Pakar Nobel Peringatkan Stablecoin Bisa Picu Krisis Keuangan Berikutnya

VOXBLICK.COM - Di tengah hiruk pikuk dunia digital, mungkin kamu sering mendengar istilah stablecoin sebagai ‘pelabuhan aman’ di lautan pasar kripto yang bergejolak. Aset ini menjanjikan stabilitas dengan mematok nilainya pada mata uang fiat seperti Dolar AS.
Namun, di balik citranya yang aman, seorang pakar ekonomi pemenang Nobel justru melihat potensi badai besar yang bisa mengguncang stabilitas keuangan global. Jean Tirole, peraih Nobel Ekonomi 2014, secara terbuka menyatakan kekhawatirannya yang mendalam, menyebut bahwa kurangnya pengawasan pada industri stablecoin bisa menjadi bibit dari sebuah krisis keuangan baru.
Peringatan ini bukan sekadar angin lalu, melainkan sebuah sinyal penting bagi siapa saja yang terlibat dalam investasi aset digital, terutama bagi generasi muda yang semakin akrab dengan ekonomi digital.
Apa Itu Stablecoin dan Kenapa Kamu Harus Peduli?
Sebelum kita menyelam lebih dalam ke peringatan sang pakar, mari kita samakan persepsi.
Anggap saja stablecoin adalah jembatan antara dunia keuangan tradisional dan dunia kripto yang serba cepat. Jika Bitcoin atau Ethereum nilainya bisa naik turun secara drastis dalam hitungan jam, stablecoin dirancang untuk menjaga nilai tetap 1:1 dengan aset acuan, paling umum adalah Dolar AS.
Jadi, 1 USDC (USD Coin) atau 1 USDT (Tether) idealnya akan selalu bernilai setara dengan 1 Dolar AS. Kenapa ini menarik?
Bagi para trader dan investor, stablecoin menawarkan beberapa keuntungan:
- Stabilitas Nilai: Kamu bisa ‘mengamankan’ keuntungan dari aset kripto yang volatil ke dalam stablecoin tanpa harus keluar dari ekosistem kripto dan kembali ke mata uang fiat, yang prosesnya bisa lebih lambat dan mahal.
- Kecepatan Transaksi: Mengirim uang lintas negara menggunakan stablecoin bisa jauh lebih cepat dan murah dibandingkan transfer bank konvensional.
- Akses ke Keuangan Terdesentralisasi (DeFi): Stablecoin adalah tulang punggung DeFi.
Kamu bisa meminjamkannya untuk mendapatkan bunga (yield) yang seringkali jauh lebih tinggi daripada deposito bank tradisional.
Popularitasnya pun meroket. Laporan dari Goldman Sachs bahkan menyebut industri ini berada di awal “demam emas stablecoin” yang berpotensi tumbuh dari ratusan miliar menjadi triliunan dolar. Inilah yang membuat investasi aset digital ini tampak begitu menggiurkan. Namun, di sinilah letak masalahnya.
Semakin besar sebuah industri, semakin besar pula dampak sistemiknya jika terjadi kegagalan. Dan kegagalan inilah yang menjadi fokus utama dari peringatan tentang potensi krisis keuangan.
Peringatan Keras dari Pemenang Nobel: Risiko Krisis Keuangan Mengintai
Jean Tirole, seorang profesor di Toulouse School of Economics, bukanlah nama sembarangan. Penghargaan Nobel yang diraihnya adalah pengakuan atas analisisnya tentang kekuatan pasar dan regulasi.
Dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, ia mengaku “sangat, sangat khawatir” dengan “pengawasan yang tidak memadai” di sektor stablecoin. Kekhawatirannya bukan tanpa dasar. Ia menyoroti beberapa titik kritis yang bisa menjadi pemicu bencana. Menurut Tirole, bahaya terbesar adalah jika para investor ritel menganggap stablecoin sebagai “simpanan yang sangat aman,” setara dengan rekening bank.
Padahal, di balik layar, mekanismenya jauh lebih kompleks dan penuh risiko investasi. Ia memperingatkan bahwa jika salah satu penerbit stablecoin besar runtuh, pemerintah mungkin akan berada di bawah tekanan besar untuk melakukan “bailout miliaran dolar” untuk menyelamatkan para deposan agar tidak kehilangan uang mereka.
Ini mirip dengan krisis perbankan, namun terjadi di dunia digital yang regulasi kripto-nya masih belum matang. Salah satu sumber risiko utama, menurut Tirole, terletak pada aset yang menyokong stablecoin tersebut. Idealnya, stablecoin yang dipatok ke dolar harus didukung 1:1 oleh dolar tunai atau aset yang sangat likuid dan aman seperti surat utang pemerintah AS (US Treasury bills).
