Pemerintah dan BI Patungan Selamatkan Ekonomi Inilah Dampaknya Buat Kamu


Selasa, 09 September 2025 - 16.35 WIB
Pemerintah dan BI Patungan Selamatkan Ekonomi Inilah Dampaknya Buat Kamu
BI dan Pemerintah Berbagi Beban (Foto oleh Yazid N di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Seringkali kita mendengar istilah rumit di berita ekonomi yang terdengar jauh dari kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah 'burden sharing' antara Bank Indonesia dan Pemerintah.

Mungkin terdengar seperti jargon pejabat, tapi nyatanya, kebijakan ini punya kaitan erat dengan bantuan sosial yang diterima tetangga kita, stabilitas harga barang di warung, dan bahkan arah perekonomian negara tempat kita membangun karier.

Ini adalah cerita tentang bagaimana dua raksasa keuangan negara, yaitu otoritas fiskal dan moneter, bekerja sama dalam situasi luar biasa untuk menjaga agar kapal ekonomi Indonesia tidak karam. Pada dasarnya, bayangkan negara kita adalah sebuah proyek besar yang tiba-tiba butuh dana darurat dalam jumlah masif, misalnya saat pandemi melanda.

Pemerintah, melalui kebijakan fiskal, bertugas mencari dana tersebut untuk membiayai kebutuhan mendesak seperti kesehatan dan program sosial. Di sisi lain, ada Bank Indonesia (BI), sang penjaga stabilitas nilai Rupiah melalui kebijakan moneter. Skema burden sharing adalah momen ketika keduanya 'patungan' atau berbagi beban. Pemerintah menerbitkan surat utang, dan BI membantu menyerapnya.

Ini bukan sekadar transaksi biasa, melainkan sebuah strategi kolosal yang dirancang untuk tujuan yang lebih besar, yaitu pemulihan ekonomi nasional.

Apa Sebenarnya Skema Burden Sharing Itu?

Untuk memahaminya lebih dalam, kita perlu membongkar konsep ini secara sederhana.

Burden sharing, atau berbagi beban, adalah mekanisme kerja sama antara pemerintah (Kementerian Keuangan) dan bank sentral (Bank Indonesia) untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam kondisi krisis. Pemerintah butuh uang, dan cara paling umum untuk mendapatkannya adalah dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).

SBN ini ibarat surat utang yang dijual kepada investor, baik domestik maupun asing. Dalam situasi normal, pasar akan menyerap SBN ini. Namun, saat krisis, investor mungkin ragu-ragu, menyebabkan permintaan menurun dan imbal hasil (yield) yang diminta investor jadi meroket. Jika imbal hasil terlalu tinggi, beban bunga utang pemerintah akan membengkak dan memberatkan APBN di masa depan.

Di sinilah peran krusial BI masuk. Melalui skema burden sharing, BI bertindak sebagai 'pembeli siaga' di pasar perdana. Artinya, jika SBN yang diterbitkan pemerintah tidak laku di pasar, BI akan membelinya secara langsung. Ini memastikan pemerintah pasti mendapatkan dana yang dibutuhkan dengan biaya bunga yang terkendali.

Kerja sama ini diresmikan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Menurut penjelasan dari Kementerian Keuangan, skema ini adalah langkah luar biasa yang bersifat sementara, dirancang khusus untuk menangani dampak pandemi dan mengakselerasi pemulihan ekonomi.

Ini adalah sinergi antara kebijakan fiskal ekspansif (pemerintah belanja besar-besaran) dengan kebijakan moneter yang akomodatif (BI mendukung likuiditas).

Landasan Hukum dan Konteks Penerapannya

Langkah ini bukan tanpa dasar.

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Aturan ini memberikan fleksibilitas bagi pemerintah dan BI untuk mengambil langkah-langkah darurat, termasuk pembelian SBN oleh BI di pasar perdana.

Ini adalah sebuah terobosan, karena dalam kondisi normal, bank sentral umumnya dilarang membiayai defisit anggaran secara langsung untuk menjaga independensinya dan mengendalikan inflasi. Namun, kondisi krisis global akibat pandemi dianggap sebagai alasan yang cukup kuat untuk pengecualian ini. Tujuannya jelas, yaitu memastikan negara punya cukup amunisi untuk menjalankan program sosial dan stimulus ekonomi.

Bagaimana Mekanisme Burden Sharing Bekerja di Lapangan?

