Pemerintah Ultimatum TikTok dan Meta Hapus Konten Bahaya atau Diblokir

VOXBLICK.COM - Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan sikap tegasnya terhadap platform digital raksasa. Kali ini, giliran TikTok dan Meta (induk perusahaan Facebook, Instagram, dan WhatsApp) yang mendapat panggilan serius dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Peringatan keras dilayangkan terkait maraknya peredaran konten berbahaya di platform mereka. Pemerintah tidak main-main, ancaman sanksi mulai dari denda besar hingga pemblokiran akses siap dijatuhkan jika kedua perusahaan tersebut gagal menunjukkan komitmen nyata dalam membersihkan ekosistem digital mereka dari konten yang dianggap merusak. Langkah ini menandai babak baru dalam upaya penegakan regulasi media sosial di tanah air, menempatkan tanggung jawab yang lebih besar pada penyedia platform untuk proaktif menjaga keamanan ruang siber bagi jutaan penggunanya di Indonesia.
Kenapa TikTok dan Meta Jadi Sorotan Utama?
Untuk memahami mengapa fokus utama tertuju pada TikTok dan Meta, kita perlu melihat skala dominasi mereka di lanskap digital Indonesia.
Keduanya bukan sekadar aplikasi, melainkan ekosistem digital yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Menurut laporan dari We Are Social dan Hootsuite, pada awal 2024, Indonesia memiliki lebih dari 139 juta pengguna media sosial. Dari jumlah tersebut, TikTok menjadi salah satu platform dengan pertumbuhan paling pesat dan tingkat engagement tertinggi. Pengguna aktif bulanannya di Indonesia diperkirakan telah melampaui 125 juta, menjadikannya salah satu pasar terbesar di dunia. Durasi yang dihabiskan pengguna di aplikasi ini pun luar biasa, seringkali mencapai beberapa jam setiap hari. Hal ini menjadikan TikTok sebagai saluran penyebaran informasi dan tren yang sangat kuat dan cepat.
Di sisi lain, Meta, dengan portofolionya yang mencakup Facebook, Instagram, dan WhatsApp, memiliki jangkauan yang lebih luas dan mengakar.
Facebook masih menjadi platform dengan jumlah pengguna terbesar, sementara Instagram adalah pusat tren gaya hidup, visual, dan kultur pop. Kombinasi jangkauan masif dan demografi pengguna yang sangat beragam membuat platform-platform ini menjadi target utama penyebaran berbagai jenis konten berbahaya. Algoritma personalisasi yang canggih, dirancang untuk memaksimalkan waktu pengguna di aplikasi, terkadang justru menjadi pedang bermata dua. Konten yang sensasional, mengejutkan, atau provokatif cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi, sehingga algoritma seringkali mendorongnya ke lebih banyak pengguna. Kecepatan penyebaran inilah yang menjadi kekhawatiran utama pemerintah. Sebuah konten negatif bisa menjadi viral dalam hitungan jam, bahkan sebelum tim moderator platform sempat meninjaunya. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kominfo memandang perlu untuk menekan TikTok dan Meta agar lebih bertanggung jawab atas dampak algoritma mereka.
Daftar Dosa Konten Berbahaya yang Jadi Masalah
Kategori konten berbahaya yang menjadi target pemerintah sangat luas dan mencakup berbagai isu yang meresahkan masyarakat.
Ini bukan lagi sekadar soal misinformasi biasa, tetapi sudah menyentuh ranah yang lebih serius dan berdampak langsung pada keamanan serta kesejahteraan warga. Berikut adalah beberapa jenis konten yang menjadi fokus utama dalam panggilan Kominfo terhadap TikTok dan Meta:
- Judi Online dan Pinjaman Online Ilegal: Ini adalah salah satu prioritas utama. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, telah berulang kali menyatakan perang terhadap judi online. Promosi situs judi online yang menyamar sebagai game atau diselipkan dalam siaran langsung di TikTok dan Facebook menjadi masalah besar. "Ruang digital kita harus bersih dari judi online," tegas Budi Arie dalam salah satu konferensi persnya. Pemerintah menganggap aktivitas ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak moral bangsa.
