Pajak Crypto Indonesia Bikin Pusing Investor Bisa Kabur ke Luar Negeri

VOXBLICK.COM - Pemerintah Indonesia secara resmi mengenakan pajak untuk setiap transaksi aset kripto, sebuah langkah yang langsung memicu perdebatan panas di kalangan investor dan pelaku industri. Aturan yang berlaku membebankan dua jenis pajak sekaligus, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Kebijakan ini membuat total potongan untuk setiap transaksi jual beli menjadi signifikan, memunculkan kekhawatiran bahwa iklim investasi aset kripto di tanah air bisa menjadi kurang menarik. Banyak yang merasa aturan pajak crypto ini memberatkan, terutama jika dibandingkan dengan instrumen investasi lain seperti saham yang pajaknya jauh lebih ringan. Akibatnya, muncul pertanyaan besar, apakah regulasi ini akan mendorong pertumbuhan atau justru membuat investor lokal mencari alternatif lain di luar negeri.
Kenapa Pajak Crypto Indonesia Dianggap Beban Ganda?
Isu utama yang menjadi sorotan adalah penerapan pajak ganda. Aset kripto di Indonesia, menurut regulasi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), dikategorikan sebagai komoditas.
Sebagai komoditas, maka wajar jika dikenakan PPN. Namun, di saat yang sama, transaksi atas aset tersebut juga dianggap sebagai sumber penghasilan sehingga dikenakan PPh Pasal 22. Inilah yang disebut sebagai beban ganda. Investor merasa seperti dikenai dua jenis pungutan untuk satu aktivitas yang sama. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita bandingkan dengan pajak saham. Transaksi penjualan saham di bursa efek hanya dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai transaksi. Tidak ada PPN yang dikenakan pada transaksi saham. Perbedaan perlakuan ini membuat komunitas investor kripto merasa tidak ada keadilan. Mereka berargumen, jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi digital, seharusnya insentif yang diberikan setara, bukan malah menciptakan disinsentif melalui beban pajak crypto yang lebih tinggi. Menurut Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO), pengenaan PPN pada aset kripto kurang tepat. Mereka memandang aset kripto lebih mirip dengan aset keuangan atau sekuritas, bukan barang kena pajak yang dikonsumsi seperti barang pada umumnya. Logikanya, Anda tidak mengonsumsi Bitcoin seperti Anda meminum secangkir kopi. Anda memperdagangkannya untuk mendapatkan keuntungan modal. Oleh karena itu, pengenaan PPN dianggap tidak sesuai dengan sifat dasar aset kripto sebagai instrumen investasi. Keluhan ini menjadi dasar utama mengapa industri terus menyuarakan revisi terhadap aturan regulasi kripto yang ada saat ini.
Rincian Aturan Pajak Crypto yang Perlu Kamu Tahu
Aturan main mengenai pajak crypto di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022. Memahami detail aturan ini sangat penting bagi siapa saja yang bertransaksi aset kripto.
Aturan ini dirancang agar pemungutan pajak dilakukan secara langsung oleh penyelenggara perdagangan, dalam hal ini adalah platform exchange yang terdaftar. Berikut adalah poin-poin penting dari PMK 68/2022 yang perlu kamu catat:
- Objek Pajak: Setiap transaksi penjualan maupun pembelian aset kripto melalui platform exchange. Ini mencakup transaksi crypto-to-fiat (misalnya, Bitcoin ke Rupiah) dan crypto-to-crypto (misalnya, Bitcoin ke Ethereum).
- Jenis Pajak dan Tarif: Ada dua jenis pajak yang berlaku:
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN Kripto): Tarifnya adalah 0,11% dari nilai transaksi jika exchange tersebut terdaftar secara resmi di BAPPEBTI. Jika exchange tidak terdaftar, tarifnya menjadi dua kali lipat, yaitu 0,22%.
- Pajak Penghasilan (PPh Kripto) Pasal 22: Tarifnya adalah 0,1% dari nilai transaksi untuk exchange yang terdaftar di BAPPEBTI. Sama seperti PPN, tarifnya naik menjadi 0,2% jika exchange tidak terdaftar.
- Total Beban Pajak: Jadi, jika Anda bertransaksi di exchange yang legal dan terdaftar, total pajak yang dipotong untuk setiap transaksi adalah 0,21% (0,11% PPN + 0,1% PPh). Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi bagi day trader atau scalper yang melakukan puluhan hingga ratusan transaksi dalam sehari, akumulasinya menjadi sangat signifikan dan bisa menggerus keuntungan.
