Kenapa Borobudur Ditinggalkan Selama Ratusan Tahun Misteri Terungkap


Selasa, 09 September 2025 - 00.45 WIB
Kenapa Borobudur Ditinggalkan Selama Ratusan Tahun Misteri Terungkap
Misteri Terlupakannya Candi Borobudur (Foto oleh Darya Dar di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Bayangkan sebuah mahakarya arsitektur yang begitu kolosal, dibangun dari dua juta balok batu vulkanik dan dihiasi ribuan relief naratif, tiba-tiba lenyap dari catatan sejarah selama hampir seribu tahun.

Inilah kisah nyata dari candi Borobudur, sebuah monumen megah yang tersembunyi di bawah lapisan debu vulkanik dan rimbunnya hutan Jawa Tengah. Penemuannya kembali pada tahun 1814 oleh tim yang dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles membuka salah satu misteri Borobudur terbesar dalam arkeologi Indonesia. Bagaimana bisa sebuah pusat spiritual yang menjadi bukti kejayaan Dinasti Sailendra terlupakan begitu saja?

Jawabannya terletak pada dua narasi besar yang saling bersaing, sebuah drama antara amukan alam yang dahsyat dan pergeseran halus dalam keyakinan serta politik kerajaan Mataram Kuno.

Jejak Megah yang Hilang: Kronologi Pembangunan dan Penemuan Kembali Borobudur

Untuk memahami mengapa candi Borobudur ditinggalkan, kita harus kembali ke masa pembuatannya.

Dibangun sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi di bawah kekuasaan Dinasti Sailendra, Borobudur adalah puncak pencapaian arsitektur dan seni Buddha Mahayana. Proyek ini memakan waktu sekitar 75 tahun untuk diselesaikan, melibatkan ribuan pemahat, pekerja, dan seniman. Terletak di Dataran Kedu yang subur, sebuah area yang sering disebut sebagai "taman Jawa", Borobudur menjadi pusat ziarah dan pembelajaran agama Buddha yang vital.

Namun, setelah abad ke-10, nama Borobudur seolah menghilang ditelan bumi. Tidak ada lagi prasasti kerajaan yang menyebutnya, tidak ada catatan perjalanan, seolah-olah eksistensinya sengaja dihapus atau, lebih mungkin, dilupakan secara massal.

Keheningan sejarah ini berlangsung hingga awal abad ke-19. Pada tahun 1814, saat Inggris menguasai Jawa, Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles mendengar laporan dari penduduk setempat tentang adanya sebuah bukit yang dipenuhi bebatuan berukir di dekat desa Bumisegoro. Tertarik oleh cerita tersebut, ia menugaskan seorang insinyur Belanda, H.C. Cornelius, untuk menyelidiki. Apa yang ditemukan Cornelius sangat mencengangkan.

Selama dua bulan, ia dan 200 anak buahnya menebang pohon, membakar semak belukar, dan menggali tanah yang menutupi monumen raksasa. Perlahan, dari balik tanah dan vegetasi, wujud stupa-stupa dan relief candi Borobudur mulai terlihat. Kondisinya rusak parah, sebagian tertutup rapat oleh material yang diduga berasal dari letusan Merapi.

Penemuan ini menjadi awal dari upaya panjang untuk membangkitkan kembali Borobudur dari tidurnya, sebuah proses yang puncaknya adalah restorasi besar-besaran yang dipimpin oleh arkeolog Indonesia, R. Soekmono, dengan bantuan UNESCO pada tahun 1970-an. Upaya restorasi inilah yang memberikan banyak petunjuk baru mengenai sejarah Borobudur dan kemungkinan penyebab keruntuhannya.

Teori #1: Amukan Merapi yang Mengubur Peradaban

Teori yang paling populer dan dramatis mengenai terlupakannya candi Borobudur adalah bencana alam katastrofik. Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di dunia, menjulang gagah tidak jauh dari Borobudur.

Para pendukung teori ini meyakini bahwa sebuah letusan Merapi yang luar biasa dahsyat terjadi sekitar awal abad ke-11, secara spesifik sering dikaitkan dengan tahun 1006 M. Letusan ini tidak hanya menimbun Borobudur dengan abu dan lahar dingin, tetapi juga menghancurkan seluruh Dataran Kedu, jantung agraris dari kerajaan Mataram Kuno.