Proses 'patungan' ini tidak sesederhana transfer uang. Ada mekanisme yang terstruktur untuk memastikan tujuannya tercapai tanpa menimbulkan efek samping yang merusak. Prosesnya bisa dipecah menjadi beberapa tahapan utama.
  • Pemerintah Menetapkan Kebutuhan Anggaran: Semua berawal dari APBN.

    Pemerintah menghitung berapa defisit anggaran yang perlu ditutup untuk mendanai belanja prioritas, terutama yang terkait penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial melalui berbagai program sosial, dan insentif untuk dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi.

  • Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN): Untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan melelang Surat Berharga Negara.

    Lelang ini ditawarkan terlebih dahulu kepada pelaku pasar seperti bank, dana pensiun, manajer investasi, dan investor lainnya.

  • Bank Indonesia Masuk Sebagai Pembeli Non-Kompetitif: Di sinilah inti dari burden sharing. Bank Indonesia berpartisipasi dalam lelang tersebut sebagai non-competitive bidder atau pembeli siaga. BI akan menyerap sisa SBN yang tidak terjual di pasar hingga target pemerintah terpenuhi.

    Pembelian ini dilakukan dengan suku bunga yang telah disepakati bersama, seringkali lebih rendah dari bunga pasar, sehingga beban pemerintah lebih ringan.

  • Aliran Dana ke Kas Negara: Dana hasil penjualan SBN, baik dari pasar maupun dari BI, masuk ke kas negara.

    Dana inilah yang kemudian digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai program yang telah direncanakan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi upah, hingga pendanaan untuk proyek infrastruktur padat karya.

Dalam pelaksanaannya, skema burden sharing dibagi ke dalam beberapa SKB dengan fokus yang berbeda. Ada yang untuk pendanaan public goods (seperti kesehatan dan pendidikan), di mana BI menanggung seluruh beban bunganya.

Ada pula yang untuk non-public goods (seperti dukungan UMKM), di mana beban bunga dibagi antara pemerintah dan BI. Pembagian ini menunjukkan betapa detailnya strategi ini dirancang untuk menyeimbangkan antara kebutuhan mendesak dan pengelolaan risiko jangka panjang.

Dampak Nyata Burden Sharing untuk Perekonomian dan Kamu

Kebijakan tingkat tinggi ini mungkin terasa abstrak, tetapi dampaknya sangat konkret dan bisa dirasakan oleh masyarakat luas, termasuk para profesional muda dan Gen-Z. Mari kita bedah apa saja pengaruhnya.

Sisi Terang: Penyelamat di Masa Sulit

Tanpa burden sharing, kondisi ekonomi bisa jauh lebih buruk.

Berikut adalah beberapa dampak positif utamanya:

  • Program Sosial Tetap Berjalan: Dana dari skema ini menjadi nyawa bagi jutaan keluarga di Indonesia. Bantuan sosial, subsidi listrik, dan kartu prakerja bisa terus berjalan karena pemerintah memiliki sumber pendanaan yang pasti.

    Tanpa ini, daya beli masyarakat rentan akan anjlok drastis, memperdalam krisis.

  • Mencegah Krisis Utang: Dengan Bank Indonesia menyerap sebagian besar SBN, imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara tetap terkendali. Ini sangat penting karena jika yield SBN melonjak, biaya utang pemerintah akan meledak.

    Akibatnya, anggaran negara di masa depan bisa habis hanya untuk membayar bunga utang, mengorbankan alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

  • Stabilitas Sistem Keuangan Terjaga: Kebijakan ini menyuntikkan likuiditas yang cukup ke dalam sistem perbankan. Saat BI membeli SBN, artinya ada aliran uang baru ke sistem keuangan.

    Ini membantu bank tetap memiliki dana untuk menyalurkan kredit dan menjaga operasional mereka, mencegah terjadinya krisis perbankan yang bisa menular ke seluruh sektor ekonomi.

  • Mendorong Pemulihan Ekonomi: Dengan anggaran yang terjamin, pemerintah bisa meluncurkan berbagai program stimulus untuk dunia usaha, terutama UMKM. Bantuan modal, restrukturisasi kredit, dan insentif pajak adalah beberapa contohnya.

    Hal ini membantu bisnis untuk bertahan, mencegah PHK massal, dan secara bertahap memulai kembali roda pemulihan ekonomi.

Sisi Gelap: Risiko yang Mengintai

Seperti koin dengan dua sisi, burden sharing juga datang dengan risiko yang harus dikelola dengan sangat hati-hati oleh otoritas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
  • Ancaman Inflasi: Ini adalah risiko terbesar.

