Satu Kematian Jenderal Inggris Ternyata Mengubah Sejarah Pertempuran 10 November

VOXBLICK.COM - Udara Surabaya pada akhir Oktober 1945 terasa panas dan berat, sarat dengan aroma mesiu dan semangat kemerdekaan yang baru seumur jagung.
Di setiap sudut kota, grafiti 'Merdeka atau Mati' terpampang nyata, bukan sekadar slogan, melainkan sumpah yang hidup di sanubari setiap pemuda. Euforia proklamasi masih membahana, namun awan kelabu mulai berkumpul di cakrawala. Kabar kedatangan pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris disambut dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Mereka datang dengan dalih melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang, sebuah misi yang terdengar mulia di atas kertas. Namun, di jalanan Surabaya yang berdebu, kecurigaan bahwa mereka adalah kuda Troya bagi kembalinya kolonialisme Belanda menyebar lebih cepat dari api.
Di tengah pusaran ketidakpastian inilah, sosok Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby mendarat, tidak menyadari bahwa takdirnya akan menjadi pemantik salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Surabaya Membara: Euforia Kemerdekaan di Tengah Ancaman Baru
Setelah puluhan tahun berada di bawah cengkeraman penjajah, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 adalah napas pertama kebebasan bagi bangsa Indonesia.Di Surabaya, semangat ini berkobar paling terang. Kota pelabuhan yang strategis ini dengan cepat berubah menjadi kawah candradimuka revolusi. Para pemuda, yang kemudian dikenal sebagai Arek-Arek Suroboyo, bergerak cepat. Mereka membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan dengan keberanian luar biasa, melucuti persenjataan tentara Kekaisaran Jepang yang telah menyerah.
Gudang-gudang senjata di Don Bosco, Morkovits, dan pangkalan udara Morokrembangan berhasil direbut. Ribuan pucuk senjata, mulai dari senapan Arisaka, pistol Nambu, hingga senapan mesin ringan dan mortir, kini berada di tangan para pejuang. Kekuatan ini bukanlah kekuatan militer profesional, melainkan gabungan rakyat biasa, pelajar, dan buruh yang bersatu karena satu cita-cita, mempertahankan kemerdekaan dengan taruhan nyawa.
Kekuatan rakyat inilah yang menjadi fondasi pertahanan kota. Gubernur Jawa Timur saat itu, R.M.T. Ario Soerjo, dengan tegas menyatakan bahwa Surabaya adalah bagian dari Republik Indonesia yang berdaulat dan menolak segala bentuk intervensi asing. Ini adalah panggung yang telah disiapkan untuk sebuah drama kolosal, di mana heroisme dan tragedi akan saling berkelindan.
Kedatangan Pasukan Sekutu dan Misi Tersembunyi Brigjen Mallaby
Pada 25 Oktober 1945, kapal perang Inggris merapat di Pelabuhan Tanjung Perak. Dari atas geladak, turunlah Brigade Infanteri India ke-49 di bawah komando Brigjen Mallaby. Mallaby adalah seorang perwira berpengalaman jebolan Perang Dunia II, dikenal sebagai negosiator ulung.Misinya, seperti yang tertuang dalam mandat South East Asia Command (SEAC), adalah bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Secara resmi, tugas mereka adalah menerima penyerahan tentara Jepang, membebaskan tawanan perang sekutu (Allied Prisoners of War and Internees atau APWI), dan menjaga ketertiban hingga pemerintahan sipil dapat pulih.
Namun, di balik misi kemanusiaan itu, terselip agenda politik yang sangat sensitif. Di antara pasukan Inggris, menyusup perwira-perwira Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang bertugas mempersiapkan kembalinya pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Bagi Arek-Arek Suroboyo, kehadiran NICA adalah bukti nyata pengkhianatan Sekutu. Kepercayaan yang tipis itu seketika pecah.
Kesepakatan awal antara Mallaby dan Gubernur Soerjo, yang menyatakan Inggris tidak akan melibatkan tentara Belanda dan hanya akan fokus pada tugas-tugas spesifik, dengan cepat dilanggar. Pasukan Inggris mulai menduduki titik-titik vital di Surabaya, seperti kantor pos, pusat telekomunikasi, dan penjara Kalisosok, tempat mereka membebaskan perwira Belanda.
Tindakan ini dianggap sebagai provokasi terang-terangan, sebuah tantangan langsung terhadap kedaulatan yang baru saja diraih.
Negosiasi Tegang di Bawah Bayang-Bayang Senjata
Ketegangan memuncak pada 27 Oktober 1945. Sebuah pesawat Dakota milik Royal Air Force (RAF) menyebarkan pamflet dari langit Surabaya. Isinya adalah perintah dari Mayor Jenderal D.C.Hawthorn, komandan Divisi India ke-23, yang menuntut agar semua rakyat Indonesia menyerahkan senjata mereka dalam waktu 2x24 jam. Bagi para pejuang, tuntutan ini adalah sebuah penghinaan. Senjata-senjata itu adalah simbol kemerdekaan dan satu-satunya jaminan mereka untuk mempertahankannya. Ultimatum ini, yang dikeluarkan tanpa sepengetahuan Brigjen Mallaby, menyulut api pertempuran pertama. Kontak senjata pecah di seluruh penjuru kota pada 28 Oktober.