- Pornografi dan Konten Asusila: Meskipun platform memiliki kebijakan ketat terhadap pornografi, celah masih banyak ditemukan. Konten yang mengeksploitasi anak, live streaming berbau asusila, hingga penyebaran video intim tanpa persetujuan (revenge porn) menjadi perhatian serius. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga sering menyuarakan keprihatinan tentang paparan anak-anak terhadap konten semacam ini.
- Tantangan Viral yang Membahayakan (Dangerous Challenges): TikTok khususnya, sering menjadi tempat lahirnya tren atau challenge yang tidak mendidik bahkan membahayakan nyawa. Mulai dari tantangan yang melibatkan tindakan fisik berbahaya hingga yang mendorong perilaku merusak diri, konten semacam ini sangat mudah ditiru oleh pengguna muda yang rentan terhadap tekanan sosial.
- Disinformasi dan Hoax: Penyebaran berita bohong, terutama yang berkaitan dengan isu politik, kesehatan, dan sosial, dapat memicu kepanikan dan perpecahan di masyarakat. Kecepatan platform seperti Facebook dan TikTok dalam menyebarkan informasi membuat verifikasi fakta menjadi tantangan besar.
- Ujaran Kebencian dan Radikalisme: Konten yang mengandung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) serta propaganda radikal dan terorisme adalah ancaman serius bagi keamanan nasional. Pemerintah menuntut TikTok dan Meta memiliki sistem yang lebih kuat untuk mendeteksi dan menghapus konten semacam ini secara proaktif.
- Perundungan Siber (Cyberbullying): Pelecehan dan perundungan di kolom komentar, pesan langsung, atau melalui konten video dapat memberikan dampak psikologis yang mendalam bagi korban. Platform dituntut untuk menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah dan responsif serta kebijakan yang lebih tegas terhadap pelaku perundungan.
Ancaman Sanksi Serius di Depan Mata
Ancaman yang dilontarkan pemerintah bukanlah gertakan sambal.
Ada landasan hukum yang kuat yang memungkinkan Kominfo untuk menjatuhkan sanksi kepada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) seperti TikTok dan Meta. Payung hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beserta peraturan turunannya, termasuk Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020.
Berdasarkan regulasi tersebut, PSE yang beroperasi di Indonesia wajib memastikan platformnya bebas dari konten yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Jika ditemukan konten berbahaya, Kominfo dapat mengeluarkan perintah untuk menghapusnya dalam kurun waktu tertentu, biasanya 1x24 jam atau bahkan lebih cepat untuk konten yang dianggap sangat mendesak seperti terorisme. Jika platform gagal mematuhi, serangkaian sanksi administratif dapat diterapkan secara bertahap:
- Teguran Tertulis: Tahap awal berupa surat peringatan resmi yang menuntut platform untuk segera mengambil tindakan.
- Denda Administratif: Jika teguran diabaikan, pemerintah dapat menjatuhkan denda. Besaran denda ini bisa sangat signifikan, dirancang untuk memberikan efek jera. Meskipun angka pastinya bervariasi tergantung kasusnya, pemerintah telah mengisyaratkan kesiapan untuk mengenakan denda hingga ratusan juta rupiah per konten.
- Pemutusan Akses Sementara (Suspend): Ini adalah sanksi yang lebih berat. Pemerintah bisa memerintahkan penyedia layanan internet (ISP) di seluruh Indonesia untuk memblokir akses ke platform tersebut untuk sementara waktu.
- Pemutusan Akses Permanen (Blokir): Langkah pamungkas jika platform dianggap tidak kooperatif dan secara sistematis gagal memoderasi konten berbahaya. Ini berarti platform tersebut tidak akan bisa diakses lagi dari Indonesia. Sejarah telah mencatat beberapa platform yang pernah diblokir sementara oleh Kominfo, seperti Telegram dan TikTok di masa lalu, menunjukkan bahwa ancaman ini sangat nyata.
