pada kepentingan wilayahnya sendiri daripada pada kesatuan imperium.

Meskipun tanggal pasti keruntuhan Majapahit sering diperdebatkan (tradisi Jawa menyebut tahun 1478 atau 1479 M, sering dikaitkan dengan serangan Demak), sebenarnya keruntuhan itu adalah proses yang panjang dan bertahap.

Majapahit tidak runtuh dalam semalam karena satu serangan, melainkan perlahan-lahan terkikis oleh intrik politik yang tak kunjung usai, perebutan kekuasaan yang melemahkan, dan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah bayangan dari kebesaran masa lalu, sebuah kerajaan yang runtuh bukan karena musuh dari luar, melainkan karena perpecahan dari dalam.

Kisah Majapahit adalah cermin yang memantulkan kompleksitas kekuasaan dan sifat manusia. Dari puncak kejayaan hingga jurang keruntuhan, intrik politik dan perebutan kekuasaan menjadi benang merah yang tak terhindarkan.

Mempelajari sejarah seperti ini bukan hanya tentang menghafal nama dan tanggal, tetapi tentang memahami siklus naik-turunnya peradaban, tentang bagaimana keputusan-keputusan di masa lalu membentuk realitas kita hari ini. Setiap babak sejarah, dengan segala drama dan tragedinya, menawarkan pelajaran berharga tentang kekuatan persatuan dan bahaya perpecahan, mengingatkan kita untuk selalu menghargai perjalanan waktu dan dinamika yang membentuk dunia yang kita tinggali.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0