    Ketika bank sentral pada dasarnya 'mencetak uang' untuk membeli utang pemerintah, jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat drastis. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi barang dan jasa, hukum ekonomi sederhana berlaku, harga-harga akan naik (inflasi). Inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli dan merugikan semua orang, terutama yang berpenghasilan tetap.

    Oleh karena itu, BI harus memiliki strategi penyerapan likuiditas kembali (exit strategy) saat ekonomi membaik.

  • Moral Hazard dan Ketergantungan Fiskal: Ada kekhawatiran bahwa pemerintah bisa menjadi 'terlalu nyaman' dengan adanya sumber pendanaan mudah dari bank sentral. Ini bisa mengurangi disiplin dalam pengelolaan APBN dan reformasi fiskal, seperti peningkatan basis pajak.

    Ketergantungan ini berbahaya untuk kesehatan fiskal jangka panjang.

  • Tekanan pada Nilai Tukar Rupiah: Peningkatan suplai Rupiah secara masif bisa memberikan tekanan depresiasi pada nilai tukar.

    Jika investor asing melihat kebijakan ini sebagai bentuk monetisasi defisit yang tidak berkelanjutan, mereka bisa menarik modalnya dari Indonesia, menyebabkan Rupiah melemah.

  • Kredibilitas dan Independensi Bank Sentral: Independensi bank sentral adalah pilar utama stabilitas ekonomi modern. Skema burden sharing, meskipun diperlukan dalam krisis, sedikit mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.

    Sangat penting bagi Bank Indonesia untuk terus menegaskan bahwa ini adalah langkah temporer dan independensinya tetap terjaga untuk menjaga kepercayaan pasar.

Masa Depan Kebijakan Ini Pasca-Pandemi

Para pembuat kebijakan, baik di Kementerian Keuangan maupun Bank Indonesia, sejak awal menegaskan bahwa burden sharing adalah obat darurat, bukan vitamin harian.

Seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dan terkendalinya pandemi, skema ini secara bertahap dihentikan. Berdasarkan pernyataan resmi dari Bank Indonesia, pembelian SBN oleh BI di pasar perdana untuk pembiayaan APBN telah berakhir pada 31 Desember 2022. Ini adalah sinyal kuat kepada pasar bahwa Indonesia berkomitmen untuk kembali ke praktik kebijakan yang normal dan berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah 'normalisasi kebijakan'.

Pemerintah fokus pada konsolidasi fiskal, yaitu menekan defisit APBN kembali ke bawah batas 3% dari PDB. Di sisi lain, Bank Indonesia kembali fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga stabilitas nilai Rupiah, termasuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar, melalui instrumen kebijakan moneter yang konvensional.

Penghentian burden sharing adalah langkah penting untuk menjaga kepercayaan investor dan memastikan stabilitas makroekonomi jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia berani mengambil langkah berani dan tidak biasa di masa krisis, ada komitmen kuat untuk kembali ke prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ekonomi.

Pelajaran dari skema burden sharing ini sangat berharga, menunjukkan pentingnya sinergi kebijakan yang kuat dan terukur dalam menghadapi guncangan yang luar biasa, sambil tetap sadar akan pentingnya kembali ke jalur yang normal saat badai telah berlalu. Pada akhirnya, memahami mekanisme seperti burden sharing membuka mata kita bahwa kebijakan ekonomi bukanlah sesuatu yang terjadi di menara gading.

Setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia memiliki riak yang sampai ke kehidupan kita. Ini adalah pengingat bahwa di balik angka-angka dan grafik yang rumit, ada upaya nyata untuk melindungi lapangan kerja, menjaga daya beli, dan memastikan pemulihan ekonomi yang solid, yang pada gilirannya menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi kita semua untuk bertumbuh.

Setiap analisis dan paparan mengenai instrumen kebijakan ekonomi, termasuk skema pendanaan seperti ini, bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada publik. Informasi yang disajikan berasal dari sumber-sumber publik yang kredibel. Namun, perlu diingat bahwa dinamika ekonomi sangat kompleks dan dapat berubah.

Keputusan finansial pribadi atau investasi harus selalu didasarkan pada riset mandiri yang mendalam dan, jika perlu, konsultasi dengan perencana keuangan profesional yang dapat memberikan panduan sesuai dengan kondisi dan tujuan spesifik Anda.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0