Komitmen pemerintah untuk menegakkan aturan ini sangat kuat. Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa kedaulatan digital Indonesia adalah harga mati.
"Kami memberikan kesempatan bagi platform untuk melakukan self-censorship, tetapi jika gagal, negara akan turun tangan," ujarnya. Penegasan ini mengirimkan pesan jelas bahwa era di mana platform bisa lepas tangan dari konten yang beredar di layanannya sudah berakhir. Perlu diingat bahwa kebijakan dan regulasi media sosial dapat berubah seiring waktu. Informasi dalam artikel ini akurat per tanggal publikasi dan pembaca dianjurkan untuk selalu memeriksa sumber resmi dari pemerintah untuk pembaruan terkini.
Bukan Cuma di Indonesia, Ini Tren Global
Langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia ini bukanlah anomali. Sebaliknya, ini adalah bagian dari tren global di mana negara-negara di seluruh dunia sedang berupaya keras untuk membuat raksasa teknologi lebih akuntabel.
Regulator di berbagai belahan dunia menyadari bahwa dampak media sosial terhadap masyarakat, politik, dan kesehatan mental terlalu besar untuk dibiarkan tanpa pengawasan.
Uni Eropa, misalnya, telah menjadi yang terdepan dengan mengesahkan Digital Services Act (DSA).
Aturan komprehensif ini memberlakukan kewajiban yang ketat pada platform online besar terkait moderasi konten, transparansi algoritma, dan penanganan disinformasi. Pelanggaran terhadap DSA dapat mengakibatkan denda hingga 6% dari omzet global tahunan perusahaan, sebuah angka yang bisa mencapai miliaran dolar untuk perusahaan sekelas Meta atau induk TikTok, ByteDance. DSA menjadi model bagi banyak negara lain dalam merancang regulasi media sosial mereka sendiri.
Di Amerika Serikat, Kongres telah berulang kali memanggil para CEO dari Meta, TikTok, X (dulu Twitter), dan Snap untuk bersaksi mengenai dampak platform mereka terhadap kesehatan mental remaja dan keamanan anak.
Meskipun belum ada undang-undang federal yang komprehensif seperti DSA, tekanan politik dan publik terus meningkat. Negara bagian seperti California dan Utah bahkan telah meloloskan undang-undang mereka sendiri untuk melindungi pengguna di bawah umur. Di Inggris, ada Online Safety Act yang juga memberlakukan denda besar dan bahkan tanggung jawab pidana bagi para eksekutif jika platform mereka gagal melindungi anak-anak dari konten berbahaya. Dengan melihat konteks global ini, jelas bahwa permintaan pemerintah Indonesia kepada TikTok dan Meta adalah bagian dari gerakan yang lebih besar untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan tanggung jawab sosial.
Apa Kata TikTok dan Meta?
Menghadapi tekanan dari regulator, baik TikTok maupun Meta secara konsisten menyatakan komitmen mereka terhadap keamanan pengguna.
Dalam pernyataan resmi yang sering mereka rilis, kedua perusahaan menekankan bahwa mereka telah menginvestasikan miliaran dolar untuk mengembangkan teknologi dan tim moderasi konten. Respons mereka umumnya berpusat pada tiga pilar utama:
- Teknologi AI dan Otomatisasi: Mereka mengklaim menggunakan kecerdasan buatan (AI) canggih untuk secara proaktif mendeteksi dan menghapus jutaan konten yang melanggar kebijakan sebelum dilihat oleh pengguna. Algoritma ini dilatih untuk mengenali gambar, video, teks, dan audio yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, dan konten berbahaya lainnya.
- Tim Moderator Manusia: Di samping teknologi, mereka juga mempekerjakan puluhan ribu moderator di seluruh dunia, termasuk yang memahami konteks lokal dan bahasa Indonesia. Tim ini bertugas meninjau laporan dari pengguna dan menangani kasus-kasus yang lebih kompleks dan membutuhkan nuansa pemahaman manusia.
