Perang Paregreg dan Gajah Mada Menyingkap Kejatuhan Majapahit Akibat Konflik Internal

VOXBLICK.COM - Majapahit, sebuah imperium maritim yang membentang luas di Nusantara, pernah menjadi puncak kejayaan peradaban Jawa. Kemegahan dan keagungannya tak terbantahkan, memancarkan pengaruh hingga ke seluruh Asia Tenggara. Namun, di balik cahaya gemilang itu, tersimpan benih-benih kehancuran yang kelak akan mengikis kekuatannya dari dalam. Salah satu babak paling tragis dalam sejarah Majapahit adalah Perang Paregreg, sebuah konflik internal berdarah yang bukan hanya merobek persatuan kerajaan tetapi juga menjadi penanda awal kejatuhan sebuah dinasti besar.
Kisah ini tak lepas dari bayang-bayang tokoh legendaris seperti Gajah Mada, yang meskipun telah tiada, warisannya tetap relevan dalam menyingkap dinamika yang berujung pada keruntuhan Majapahit.
Perang saudara ini menjadi titik balik krusial, membuka celah bagi perpecahan yang tak terpulihkan dan menawarkan pelajaran berharga tentang kerapuhan sebuah kekuasaan besar di hadapan konflik internal yang berkepanjangan.

Kemegahan Majapahit dan Bibit Perpecahan
Pada puncaknya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai masa keemasan yang tak tertandingi.
Sumpah Palapa Gajah Mada berhasil menyatukan sebagian besar Nusantara di bawah panji Majapahit, menciptakan stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi yang luar biasa. Jalur perdagangan berkembang pesat, seni dan budaya mencapai puncaknya, serta pemerintahan yang terorganisir dengan baik menjadikan Majapahit sebagai model kerajaan maritim di masanya. Namun, kematian Gajah Mada pada tahun 1364 M, diikuti oleh wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang sulit diisi.
Dua peristiwa besar ini secara perlahan namun pasti menanamkan bibit-bibit perpecahan dalam struktur kekuasaan Majapahit yang sebelumnya kokoh. Perebutan pengaruh dan ambisi politik mulai mengemuka di antara para kerabat istana dan bangsawan daerah.
Tanpa figur sentral yang kuat untuk menjaga keseimbangan, retakan-retakan mulai muncul di fondasi imperium, menunggu percikan api untuk menyulut konflik yang lebih besar.
Perang Paregreg: Api dalam Sekam
Perang Paregreg, yang secara harfiah berarti "perang bertahap" atau "perang saudara", meletus pada tahun 1404 M dan berlangsung hingga 1406 M. Konflik ini merupakan puncak dari ketegangan yang telah lama terpendam antara dua faksi utama di Majapahit:
- Wikramawardhana: Raja yang sah, menantu Hayam Wuruk, yang berkuasa di Trowulan, pusat kerajaan. Ia meneruskan takhta setelah Hayam Wuruk.
- Bhre Wirabhumi: Putra Hayam Wuruk dari selir, yang berkuasa di wilayah timur Jawa (Blambangan), merasa berhak atas takhta dan menuntut pengakuan yang lebih besar serta otonomi yang lebih luas bagi wilayahnya.
Penyebab utama dari konflik Perang Paregreg ini sangat kompleks, melibatkan berbagai faktor yang saling terkait:
- Perebutan Hak Waris: Meskipun Wikramawardhana adalah raja yang sah berdasarkan garis keturunan dan penunjukan, Bhre Wirabhumi merasa memiliki klaim yang kuat sebagai putra kandung Hayam Wuruk, memicu perselisihan legitimasi takhta.
- Otonomi Daerah dan Sentralisasi: Para bangsawan di wilayah timur, termasuk Bhre Wirabhumi, merasa kurang terwakili atau kurang mendapat perhatian dari pusat kekuasaan di Trowulan, mendorong keinginan untuk otonomi yang lebih besar.
- Kepentingan Ekonomi: Wilayah timur Jawa memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi. Perebutan kendali atas jalur perdagangan serta sumber daya menjadi pemicu penting yang memperuncing ketegangan.
- Lemahnya Peran Patih: Setelah wafatnya Gajah Mada, tidak ada lagi figur patih yang memiliki kekuatan dan pengaruh sebesar dirinya untuk meredam ambisi-ambisi politik atau menengahi perselisihan di antara para bangsawan. Ini memperkeruh suasana dan menghilangkan penyeimbang kekuasaan.
Perang ini digambarkan sebagai pertempuran sengit yang melibatkan berbagai pasukan dari kedua belah pihak, menyebabkan kehancuran dan korban jiwa yang tak sedikit.
Catatan sejarah, seperti yang terdapat dalam Pararaton dan Kidung Sunda, menguraikan bagaimana pertempuran ini menguras sumber daya dan melemahkan fondasi kerajaan Majapahit secara fundamental.
