Pengacara Kedapatan Pakai AI, Kasus Hukum Fiktif Terkuak di Pengadilan!

Oleh VOXBLICK

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 13.30 WIB
Pengacara Kedapatan Pakai AI, Kasus Hukum Fiktif Terkuak di Pengadilan!
Pengacara pakai AI, kasus fiktif. (Foto oleh KATRIN BOLOVTSOVA)

VOXBLICK.COM - Geger di dunia hukum! Seorang pengacara di sebuah pengadilan lokal baru-baru ini bikin heboh setelah terbukti menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk riset kasusnya. Yang lebih mencengangkan, penggunaan teknologi AI di pengadilan ini berujung pada terkuaknya beberapa kasus hukum fiktif yang ia jadikan referensi. Insiden ini sontak memicu perdebatan panas tentang etika AI di dunia hukum dan bagaimana keandalan teknologi ini bisa dipertanggungjawabkan.

Kisah ini bermula saat pengacara tersebut, sebut saja Bapak X, sedang mempersiapkan argumen untuk kasus kliennya.

Demi efisiensi dan kecepatan, ia memutuskan untuk memanfaatkan salah satu model bahasa besar (LLM) berbasis AI untuk mencari preseden dan referensi hukum. AI tersebut kemudian menyajikan beberapa kasus yang tampak relevan, lengkap dengan kutipan dan nomor putusan. Tanpa verifikasi mendalam, Bapak X memasukkan referensi-referensi ini ke dalam dokumen persidangan yang ia ajukan.

Pengacara Kedapatan Pakai AI, Kasus Hukum Fiktif Terkuak di Pengadilan!
Pengacara Kedapatan Pakai AI, Kasus Hukum Fiktif Terkuak di Pengadilan! (Foto oleh Sora Shimazaki)

Kejanggalan mulai tercium ketika hakim dan pengacara lawan mencoba menelusuri referensi yang diajukan. Setelah beberapa kali pencarian di database hukum resmi, tidak ada satu pun dari kasus-kasus tersebut yang ditemukan.

Bahkan, beberapa nama pihak yang terlibat dan detail putusan terdengar aneh dan tidak lazim. Setelah diselidiki lebih lanjut, Bapak X akhirnya mengakui bahwa ia sepenuhnya mengandalkan hasil riset hukum AI tanpa melakukan validasi silang manual. AI tersebut, tanpa disadari, telah "mengarang" atau "menghalusinasi" kasus-kasus hukum yang tidak pernah ada.

Etika Penggunaan AI: Antara Efisiensi dan Tanggung Jawab

Kasus pengacara kedapatan pakai AI ini langsung menjadi sorotan tajam. Di satu sisi, teknologi AI memang menawarkan potensi efisiensi yang luar biasa dalam riset hukum AI, terutama untuk volume data yang besar.

Namun, di sisi lain, insiden ini secara gamblang menunjukkan bahaya fatal jika alat ini digunakan tanpa pengawasan dan verifikasi manusia yang ketat. Kode etik profesi pengacara jelas menuntut integritas dan keakuratan dalam setiap argumen yang diajukan ke pengadilan.

Seorang pengacara memiliki tanggung jawab fidusia terhadap kliennya dan kewajiban moral terhadap sistem peradilan. Mengajukan referensi palsu, meskipun tidak disengaja karena kesalahan AI, bisa dianggap sebagai kelalaian serius.

Ini bukan hanya merugikan kredibilitas pengacara itu sendiri, tetapi juga bisa berakibat fatal pada kasus kliennya, bahkan membuang-buang waktu dan sumber daya pengadilan. Pertanyaan besar yang muncul adalah: siapa yang bertanggung jawab ketika AI membuat kesalahan? Apakah pengacara yang menggunakan, pengembang AI, atau keduanya?

Fenomena Halusinasi AI dan Dampaknya di Dunia Hukum

Insiden ini menjadi contoh nyata dari fenomena yang dikenal sebagai halusinasi pada model AI, terutama Large Language Models (LLM).

Halusinasi adalah ketika AI menghasilkan informasi yang terdengar masuk akal dan meyakinkan, tetapi sebenarnya tidak akurat atau sepenuhnya fiktif. Dalam konteks hukum, ini sangat berbahaya karena AI bisa saja "menciptakan" undang-undang, putusan pengadilan, atau preseden yang tidak pernah ada, persis seperti yang terjadi dalam kasus kasus hukum fiktif terkuak di pengadilan ini.

