Lelah Merasa Tertinggal? Ini 5 Cara Praktis Menemukan JOMO dan Kebahagiaan Slow Living

VOXBLICK.COM - Pernahkah kamu merasa cemas setelah melihat unggahan liburan teman di media sosial, padahal kamu sedang bersantai di rumah? Atau merasa wajib ikut setiap tren dan acara agar tidak dicap 'ketinggalan'?
Selamat, kamu sedang terjebak dalam pusaran FOMO (Fear of Missing Out). Perasaan takut tertinggal ini adalah produk sampingan yang melelahkan dari era digital yang serba terhubung. Kita terus-menerus dibombardir dengan gambaran kehidupan 'sempurna' orang lain, yang tanpa sadar menciptakan tekanan untuk terus aktif dan terlihat bahagia.
Namun, ada sebuah penawar yang kuat untuk racun digital ini: JOMO, atau Joy of Missing Out. Ini bukan sekadar tren, melainkan sebuah pergeseran pola pikir menuju kebahagiaan yang lebih otentik. Memeluk JOMO berarti menemukan kegembiraan dalam pilihan kita sendiri, bukan karena tekanan dari luar.
Ini adalah inti dari prinsip slow living, sebuah filosofi yang mengajak kita untuk melambat, hidup dengan lebih sadar, dan menghargai setiap momen.
Di tengah laju era digital yang tak terkendali, menemukan JOMO bisa menjadi kunci utama untuk menjaga kesehatan mental dan meraih kebahagiaan yang sesungguhnya.
5 Langkah Praktis Merayakan JOMO dan Memulai Gaya Hidup Slow Living
Mengadopsi JOMO dan slow living bukanlah tentang meninggalkan semua teknologi atau menjadi anti-sosial.
Sebaliknya, ini adalah tentang menjadi lebih selektif dan intensional dengan waktu serta energi kita. Ini adalah perjalanan untuk kembali menemukan apa yang benar-benar penting bagi dirimu, jauh dari kebisingan dan ekspektasi dunia maya.
Berikut adalah lima langkah praktis yang bisa kamu mulai hari ini untuk menukar kecemasan FOMO dengan kebahagiaan JOMO.
1. Kurasi Ulang Dunia Digitalmu Secara Sadar
Langkah pertama untuk menemukan JOMO adalah dengan mengambil alih kendali atas lingkungan digitalmu. Media sosial adalah alat yang luar biasa untuk terhubung, tetapi sering kali menjadi sumber utama FOMO. Mulailah dengan melakukan 'audit' digital.
Buka daftar akun yang kamu ikuti dan tanyakan pada diri sendiri: "Apakah konten ini memberikan nilai positif, inspirasi, atau malah membuatku merasa tidak cukup?" Jangan ragu untuk menekan tombol 'unfollow' atau 'mute' pada akun-akun yang memicu perasaan negatif atau iri. Ingat, feed media sosialmu adalah taman digitalmu; kamu berhak menanam apa yang ingin kamu lihat tumbuh.
Gaya hidup minimalis digital ini bukan tentang memusuhi teknologi, melainkan memanfaatkannya dengan bijak. Atur batas waktu penggunaan aplikasi di ponselmu. Banyak ponsel pintar modern memiliki fitur yang memungkinkanmu melihat berapa lama kamu menghabiskan waktu di setiap aplikasi dan menetapkan batas harian.
Ketika kamu dengan sengaja mengurangi paparan terhadap pemicu FOMO, kamu menciptakan ruang mental untuk fokus pada kehidupan nyata di depanmu, sebuah langkah fundamental dalam perjalanan menuju slow living dan peningkatan kesehatan mental.
2. Rangkul Kekosongan: Jadwalkan Waktu untuk 'Tidak Melakukan Apa-apa'
Di era digital yang mengagungkan produktivitas, gagasan untuk 'tidak melakukan apa-apa' terdengar seperti sebuah kemewahan atau bahkan kemalasan.
Padahal, ini adalah salah satu pilar utama dari slow living dan JOMO. Kita telah terkondisi untuk mengisi setiap detik kosong dengan aktivitas, entah itu mengecek email, scrolling media sosial, atau mendengarkan podcast. Psikolog asal Denmark, Svend Brinkmann, dalam bukunya "Stand Firm", mengkritik budaya percepatan dan obsesi terhadap pengembangan diri yang tak ada habisnya.