Namun, imbal hasil dari surat utang ini relatif rendah. Tirole menunjukkan bahwa ada kalanya imbal hasil obligasi pemerintah AS bahkan negatif selama beberapa tahun, yang berarti setelah inflasi, nilainya justru menurun.
Kondisi ini menciptakan godaan besar bagi penerbit stablecoin untuk mencari keuntungan lebih tinggi di tempat lain.
Di Balik Janji Stabilitas: Bagaimana Stablecoin Bisa Gagal?
Janji stabilitas 1:1 adalah kontrak suci antara penerbit stablecoin dan penggunanya.
Namun, kontrak ini bisa pecah karena beberapa alasan, yang semuanya bermuara pada hilangnya kepercayaan dan memicu krisis keuangan skala mikro maupun makro.
Godaan Investasi Berisiko Tinggi
Ini adalah inti dari argumen Tirole.
Untuk menghasilkan keuntungan dan menutupi biaya operasional, penerbit stablecoin bisa “tergoda untuk berinvestasi pada aset lain yang memberikan imbal hasil lebih tinggi namun lebih berisiko.” Apa saja aset berisiko ini? Bisa berupa obligasi korporasi dengan peringkat lebih rendah, pinjaman komersial, atau bahkan aset kripto lainnya. Ketika cadangan tidak lagi 100% terdiri dari aset super aman, fondasi stabilitasnya mulai retak.
Jika aset-aset berisiko ini mengalami penurunan nilai, maka nilai total cadangan bisa jatuh di bawah jumlah stablecoin yang beredar. Saat itulah, janji 1:1 tidak lagi bisa dipenuhi.
Risiko "Bank Run" Versi Digital
Jika publik mulai meragukan kesehatan cadangan sebuah penerbit stablecoin, kepanikan bisa terjadi. Para pemegang token akan berbondong-bondong mencoba menukarkan stablecoin mereka kembali ke dolar AS secara bersamaan.
Fenomena ini dikenal sebagai ‘run’ atau penarikan massal. Jika penerbit tidak memiliki cukup aset likuid (uang tunai atau setara kas) untuk memenuhi semua permintaan penukaran, mereka akan terpaksa menjual aset cadangan lainnya, mungkin dengan harga rugi. Ini akan memperburuk situasi, memicu lebih banyak kepanikan, dan pada akhirnya menyebabkan keruntuhan total.
Kita sudah melihat contoh nyata dari krisis kepercayaan ini pada kasus stablecoin algoritmik TerraUSD (UST) yang kolaps dan menghapus puluhan miliar dolar dari pasar, sebuah pelajaran pahit tentang betapa rapuhnya ekosistem investasi aset digital.
Regulasi Kripto yang Masih Abu-abu
Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa regulasi kripto global masih dalam tahap pengembangan.
Di Amerika Serikat, ada upaya seperti Guiding and Establishing National Innovation for U.S. Stablecoins (GENIUS) Act yang mencoba menetapkan aturan main, seperti mewajibkan cadangan 1:1 dengan dolar atau surat utang pemerintah. Namun, Tirole skeptis. Ia memperingatkan bahwa efektivitas pengawasan sangat bergantung pada sumber daya dan insentif para regulator untuk bertindak hati-hati.
Ia menyebut adanya “kepentingan pribadi dan politik” dari beberapa anggota pemerintahan yang bisa menghambat penerapan regulasi kripto yang ketat dan efektif. Tanpa pengawasan yang kuat dan transparan, pengguna pada dasarnya hanya bisa percaya pada klaim penerbit, tanpa ada verifikasi independen yang memadai.
Ini adalah risiko investasi yang sangat besar.
Pandangan Berbeda: Apakah Kekhawatiran Ini Berlebihan?
Tentu saja, tidak semua orang sepesimis Jean Tirole. Ada pandangan lain di pasar yang melihat stablecoin sebagai inovasi penting dalam ekonomi digital.
Scott Bessent, yang dilaporkan menjadi Sekretaris Keuangan AS, justru melihat industri kripto sebagai calon pembeli utama surat utang pemerintah AS di masa depan. Logikanya, seiring pertumbuhan pasar stablecoin, para penerbit akan membutuhkan lebih banyak aset aman untuk dijadikan cadangan, dan surat utang AS adalah pilihan utama. Ini akan menciptakan sumber permintaan baru yang stabil untuk utang pemerintah AS.
Bessent bahkan dilaporkan telah menghubungi penerbit besar seperti Circle dan Tether untuk mendapatkan informasi, sebuah sinyal bahwa Departemen Keuangan AS melihat potensi sinergi. Ia berpendapat bahwa kerangka regulasi kripto seperti GENIUS Act sudah cukup untuk memberikan kejelasan yang dibutuhkan industri ini untuk tumbuh menjadi pasar triliunan dolar. Namun, pandangan optimis ini pun mendapat sanggahan.