Pasukan Inggris yang jumlahnya jauh lebih kecil terkepung dan terdesak hebat. Situasi menjadi begitu kritis sehingga Jenderal Christison, Panglima AFNEI, meminta Presiden Soekarno untuk turun tangan. Soekarno, didampingi Mohammad Hatta dan Amir Sjarifoeddin, terbang ke Surabaya pada 29 Oktober untuk menengahi konflik. Setelah melalui perundingan yang alot dengan Brigjen Mallaby, disepakatilah sebuah gencatan senjata.
Kontak Biro dibentuk, terdiri dari perwakilan kedua belah pihak, untuk memastikan kesepakatan damai ini dijalankan. Suasana tampak sedikit mereda, namun di bawah permukaan, bara api perlawanan masih menyala, menunggu satu percikan untuk meledak menjadi kobaran yang lebih besar. Percikan itu datang keesokan harinya di sebuah jembatan yang akan selamanya terukir dalam sejarah Indonesia.
Detik-Detik Kematian Brigjen Mallaby di Jembatan Merah
Tanggal 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling kota dengan mobil Buick untuk menyosialisasikan perjanjian gencatan senjata. Namun, berita perdamaian rupanya tidak sampai ke telinga semua pejuang. Komunikasi yang buruk dan rasa saling curiga yang mendalam membuat situasi tetap rapuh.Sore hari, saat rombongannya melintasi area Jembatan Merah dan mendekati Gedung Internatio, salah satu pos pertahanan Inggris yang masih dikepung oleh pejuang Indonesia, suasana kembali memanas. Mobil Buick yang ditumpangi Mallaby dihentikan oleh kerumunan massa dan pejuang Indonesia. Terjadi adu mulut dan ketegangan meningkat drastis.
Tembak-menembak pun kembali pecah antara pasukan Inggris yang bertahan di dalam gedung dan para pejuang di luar. Di tengah kekacauan itulah, nasib Mallaby ditentukan. Hingga hari ini, kematiannya tetap diselimuti misteri tebal, dengan beberapa versi cerita yang saling bertentangan.
- Versi Inggris: Menurut laporan yang disusun Kapten R.C.
Smith, salah satu ajudan Mallaby yang selamat, sang jenderal ditembak mati dari jarak dekat oleh seorang pemuda Indonesia saat ia hendak masuk kembali ke mobilnya. Beberapa saat setelah tembakan itu, sebuah granat dilemparkan ke dalam mobil, menyebabkan mobil meledak dan membakar jenazah Mallaby hingga sulit diidentifikasi.
Versi ini, yang dipopulerkan oleh sejarawan Inggris, menyalahkan pihak Indonesia sepenuhnya dan menyebutnya sebagai tindakan pengkhianatan terhadap gencatan senjata.
- Versi Indonesia: Kesaksian dari pihak Indonesia sangat beragam, namun sebagian besar sepakat bahwa tidak ada perintah untuk membunuh sang jenderal.
Salah satu teori yang paling kuat menyebutkan bahwa ledakan yang menewaskan Brigjen Mallaby berasal dari granat yang meledak secara tidak sengaja di dalam mobilnya sendiri. Dalam situasi panik, bisa jadi salah seorang perwira Inggris di mobil itu hendak melemparkan granat keluar, namun gagal. Teori lain mengarah pada kemungkinan adanya tembakan mortir nyasar dari salah satu pihak.
Sejarawan seperti Batara R. Hutagalung dalam analisisnya menyoroti kemungkinan bahwa kematian Mallaby adalah akibat dari 'friendly fire' atau kecelakaan di tengah pertempuran yang kacau balau, bukan pembunuhan terencana.
Namun, apapun penyebab pastinya, kematian seorang perwira setingkat brigadir jenderal adalah sebuah peristiwa besar yang tidak akan pernah diabaikan oleh kekuatan militer sekelas Inggris. Berita tewasnya Brigjen Mallaby sampai ke markas komando Sekutu dan memicu reaksi yang sangat keras.
Ultimatum Inggris: Guntur Perang yang Menggelegar
Bagi Inggris, kematian Brigjen Mallaby adalah aib dan tantangan terbuka terhadap wibawa mereka sebagai pemenang Perang Dunia II. Letnan Jenderal Sir Philip Christison murka. Ia segera menunjuk Mayor Jenderal Robert Mansergh untuk menggantikan Mallaby dan memulihkan kendali di Surabaya.Mansergh datang dengan satu tujuan: menuntut balas dan menundukkan perlawanan rakyat Surabaya dengan cara apapun. Pada 9 November 1945, Mansergh mengeluarkan sebuah ultimatum Inggris yang kejam dan tanpa kompromi. Ultimatum tersebut disebarkan melalui udara dan siaran radio, memberikan waktu hingga pukul 06.00 pagi tanggal 10 November bagi pihak Indonesia untuk mematuhinya.