Ia menganjurkan untuk belajar 'berdiri teguh' dan menerima keadaan. Coba jadwalkan waktu dalam agendamu mungkin 15-30 menit setiap hari yang secara khusus diberi label 'waktu kosong'. Selama waktu ini, izinkan dirimu untuk hanya 'ada'. Kamu bisa duduk diam menatap ke luar jendela, mendengarkan suara di sekitarmu, atau sekadar membiarkan pikiranmu mengembara tanpa tujuan.
Praktik ini membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan melatih otak untuk tidak selalu membutuhkan stimulasi eksternal. Menemukan kebahagiaan dalam kesendirian yang tenang adalah esensi sejati dari Joy of Missing Out.
Kamu akan sadar bahwa momen paling berharga sering kali ditemukan bukan dalam keramaian, tetapi dalam keheningan yang kamu ciptakan sendiri.
3. Kembali ke Akar: Terhubung dengan Dunia Nyata
JOMO berkembang subur saat kita memupuk koneksi yang nyata dan otentik dengan dunia di sekitar kita. Era digital sering kali membuat kita merasa terhubung secara global tetapi terasing secara lokal.
Lawan ini dengan secara aktif terlibat dalam aktivitas yang tidak melibatkan layar. Mulailah hobi yang menggunakan tanganmu, seperti berkebun, melukis, merajut, atau memasak dari awal. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya memuaskan tetapi juga merupakan bentuk meditasi aktif yang membantumu tetap berada di saat ini (mindfulness). Habiskan lebih banyak waktu di alam.
Berjalan kaki di taman, mendaki bukit terdekat, atau sekadar duduk di bawah pohon dapat memberikan dampak luar biasa pada kesehatan mental. Studi menunjukkan bahwa menghabiskan waktu di alam dapat menurunkan tingkat kortisol (hormon stres) dan meningkatkan perasaan tenang. Ini adalah cara menerapkan slow living yang paling mudah. Terlibatlah dengan komunitas lokalmu.
Kunjungi pasar petani, bergabunglah dengan klub buku, atau menjadi sukarelawan untuk tujuan yang kamu pedulikan. Koneksi manusia yang tulus memberikan kepuasan yang tidak akan pernah bisa ditandingi oleh 'like' atau 'comment' di media sosial. Inilah inti dari kebahagiaan yang dicari melalui JOMO.
4. Temukan Kekuatan Ajaib dari Kata 'Tidak'
Salah satu penyebab utama FOMO adalah ketidakmampuan kita untuk mengatakan 'tidak'.
Kita takut mengecewakan orang lain, takut kehilangan kesempatan, atau takut dicap tidak asyik. Akibatnya, kita sering kali memenuhi jadwal kita dengan komitmen yang sebenarnya tidak kita nikmati, yang hanya menguras energi dan menjauhkan kita dari apa yang benar-benar kita inginkan. Mempraktikkan JOMO berarti belajar menetapkan batasan yang sehat.
Mengatakan 'tidak' pada undangan atau permintaan yang tidak sejalan dengan prioritas atau nilaimu adalah tindakan radikal dari kepedulian diri. Setiap kali kamu mengatakan 'tidak' pada sesuatu yang tidak penting, kamu sebenarnya mengatakan 'ya' pada dirimu sendiri 'ya' untuk istirahat, 'ya' untuk hobimu, 'ya' untuk waktu berkualitas dengan orang yang kamu cintai.
Memang awalnya mungkin terasa sulit atau tidak nyaman, tetapi seiring waktu, kamu akan menyadari bahwa orang-orang akan menghargai kejujuranmu. Menjadi intensional dengan waktumu adalah ciri khas dari gaya hidup minimalis dan slow living.
Kamu akan menemukan kebahagiaan bukan dari seberapa banyak acaramu, tetapi dari seberapa bermakna setiap acara yang kamu pilih untuk hadiri.