- Sifat Pajak: Pajak ini bersifat final. Artinya, pajak yang sudah dipotong oleh exchange dianggap lunas dan tidak perlu Anda hitung ulang atau gabungkan dengan penghasilan lain saat mengisi SPT Tahunan. Namun, Anda tetap wajib melaporkan kepemilikan dan transaksi aset kripto Anda di dalam laporan SPT sebagai bagian dari harta.
- Siapa yang Memungut?: Kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak ini ada pada Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE), yaitu platform exchange tempat Anda bertransaksi. Ini memudahkan investor karena tidak perlu repot menyetor pajak sendiri.
Skema ini dirancang untuk kepastian hukum dan kemudahan administrasi. Namun, dari sisi investor, tarif gabungan 0,21% inilah yang menjadi sumber utama kontroversi regulasi kripto di Indonesia.
Dampaknya Buat Investor dan Industri Kripto Lokal
Setiap kebijakan pasti memiliki dampak, dan aturan pajak crypto ini tidak terkecuali. Dampaknya terasa di dua sisi, baik bagi para investor kripto individu maupun bagi ekosistem industri aset kripto secara keseluruhan di Indonesia.
Bagi Investor
Efek paling langsung bagi investor adalah berkurangnya potensi keuntungan. Bagi investor jangka panjang (hodler), dampaknya mungkin tidak terlalu terasa.
Namun, bagi trader aktif, potongan 0,21% pada setiap transaksi jual dan beli sangatlah signifikan. Ini bisa membuat strategi trading yang mengandalkan profit tipis menjadi tidak lagi relevan atau menguntungkan. Kekhawatiran terbesar adalah potensi pergeseran perilaku investor. Dengan adanya pajak yang cukup tinggi di platform domestik yang legal, ada risiko investor, terutama yang bervolume besar, akan beralih ke platform exchange global yang tidak terdaftar di Indonesia. Meskipun langkah ini ilegal dan sangat berisiko tinggi karena tidak ada perlindungan hukum dari BAPPEBTI, iming-iming transaksi bebas pajak bisa sangat menggoda. Jika ini terjadi, tujuan pemerintah untuk melindungi investor dan mendapatkan penerimaan pajak justru tidak akan tercapai. Investor menjadi rentan terhadap penipuan atau peretasan di platform luar, dan negara kehilangan potensi pendapatan dari PPh kripto dan PPN kripto.
Bagi Industri Lokal
Platform exchange lokal berada di posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka harus patuh pada regulasi kripto pemerintah untuk menjaga legalitas operasi.
Di sisi lain, mereka harus bersaing dengan platform global yang tidak memiliki beban kewajiban pajak yang sama. Ini menciptakan medan persaingan yang tidak seimbang. Volume transaksi di exchange lokal berpotensi menurun jika banyak penggunanya yang kabur. Penurunan volume tidak hanya berdampak pada pendapatan exchange, tetapi juga bisa menghambat likuiditas pasar, yang pada akhirnya merugikan semua pengguna. CEO Indodax, Oscar Darmawan, adalah salah satu figur industri yang vokal menyuarakan hal ini. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan bahwa industri tidak anti-pajak, tetapi menginginkan skema pajak crypto yang adil dan kompetitif. Usulan utamanya adalah menyamakan perlakuan pajak aset kripto dengan saham, yaitu hanya PPh Final 0,1% dan menghapuskan PPN. Menurutnya, tarif yang lebih rendah justru akan mendorong lebih banyak investor untuk bertransaksi di platform legal, sehingga volume meningkat drastis dan total penerimaan pajak bagi negara pada akhirnya bisa lebih besar.
Suara dari Regulator vs. Pelaku Industri
Perdebatan mengenai pajak crypto ini pada dasarnya adalah tarik-ulur antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu pemerintah sebagai regulator dan pelaku industri beserta investor.