Menurut catatan dalam Encyclopedia Britannica, ultimatum ini menjadi titik balik yang mengubah konflik menjadi perang kota skala penuh.
Isi ultimatum itu pada intinya adalah penyerahan diri tanpa syarat:
- Seluruh pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan pejabat pemerintahan Indonesia di Surabaya harus melapor dan menyerahkan diri di Bataviaweg.
- Seluruh rakyat Surabaya, kecuali anggota kepolisian, harus menyerahkan semua jenis senjata dan meletakkannya di lokasi yang telah ditentukan.
- Orang-orang yang diduga bertanggung jawab atas pembunuhan Brigjen Mallaby harus diserahkan kepada pasukan Inggris.
- Semua orang Indonesia harus mengangkat tangan di atas kepala jika bertemu dengan pasukan Inggris.
Itu adalah penghinaan terbesar terhadap martabat dan kedaulatan bangsa yang baru saja mereka rebut. Menyerah berarti kembali menjadi bangsa jajahan. Pilihan mereka sudah jelas. Daripada hidup terjajah, mereka lebih memilih mati sebagai manusia merdeka. Surabaya pun bersiap menyambut pertempuran terbesar dalam sejarah revolusi Indonesia.
Arek-Arek Suroboyo Melawan: Lahirnya Semangat 10 November
Menanggapi ultimatum Inggris, Gubernur Soerjo dengan tegas menolaknya.Melalui siaran radio, ia menyerukan perlawanan total. Semangat perlawanan ini digelorakan lebih dahsyat lagi oleh seorang pemuda bernama Sutomo, atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo. Melalui Radio Pemberontakan, suaranya yang berapi-api membakar semangat juang ribuan rakyat.
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!” pekiknya, yang kemudian menjadi salah satu kutipan paling ikonik dalam sejarah Surabaya dan Indonesia.
Pidatonya berhasil menyatukan seluruh elemen masyarakat, dari laskar pejuang hingga rakyat biasa, tua dan muda, pria dan wanita, untuk mengangkat senjata apa saja yang mereka miliki. Tepat pada tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, batas waktu ultimatum berakhir. Langit Surabaya seketika menjadi gelap oleh asap dan api.
Dari laut, kapal-kapal perang Inggris, termasuk kapal penjelajah HMS Sussex, memuntahkan ribuan peluru meriam ke jantung kota. Dari udara, pesawat tempur Mosquito dan Thunderbolt menjatuhkan bom dan memberondong jalanan. Di darat, puluhan tank Sherman dan Stuart beserta 30.000 pasukan darat yang bersenjata lengkap mulai merangsek masuk. Inilah awal dari Pertempuran 10 November.
Inggris mengira perlawanan Surabaya akan bisa dipatahkan dalam tiga hari. Perkiraan itu salah besar. Selama tiga minggu penuh, Arek-Arek Suroboyo bertempur dengan gagah berani. Mereka melawan tank dengan bambu runcing dan granat rakitan. Mereka melakukan taktik gerilya dari gang ke gang, dari rumah ke rumah. Setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah dan nyawa.
Meskipun pada akhirnya kota Surabaya luluh lantak dan jatuh ke tangan Inggris, perlawanan heroik ini mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada dunia: bangsa Indonesia tidak akan pernah menyerah dan siap membayar harga berapapun untuk kemerdekaannya.
Menurut catatan yang dihimpun oleh berbagai sumber, termasuk Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), korban jiwa di pihak Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 16.000 orang, sementara ribuan lainnya mengungsi. Pertempuran 10 November, yang dipicu oleh misteri kematian Brigjen Mallaby di Jembatan Merah, menjadi simbol nasional perlawanan terhadap kolonialisme dan kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Kisah ini adalah pengingat abadi bahwa sejarah seringkali digerakkan oleh peristiwa-peristiwa yang tampak kecil namun memiliki dampak yang luar biasa. Kematian satu orang di sebuah jembatan tua menjadi alasan bagi sebuah imperium untuk mengerahkan kekuatan penuhnya, namun pada saat yang sama, juga menjadi bara yang menyalakan api perjuangan satu bangsa.
Pertempuran Surabaya mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan sesuatu yang harus direbut dan dipertahankan dengan pengorbanan tanpa batas. Memahami detail kelam di balik peristiwa heroik seperti ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan untuk menghargai betapa mahalnya harga kebebasan yang kita nikmati hari ini.
Perjalanan waktu telah membawa kita jauh dari medan pertempuran itu, namun semangat dan keberanian para pahlawan akan selalu relevan sebagai kompas moral bagi generasi penerus bangsa.
Apa Reaksi Anda?