- Pembaruan Kebijakan dan Panduan Komunitas: TikTok dan Meta secara rutin memperbarui Panduan Komunitas (Community Guidelines) mereka untuk menyesuaikan dengan tren dan tantangan baru. Mereka juga berusaha meningkatkan transparansi dengan merilis laporan berkala yang merinci jumlah konten yang dihapus dan alasan penghapusannya.
Perwakilan dari TikTok Indonesia seringkali menyoroti upaya mereka dalam kampanye literasi digital dan fitur keamanan seperti Family Pairing, yang memungkinkan orang tua untuk mengontrol akun anak mereka. Sementara itu, Meta juga kerap menggarisbawahi kerja samanya dengan organisasi masyarakat sipil dan lembaga pemerintah lokal untuk memerangi hoax dan disinformasi. Meskipun demikian, kecepatan dan volume konten yang diunggah setiap detik membuat moderasi 100% efektif menjadi tantangan yang hampir mustahil. Inilah celah yang seringkali menjadi sumber friksi antara platform dan pemerintah, di mana regulator menuntut hasil yang lebih cepat dan lebih tuntas.
Dampaknya Buat Kamu Sebagai Pengguna
Ketegangan antara pemerintah dan platform digital ini pada akhirnya akan berdampak langsung pada pengalaman kamu sebagai pengguna sehari-hari.
Di satu sisi, penegakan regulasi media sosial yang lebih ketat berpotensi menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan sehat. Kamu mungkin akan lebih jarang menemukan konten judi online, penipuan, hoax, atau ujaran kebencian di feed kamu. Ini adalah sisi positif yang jelas, terutama untuk melindungi pengguna yang lebih muda dan rentan dari paparan konten berbahaya.
Namun, di sisi lain, ada potensi dampak yang perlu diwaspadai.
Moderasi konten yang terlalu agresif bisa berisiko menjadi over-moderation, di mana konten yang sebenarnya tidak melanggar aturan, seperti kritik, satire, atau ekspresi artistik, bisa ikut terhapus karena dianggap abu-abu oleh sistem AI atau moderator. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran tentang penyensoran dan pembatasan kebebasan berekspresi. Kamu mungkin akan melihat lebih banyak peringatan konten (content warnings) atau bahkan akun yang ditangguhkan karena pelanggaran yang dianggap sepele. Pengalaman berselancar di TikTok atau Instagram bisa terasa lebih terkontrol dan kurang spontan.
Sebagai pengguna yang cerdas, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan. Pertama, manfaatkan fitur pelaporan (report) yang ada di setiap platform. Jika kamu menemukan konten berbahaya, jangan hanya di-scroll, tetapi laporkan.
Laporan dari pengguna sangat membantu platform dalam mengidentifikasi dan menindak konten yang melanggar. Kedua, tingkatkan literasi digitalmu. Belajarlah untuk bersikap kritis terhadap informasi yang kamu terima, verifikasi sumber sebelum membagikannya, dan pahami cara kerja algoritma. Ketiga, kelola pengaturan privasi dan keamanan akunmu untuk meminimalkan risiko menjadi target pelecehan atau penipuan. Pada akhirnya, menciptakan ekosistem digital yang positif bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan platform, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh penggunanya.
Babak baru penegakan aturan main di dunia digital Indonesia ini masih akan terus berlanjut. Pertarungan antara inovasi tanpa batas dan kebutuhan akan ruang siber yang aman adalah sebuah keniscayaan.
Langkah tegas pemerintah terhadap TikTok dan Meta merupakan sinyal kuat bahwa era wild west di internet perlahan-lahan berakhir. Bagaimana kedua raksasa teknologi ini merespons dan beradaptasi dengan tuntutan regulasi media sosial yang semakin ketat akan menentukan tidak hanya nasib mereka di pasar Indonesia, tetapi juga masa depan lanskap digital yang kita huni bersama. Bagi kita sebagai pengguna, ini adalah momen untuk menjadi lebih sadar dan proaktif dalam membentuk lingkungan online yang lebih baik.
Apa Reaksi Anda?