5. Latih Otot Syukur Setiap Hari untuk Menggeser Fokus
FOMO berakar pada pola pikir kekurangan; ia membuat kita fokus pada apa yang tidak kita miliki atau apa yang tidak kita lakukan.
Cara paling efektif untuk melawannya adalah dengan secara aktif melatih rasa syukur. Syukur menggeser perspektif kita dari apa yang kita lewatkan menjadi apa yang sudah kita miliki. Ini adalah praktik JOMO yang paling transformatif. Mulailah jurnal syukur. Setiap malam sebelum tidur, tuliskan tiga hingga lima hal yang kamu syukuri hari itu.
Hal ini bisa berupa hal-hal besar seperti promosi di tempat kerja, atau hal-hal kecil seperti secangkir kopi yang nikmat atau percakapan hangat dengan seorang teman. Praktik sederhana ini telah terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental. Seperti yang dijelaskan dalam banyak studi psikologi, termasuk oleh peneliti seperti Robert A.
Emmons, rasa syukur membantu mengurangi emosi negatif seperti iri dan penyesalan. Saat kamu mulai secara konsisten mengakui kebaikan dalam hidupmu, keinginan untuk membandingkan diri dengan kehidupan orang lain di era digital ini secara alami akan berkurang.
Kamu akan mulai merasakan Joy of Missing Out karena kamu terlalu sibuk menikmati dan mensyukuri kehidupan indah yang sudah ada di hadapanmu.
JOMO Bukan Isolasi, Melainkan Koneksi yang Disengaja
Penting untuk meluruskan kesalahpahaman umum: merangkul JOMO dan slow living tidak berarti kamu harus menjadi seorang pertapa atau anti-sosial. Ini bukan tentang mengisolasi diri dari dunia.
Sebaliknya, ini adalah tentang memilih koneksi yang lebih dalam dan lebih bermakna. Daripada menghadiri lima pesta dalam seminggu dan merasa lelah, JOMO mendorongmu untuk memilih satu pertemuan makan malam yang intim di mana kamu bisa benar-benar terhubung dengan teman-temanmu.
Daripada memiliki seribu teman online yang dangkal, slow living mengajarimu untuk memelihara segelintir persahabatan di dunia nyata yang benar-benar mendukung kesehatan mental kamu. Konsep ini dijelaskan dengan baik dalam artikel Psychology Today tentang JOMO, yang menyoroti pergeseran dari kuantitas ke kualitas dalam interaksi sosial. Ini adalah tentang menukar validasi eksternal dengan kepuasan internal.
Saat kamu tidak lagi merasa perlu untuk 'tampil' di setiap acara, kamu membebaskan dirimu untuk hadir sepenuhnya di momen-momen yang benar-benar kamu pilih. Inilah bentuk kebahagiaan tertinggi di era digital: kebebasan untuk memilih di mana dan dengan siapa kamu membagikan energimu yang berharga.
Perjalanan dari FOMO ke JOMO adalah sebuah maraton, bukan sprint.
Akan ada hari-hari di mana kamu kembali terjebak dalam godaan scrolling tanpa akhir, dan itu tidak apa-apa. Kuncinya adalah kesadaran dan niat untuk terus kembali ke jalur slow living.
Setiap kali kamu memilih untuk meletakkan ponselmu dan membaca buku, setiap kali kamu menolak undangan untuk menikmati malam yang tenang di rumah, kamu sedang membangun fondasi untuk kehidupan yang lebih damai dan memuaskan. Informasi dan tips yang disajikan di sini bersifat inspirasional untuk membantumu dalam perjalanan ini.
Namun, jika kamu merasa kecemasan akibat tekanan sosial atau penggunaan media sosial sudah sangat mengganggu, jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental. Mereka dapat memberikan dukungan dan strategi yang lebih personal. Pada akhirnya, menemukan JOMO adalah tentang menulis ulang naskah kebahagiaanmu sendiri, di mana kamu adalah sutradara utamanya, bukan algoritma media sosial.
Ini tentang menyadari bahwa kegembiraan sejati tidak ditemukan di luar sana, di tempat yang tidak kamu datangi, tetapi di sini, saat ini, dalam kehidupan yang sedang kamu jalani dengan penuh kesadaran.
Apa Reaksi Anda?