Bukti Geologis dan Arkeologis

Bukti yang mendukung hipotesis ini cukup kuat. Lapisan abu vulkanik tebal ditemukan di berbagai situs arkeologi di sekitar Borobudur dan Prambanan. Analisis stratigrafi tanah menunjukkan adanya endapan material vulkanik yang signifikan, yang mengindikasikan satu atau beberapa peristiwa letusan besar di masa lalu.

Seorang ahli vulkanologi Belanda, Reinout van Bemmelen, pada pertengahan abad ke-20, adalah salah satu yang paling vokal mendukung teori ini. Ia berpendapat bahwa letusan Merapi telah mengubah lanskap secara drastis, membuat wilayah tersebut tidak layak huni selama beberapa generasi.

Bagi para arkeolog, lapisan abu ini berfungsi sebagai "selimut waktu" yang secara ironis justru mengawetkan relief-relief candi Borobudur dari kerusakan cuaca yang lebih parah selama berabad-abad.

Dampak Letusan Dahsyat

Jika letusan Merapi sebesar yang diperkirakan benar-benar terjadi, dampaknya akan sangat menghancurkan. Aliran piroklastik (awan panas) dan lahar akan menyapu bersih desa-desa, sawah, dan infrastruktur.

Langit akan menjadi gelap selama berhari-hari, meracuni sumber air dan tanah. Bagi masyarakat agraris kerajaan Mataram Kuno, ini adalah kiamat. Kegagalan panen massal, kelaparan, dan wabah penyakit akan menyusul, memaksa sisa populasi yang selamat untuk mengungsi secara besar-besaran. Dalam kondisi seperti ini, merawat monumen sebesar candi Borobudur tentu bukan lagi prioritas.

Pusat spiritual tersebut akan ditinggalkan karena lingkungan sekitarnya telah menjadi zona mati.

Pergeseran Pusat Kekuasaan

Teori letusan Merapi ini juga sejalan dengan fakta sejarah yang tak terbantahkan, yaitu perpindahan pusat kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar tahun 929 M oleh Mpu Sindok.

Meskipun perpindahan ini terjadi beberapa dekade sebelum dugaan letusan besar tahun 1006, banyak sejarawan berpendapat bahwa aktivitas vulkanik Merapi yang meningkat mungkin sudah menjadi faktor pendorong utama. Bencana alam bisa menjadi pemicu terakhir yang meyakinkan para penguasa bahwa Jawa Tengah tidak lagi aman atau cukup stabil untuk menopang sebuah kerajaan besar.

Dengan berpindahnya pusat politik, ekonomi, dan keagamaan ke timur, Jawa Tengah, termasuk candi Borobudur, perlahan-lahan kehilangan relevansinya dan akhirnya terlupakan oleh generasi berikutnya.

Teori #2: Pergeseran Kepercayaan dan Politik yang Memudarkan Borobudur

Meskipun teori bencana alam sangat menarik, ada kelompok sejarawan dan arkeolog lain yang menawarkan penjelasan yang lebih bertahap dan kompleks.

Menurut mereka, terlupakannya candi Borobudur bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal yang dramatis, melainkan proses kemunduran yang lambat akibat pergeseran dinamika politik dan agama di dalam kerajaan Mataram Kuno itu sendiri. Misteri Borobudur dalam pandangan ini lebih bersifat sosiologis daripada geologis.

Dari Buddha ke Hindu: Sinkretisme dan Kompetisi

Sejarah Borobudur tidak dapat dilepaskan dari konteks keagamaan pada masanya. Meskipun Dinasti Sailendra yang membangun Borobudur adalah penganut Buddha Mahayana yang taat, mereka hidup berdampingan dengan dinasti lain yang berkuasa, yaitu Dinasti Sanjaya yang menganut Hindu Siwa.

Pembangunan Candi Prambanan yang masif dan megah, yang didedikasikan untuk Trimurti Hindu, sering dilihat sebagai respons atau tandingan terhadap kemegahan candi Borobudur. Sejarawan seperti J.G. de Casparis berpendapat bahwa terjadi pergeseran patronase kerajaan. Seiring waktu, pengaruh Hindu menjadi lebih dominan di kalangan elit penguasa. Akibatnya, pendanaan, pemeliharaan, dan promosi untuk monumen-monumen Buddha seperti Borobudur mungkin berkurang secara signifikan.

Tanpa dukungan konstan dari kerajaan, sebuah kompleks sebesar Borobudur akan sulit bertahan.

Pusat Ritual yang Terlupakan

Argumen utama dari teori ini adalah kemunduran yang bertahap. Ketika pusat kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur, candi Borobudur secara efektif menjadi terisolasi dari pusat kekuasaan baru. Jarak geografis ini mempersulit ziarah dan upacara keagamaan berskala besar.