Perspektif Pemerintah
Dari kacamata pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, pasar aset kripto adalah sumber penerimaan negara yang sangat potensial. Pertumbuhan jumlah investor kripto di Indonesia yang sangat pesat, yang sempat dilaporkan oleh BAPPEBTI mencapai lebih dari 18 juta orang, menunjukkan adanya aktivitas ekonomi bernilai triliunan Rupiah. DJP melihat ini sebagai basis pajak baru yang harus dioptimalkan. Menurut data resmi dari DJP, penerimaan dari pajak kripto (PPh 22 dan PPN dalam negeri) telah menyumbang ratusan miliar Rupiah setiap tahunnya. Angka ini menjadi justifikasi bagi pemerintah untuk mempertahankan skema pajak yang ada. Argumen lain adalah bahwa aset kripto dianggap sebagai instrumen berisiko tinggi dengan potensi keuntungan modal (capital gain) yang sangat besar. Oleh karena itu, dianggap wajar jika pajaknya lebih tinggi dibandingkan instrumen yang lebih stabil. Pemerintah juga ingin memastikan adanya keadilan, di mana setiap keuntungan ekonomi yang timbul di wilayah Indonesia harus memberikan kontribusi kepada negara.
Perspektif Pelaku Industri
Di sisi lain, pelaku industri yang diwakili oleh ASPAKRINDO dan para pemimpin exchange lokal memiliki pandangan yang berbeda. Mereka khawatir bahwa kebijakan pajak crypto yang memberatkan ini bersifat kontraproduktif. Seperti yang telah dibahas, kebijakan ini bisa membunuh daya saing industri lokal dan mendorong aktivitas ekonomi ke luar negeri, ke ranah yang tidak bisa dijangkau oleh hukum dan pajak Indonesia. Seperti yang diliput oleh media finansial terkemuka, para pengusaha kripto secara terbuka memprotes tarif yang dianggap ketinggian. Mereka berpendapat bahwa pemerintah seharusnya melihat industri aset kripto sebagai sektor yang perlu dibina dan dikembangkan, bukan hanya sebagai sapi perah pajak. Dengan memberikan insentif pajak yang wajar, ekosistem akan tumbuh sehat, inovasi akan berkembang, dan pada akhirnya, kontribusi kepada ekonomi nasional secara keseluruhan akan jauh lebih besar daripada sekadar penerimaan PPh kripto dan PPN kripto dalam jangka pendek.
Bagaimana Nasib Pajak Crypto di Masa Depan?
Perdebatan ini kemungkinan besar tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Namun, ada secercah harapan untuk perubahan.
Salah satu momentum penting adalah rencana transisi pengawasan aset kripto dan derivatif keuangan dari BAPPEBTI ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dijadwalkan selesai pada awal tahun 2025. Transisi ini diharapkan dapat membawa angin segar bagi regulasi kripto di Indonesia. Dengan masuknya OJK, diharapkan regulasi aset kripto akan lebih terintegrasi dengan sektor jasa keuangan lainnya. OJK memiliki pengalaman panjang dalam mengatur instrumen investasi seperti saham dan reksa dana. Ada harapan bahwa OJK akan meninjau ulang klasifikasi aset kripto dan skema pajaknya agar lebih selaras dengan produk keuangan lain. Ini bisa membuka pintu untuk negosiasi ulang mengenai penghapusan PPN kripto dan penyesuaian tarif PPh kripto. Dialog antara pemerintah dan pelaku industri terus berjalan di belakang layar. Industri terus melobi dan memberikan data untuk menunjukkan dampak negatif dari kebijakan saat ini serta potensi positif jika kebijakan direvisi. Keberhasilan lobi ini akan sangat menentukan arah masa depan industri aset kripto di Indonesia. Bagi Anda sebagai investor, sangat penting untuk terus mengikuti perkembangan ini. Peraturan di dunia digital dapat berubah dengan cepat. Selalu pastikan Anda mendapatkan informasi dari sumber yang kredibel seperti situs resmi DJP, OJK, atau BAPPEBTI. Perlu diingat bahwa informasi dalam artikel ini mencerminkan situasi pada saat penulisan dan bukan merupakan nasihat pajak. Untuk urusan perpajakan pribadi, berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional adalah langkah yang paling bijaksana. Kisah tentang pajak crypto di Indonesia adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak negara di dunia, yaitu bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan untuk mengatur dan memajaki inovasi baru dengan keinginan untuk tidak membunuh inovasi itu sendiri. Jalan tengah harus ditemukan agar Indonesia tidak kehilangan potensi besar dari ekonomi digital berbasis blockchain. Nasib jutaan investor kripto dan masa depan industri ini sangat bergantung pada kebijakan yang akan diambil oleh regulator dalam beberapa waktu ke depan. Apakah pemerintah akan mempertahankan status quo atau mendengarkan masukan industri, hanya waktu yang akan menjawabnya.
Apa Reaksi Anda?