Setelah Gajah Mada: Kekosongan Kepemimpinan dan Konflik Internal
Kehadiran Gajah Mada selama masa pemerintahan Hayam Wuruk adalah pilar utama yang menjaga stabilitas dan kesatuan Majapahit.
Visi Sumpah Palapa-nya bukan sekadar ambisi teritorial, melainkan sebuah manifestasi dari keinginan untuk menciptakan imperium yang kuat dan bersatu, menyingkirkan potensi konflik internal. Kematian Gajah Mada menandai berakhirnya era kepemimpinan yang karismatik, strategis, dan visioner.
Setelah kepergiannya, tidak ada lagi figur yang memiliki otoritas moral dan kekuatan politik sebesar dirinya untuk meredam ambisi-ambisi pribadi para bangsawan, atau untuk menyatukan berbagai faksi yang mulai muncul.
Kekosongan kepemimpinan ini secara langsung berkontribusi pada pecahnya Perang Paregreg. Jika Gajah Mada masih hidup, sangat mungkin ia akan menggunakan pengaruhnya yang besar untuk mencegah eskalasi konflik atau setidaknya mencari solusi diplomatik yang efektif. Namun, tanpa sosok pemersatu yang kuat, Majapahit menjadi rentan terhadap intrik politik dan perebutan kekuasaan, yang pada akhirnya memuncak dalam perang saudara yang mematikan. Perang ini secara gamblang menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan yang kuat dan visioner dalam menjaga keutuhan sebuah negara, sebuah pelajaran yang relevan dari sejarah keruntuhan Majapahit.
Dampak Perang Paregreg dan Awal Kejatuhan Majapahit
Meskipun Perang Paregreg berakhir dengan kemenangan Wikramawardhana dan kematian Bhre Wirabhumi, Majapahit tidak pernah pulih sepenuhnya dari luka yang ditorehkan konflik internal ini.
Dampak dari perang saudara ini sangat mendalam dan bersifat jangka panjang, menjadi salah satu faktor kunci dalam proses kejatuhan Majapahit:
- Melemahnya Otoritas Pusat: Kredibilitas dan kekuatan raja di Trowulan menurun drastis. Wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Majapahit mulai menunjukkan tanda-tanda pembangkangan dan mencari otonomi, sulit untuk dikendalikan dari pusat.
- Kerugian Ekonomi yang Parah: Perang menguras kas kerajaan, merusak infrastruktur vital, dan mengganggu jalur perdagangan yang menjadi nadi perekonomian Majapahit. Kemakmuran yang dibangun selama berabad-abad mulai terkikis, menyebabkan kesulitan ekonomi di seluruh wilayah.
- Perpecahan Sosial dan Politik: Masyarakat terpecah belah, loyalitas terhadap kerajaan memudar, dan munculnya faksi-faksi baru yang saling bertentangan. Stabilitas sosial dan politik kerajaan hancur.
- Bangkitnya Kekuatan Baru: Melemahnya Majapahit membuka peluang bagi kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara Jawa, yang kemudian dikenal sebagai pusat-pusat Islam, untuk tumbuh dan memperluas pengaruhnya. Kerajaan Demak, misalnya, kelak akan menjadi kekuatan dominan yang menggantikan Majapahit.
- Ancaman Eksternal: Konflik internal yang berkepanjangan membuat Majapahit rentan terhadap intervensi asing, seperti serangan dari Dinasti Ming Tiongkok yang sempat ikut campur dalam urusan internal Majapahit, semakin memperparah kondisi kerajaan.
Perang Paregreg bukan akhir Majapahit secara instan, tetapi merupakan titik balik yang tak terhindarkan menuju keruntuhannya.
Konflik internal ini menjadi katalisator yang mempercepat proses disintegrasi kerajaan yang telah lama menunjukkan gejala, menandai awal dari kejatuhan sebuah imperium besar.
Perang Paregreg adalah sebuah epilog tragis bagi kebesaran Majapahit, sebuah bukti nyata bagaimana konflik internal dapat mengikis fondasi sebuah peradaban dari dalam.
Kisah ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin berharga yang menyingkap pelajaran abadi. Dari kejatuhan Majapahit akibat Perang Paregreg dan absennya figur pemersatu seperti Gajah Mada, kita belajar tentang kerapuhan kekuasaan di hadapan ambisi pribadi, pentingnya persatuan, serta bahaya perpecahan yang mengintai setiap struktur sosial dan politik. Sejarah, dengan segala pahit getirnya, mengajak kita untuk merenungkan perjalanan waktu dan menghargai nilai-nilai kebersamaan dalam membangun masa depan yang lebih kokoh, agar kesalahan masa lalu tidak terulang kembali.
Apa Reaksi Anda?