Menurut UNESCO, Borobudur dirancang sebagai sebuah mandala tiga dimensi yang memandu peziarah menuju pencerahan. Ketika patronase kerajaan dan komunitas peziarah menyusut, fungsi ritualnya pun memudar. Tanpa aktivitas manusia yang berkelanjutan, alam dengan cepat mengambil alih.

Gulma mulai merayap di antara bebatuan, akar pohon merusak struktur, dan lapisan tanah tipis mulai menumpuk, sebuah proses yang dipercepat oleh hujan abu dari letusan-letusan kecil Merapi yang terjadi secara berkala selama berabad-abad.

Kritik terhadap Teori Letusan Tunggal

Para pendukung teori pergeseran sosial ini juga mengkritik narasi letusan tunggal tahun 1006. Mereka menunjukkan bahwa bukti arkeologis untuk letusan sebesar itu masih bisa diperdebatkan. Lapisan abu yang ditemukan di situs candi Borobudur bisa jadi merupakan akumulasi dari banyak letusan kecil selama rentang waktu yang panjang, bukan dari satu peristiwa apokaliptik.

Selain itu, ada bukti aktivitas manusia di sekitar Borobudur yang terus berlanjut bahkan setelah abad ke-10, meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Ini menunjukkan bahwa area tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan. Oleh karena itu, faktor pendorong utama terlupakannya Borobudur mungkin lebih karena kombinasi isolasi politik, perubahan keyakinan, dan penurunan ekonomi, bukan semata-mata karena amukan letusan Merapi.

Sintesis Dua Teori: Bencana Alam sebagai Katalisator Perubahan Sosial

Pada akhirnya, memisahkan kedua teori ini secara kaku mungkin bukan cara terbaik untuk memecahkan misteri Borobudur. Kebenaran yang paling masuk akal kemungkinan besar terletak pada kombinasi keduanya. Letusan Merapi tidak perlu menjadi satu-satunya penyebab untuk menjadi faktor yang signifikan.

Bayangkan skenario ini: kerajaan Mataram Kuno sudah mengalami pergeseran politik dan keagamaan. Patronase untuk candi Borobudur sudah mulai menurun. Kemudian, serangkaian letusan gunung berapi yang signifikan, meskipun tidak sampai menghancurkan total, terjadi. Bencana alam ini memperburuk kondisi ekonomi, merusak lahan pertanian, dan menciptakan ketidakstabilan.

Dalam situasi seperti itu, bencana alam berfungsi sebagai katalisator yang mempercepat proses yang sudah berjalan. Bagi para penguasa, ini menjadi pembenaran terakhir untuk memindahkan ibu kota ke tempat yang lebih aman dan strategis secara ekonomi di Jawa Timur. Bagi rakyat biasa, area di sekitar Merapi menjadi tempat yang menakutkan dan sulit untuk bertahan hidup.

Kombinasi dari tekanan ekologis dan pergeseran sosiopolitik menciptakan badai sempurna yang akhirnya menelan candi Borobudur dari ingatan kolektif. Ia tidak lenyap dalam semalam, melainkan memudar secara perlahan, ditelan oleh hutan dan dilupakan oleh waktu, hingga akhirnya ditemukan kembali sebagai teka-teki raksasa bagi dunia modern. Sejarah Borobudur adalah cerminan kompleksitas interaksi antara manusia dan alam.

Kisah terlupakannya Borobudur mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga tentang kefanaan. Bahkan mahakarya terbesar sekalipun, yang dibangun dengan visi dan pengorbanan luar biasa, dapat takluk pada kekuatan alam dan perubahan zaman. Namun, penemuan dan pemugaran kembalinya juga membawa pesan harapan yang kuat.

Ia menunjukkan ketangguhan warisan budaya dan keinginan tak terbatas manusia untuk terhubung kembali dengan masa lalunya, untuk belajar dari kebijaksanaan dan kesalahan para pendahulu.

Melihat kemegahan Borobudur hari ini adalah pengingat bahwa sejarah bukanlah sekadar catatan tentang apa yang telah hilang, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan kita dengan perjalanan panjang peradaban, menginspirasi kita untuk menjaga warisan yang ada untuk generasi yang akan datang. Perjalanan waktu terus berjalan, namun jejak-jejak agung seperti Borobudur akan selalu menemukan cara untuk berbicara kepada kita.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0