Paul Donovan, Kepala Ekonom Global di UBS, berpendapat bahwa stablecoin lebih tentang “mendistribusikan ulang pasokan uang” daripada menciptakan permintaan baru. Menurutnya, “seseorang yang menjual surat utang untuk membeli stablecoin, yang kemudian menginvestasikan uangnya kembali ke surat utang, tidak mengubah permintaan terhadap instrumen utang AS.” Dengan kata lain, uangnya hanya berputar di tempat yang sama.
Argumen ini menyoroti kompleksitas dampak stablecoin pada sistem keuangan yang lebih luas, yang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit di antara para ahli.
Lalu, Apa Artinya Ini Buat Kamu Sebagai Investor Muda?
Di tengah perdebatan para raksasa keuangan ini, kamu mungkin bertanya, “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” Peringatan tentang potensi krisis keuangan ini bukanlah untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengajak kita menjadi investor yang lebih cerdas dan waspada.
Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kamu terapkan dalam perjalanan investasi aset digital kamu.
Pahami Apa yang Kamu Beli
Jangan pernah menganggap semua stablecoin diciptakan sama. Sebelum memutuskan untuk menyimpan asetmu dalam stablecoin tertentu, lakukan riset mendalam. Siapa penerbitnya? Seberapa transparan mereka mengenai aset cadangan mereka?
Apakah mereka secara rutin merilis laporan audit dari pihak ketiga yang kredibel? Stablecoin seperti USDC yang diterbitkan oleh Circle, misalnya, dikenal lebih transparan dan tunduk pada regulasi yang lebih ketat di AS dibandingkan beberapa kompetitornya. Memahami perbedaan ini adalah langkah pertama untuk mitigasi risiko investasi.
Diversifikasi Itu Kunci
Prinsip emas dalam investasi juga berlaku di sini.
Jangan menaruh semua telurmu dalam satu keranjang. Bahkan jika kamu ingin tetap berada di stablecoin, pertimbangkan untuk mendiversifikasi kepemilikanmu ke beberapa stablecoin dari penerbit yang berbeda. Lebih baik lagi, jangan alokasikan seluruh portofolio digitalmu hanya ke dalam stablecoin.
Diversifikasi ke aset lain, baik di dalam maupun di luar ekosistem kripto, dapat melindungimu dari kegagalan satu titik.
Ikuti Perkembangan Regulasi Kripto
Sebagai investor di ekonomi digital, kamu harus melek informasi. Perkembangan regulasi kripto di seluruh dunia akan sangat menentukan masa depan dan keamanan asetmu.
Regulasi yang lebih jelas dan ketat mungkin akan mengurangi imbal hasil yang fantastis, tetapi akan memberikan jaring pengaman yang lebih kuat. Pantau berita dari sumber-sumber terpercaya mengenai kebijakan pemerintah terhadap stablecoin dan aset kripto secara umum.
Semakin teratur sebuah pasar, semakin kecil kemungkinan terjadinya krisis keuangan yang disebabkan oleh kepanikan.
Waspadai Iming-iming Imbal Hasil Tinggi
Jika sebuah platform DeFi menawarkan bunga 20% per tahun untuk stablecoin kamu, tanyakan pada diri sendiri: dari mana uang itu berasal? Imbal hasil yang sangat tinggi seringkali datang dengan risiko yang sama tingginya.
Platform tersebut mungkin meminjamkan stablecoin kamu ke peminjam berisiko tinggi atau menggunakan strategi investasi yang kompleks dan rapuh. Ingat, semua bentuk investasi aset digital memiliki risiko investasi yang melekat. Informasi yang disajikan di sini bertujuan untuk edukasi dan bukan merupakan nasihat keuangan.
Selalu lakukan riset mandiri (Do Your Own Research/DYOR) atau berkonsultasi dengan penasihat keuangan profesional sebelum membuat keputusan investasi besar. Potensi yang ditawarkan oleh stablecoin untuk merevolusi sistem pembayaran dan keuangan memang sangat besar. Ia bisa menjadi alat inklusi keuangan dan efisiensi yang luar biasa. Namun, seperti teknologi transformatif lainnya, ia datang dengan serangkaian tantangan dan risiko baru.
Peringatan dari seorang ekonom sekaliber Jean Tirole harus menjadi pengingat serius bahwa jalan menuju adopsi massal harus diaspal dengan pengawasan yang kuat, transparansi penuh, dan edukasi bagi para penggunanya. Masa depan industri ini, dan mungkin stabilitas ekonomi digital global, bergantung pada seberapa baik kita mengelola risiko yang ada di depan mata.
Bagi kamu, menjadi investor yang terinformasi dan berhati-hati adalah cara terbaik untuk menavigasi lanskap yang menarik sekaligus berbahaya ini.
Apa Reaksi Anda?