Para ahli teknologi menjelaskan bahwa halusinasi ini bisa terjadi karena AI dirancang untuk memprediksi kata atau frasa berikutnya berdasarkan pola data yang telah dilatih, bukan untuk memahami kebenaran faktual secara intrinsik.

Ketika diminta untuk mencari sesuatu yang tidak ada dalam datanya atau ketika instruksinya ambigu, AI cenderung "mengisi kekosongan" dengan informasi yang paling mungkin terdengar benar. Di dunia hukum yang membutuhkan presisi mutlak, ini adalah cacat fatal yang harus diwaspadai.

Reaksi Komunitas Hukum dan Langkah ke Depan

Komunitas hukum bereaksi dengan beragam pandangan. Banyak yang menyuarakan kekhawatiran serius tentang keandalan teknologi AI dan mendesak adanya pedoman ketat untuk penggunaannya.

Beberapa asosiasi pengacara mulai mempertimbangkan untuk mengeluarkan panduan atau bahkan aturan yang mewajibkan verifikasi manual atas semua hasil riset yang dihasilkan AI.

Profesor Hukum dari Universitas ternama, Dr. Indah Sari, menyatakan, "Kasus ini adalah alarm keras bagi kita semua. AI adalah alat yang hebat, tapi bukan pengganti akal dan verifikasi manusia.

Setiap profesional hukum harus tetap memegang prinsip due diligence."

Beberapa langkah yang mungkin akan diambil atau dipertimbangkan meliputi:

  • Pedoman Etik Khusus: Pengembangan kode etik yang secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam praktik hukum.
  • Pelatihan dan Edukasi: Peningkatan literasi AI bagi para pengacara dan mahasiswa hukum, termasuk pemahaman tentang keterbatasan dan risiko AI.
  • Verifikasi Wajib: Penekanan kuat pada kewajiban untuk selalu melakukan verifikasi silang terhadap setiap informasi atau referensi yang dihasilkan oleh AI.
  • Pengawasan Pengadilan: Kemungkinan adanya prosedur baru di pengadilan untuk memverifikasi sumber referensi hukum, terutama jika ada indikasi penggunaan AI.

Pengadilan Menyikapinya: Tantangan Verifikasi dan Akuntabilitas

Lalu, bagaimana pengadilan menyikapi AI yang mulai merambah ranah hukum? Insiden ini menempatkan pengadilan pada posisi yang sulit. Di satu sisi, pengadilan harus terbuka terhadap inovasi teknologi yang bisa mempercepat proses hukum.

Di sisi lain, integritas dan keadilan harus tetap menjadi yang utama. Hakim di kasus Bapak X akhirnya memutuskan untuk menunda persidangan untuk memberikan kesempatan kepada pengacara tersebut memperbaiki argumennya dengan referensi yang valid, sambil memberikan teguran keras.

Meskipun demikian, kasus ini bisa menjadi preseden penting. Di masa depan, pengadilan mungkin akan menerapkan standar yang lebih ketat untuk bukti dan referensi yang diajukan, terutama jika ada kecurigaan bahwa AI tanpa verifikasi telah digunakan.

Akuntabilitas atas kesalahan yang dihasilkan AI akan menjadi isu krusial yang perlu diatur secara jelas.

Masa Depan Riset Hukum dengan AI: Peluang dan Peringatan

Terlepas dari insiden ini, tidak bisa dipungkiri bahwa AI akan terus memainkan peran yang semakin besar dalam dunia hukum. Alat-alat AI memiliki potensi besar untuk membantu dalam tugas-tugas seperti:

  • Analisis kontrak dalam jumlah besar
  • Prediksi hasil kasus berdasarkan data historis
  • Otomatisasi dokumen hukum dasar
  • Pencarian informasi hukum yang lebih cepat

Namun, kasus ini adalah peringatan penting: teknologi AI di pengadilan bukanlah pengganti kebijaksanaan, penilaian, dan verifikasi manusia. AI adalah alat bantu, bukan pengambil keputusan atau sumber kebenaran mutlak.

Kunci sukses implementasi AI di dunia hukum adalah kolaborasi antara kemampuan komputasi AI dengan kecerdasan, etika, dan kehati-hatian manusia.

Insiden pengacara kedapatan pakai AI dan terkuaknya kasus fiktif ini menjadi titik balik penting.

Ini memaksa kita untuk merenung lebih dalam tentang bagaimana kita mengintegrasikan teknologi canggih ini ke dalam sistem yang fundamental bagi keadilan. Masa depan hukum dengan AI akan ditentukan oleh seberapa bijak dan bertanggung jawab kita dalam mengelola potensi dan risiko yang menyertainya.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0