Sisi Lain Pertempuran Surabaya Kisah Heroik Perempuan dan Laskar Rakyat


Senin, 08 September 2025 - 02.10 WIB
Sisi Lain Pertempuran Surabaya Kisah Heroik Perempuan dan Laskar Rakyat
Kisah Heroik Palagan Surabaya (Foto oleh Pham Yen di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Gema takbir dan pekik “Merdeka atau Mati!” yang disiarkan Bung Tomo melalui radio pada 10 November 1945 seringkali menjadi potret tunggal yang terpatri dalam ingatan kolektif kita tentang Pertempuran Surabaya. Suaranya yang menggelegar memang sukses membakar semangat juang arek-arek Suroboyo.

Namun, di balik mikrofon ikonik itu, sebuah narasi yang jauh lebih besar dan kompleks sedang berlangsung di setiap sudut kota. Ini adalah cerita tentang mereka yang namanya tidak terukir di monumen, para pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi fondasi sesungguhnya dari perlawanan heroik tersebut.

Ini adalah kisah terlupakan tentang peran perempuan dan laskar rakyat, kekuatan sejati yang mengubah Surabaya menjadi neraka bagi pasukan Sekutu. Narasi besar sejarah Indonesia seringkali didominasi oleh tokoh-tokoh sentral, para jenderal, dan politisi. Namun, Pertempuran Surabaya adalah anomali yang indah. Ia adalah bukti sahih bahwa sejarah juga digerakkan oleh massa, oleh rakyat jelata yang bersatu padu karena satu keyakinan.

Kemenangan moral di Surabaya bukanlah hasil dari strategi militer canggih atau persenjataan mutakhir, melainkan buah dari keberanian kolektif yang lahir dari rahim rakyat biasa. Untuk memahami skala perlawanan ini, kita harus menyelami lorong-lorong waktu dan melihat lebih dekat pada dapur umum yang mengepulkan asap di tengah desingan peluru, serta para pemuda kampung dengan bambu runcing yang berdiri di garis depan.

Di Balik Gema Pidato Bung Tomo: Denyut Nadi Perlawanan Rakyat

Ketika pasukan Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya pada akhir Oktober 1945, mereka tidak menyangka akan disambut oleh perlawanan yang begitu sengit. Bagi mereka, tugasnya sederhana, melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka. Namun, mereka keliru membaca denyut nadi kota.

Kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukanlah slogan kosong bagi warga Surabaya. Itu adalah harga mati. Menurut catatan sejarah, puluhan ribu pejuang dari berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalanan. Mereka bukan tentara reguler, melainkan sebuah mozaik kekuatan yang dikenal sebagai laskar rakyat.

Sejarawan seperti Rushdy Hoesein menekankan bahwa kekuatan utama di Surabaya bukanlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru terbentuk dan masih minim pengalaman serta persenjataan. Tulang punggung perlawanan justru adalah badan-badan perjuangan dan laskar rakyat yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

Ada Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo, Pemuda Republik Indonesia (PRI), Laskar Hizbullah dan Sabilillah dari kalangan santri, hingga kelompok-kelompok kecil yang terbentuk secara spontan di tingkat kampung. Kekuatan mereka tidak terletak pada organisasi formal, melainkan pada semangat komunal dan kebencian mendalam terhadap segala bentuk penjajahan.

Ini adalah perang rakyat semesta dalam arti yang sesungguhnya, sebuah kisah terlupakan yang seringkali tereduksi menjadi sekadar pertempuran militer.

Laskar Wanita: Lebih dari Sekadar Juru Masak di Dapur Umum

Dalam panggung sejarah yang didominasi pria, peran perempuan seringkali direduksi menjadi figuran. Mereka dianggap hanya berada di belakang, mendukung dari dapur umum atau sebagai perawat.

Meskipun peran tersebut sangat vital, partisipasi perempuan dalam Pertempuran Surabaya jauh melampaui stereotip itu. Mereka adalah operator logistik, intelijen, sekaligus kombatan yang tidak kalah gigihnya.

Palang Merah dan Dapur Umum: Logistik di Garis Depan

Di tengah kekacauan pertempuran, logistik adalah kunci. Tanpa makanan dan perawatan medis, semangat setinggi apa pun akan runtuh.

Di sinilah peran perempuan menjadi sangat sentral. Ratusan dapur umum didirikan di berbagai penjuru kota, seringkali di lokasi yang sangat dekat dengan medan pertempuran. Perempuan dari segala usia, mulai dari remaja hingga ibu rumah tangga, bekerja tanpa lelah menyediakan makanan bagi ribuan pejuang laskar rakyat. Ini bukan sekadar memasak.

Mereka harus mencari bahan makanan di tengah kota yang terkepung, mengelolanya, dan memastikan distribusinya sampai ke garis depan di bawah ancaman bombardir udara dan darat. Dapur umum menjadi pusat informasi dan simpul sosial yang menjaga moral pejuang.

Di sisi lain, para perempuan yang tergabung dalam Palang Merah Indonesia (PMI) atau menjadi relawan medis dadakan, mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengevakuasi dan merawat pejuang yang terluka. Mereka adalah pahlawan nasional yang bekerja dalam sunyi, memastikan roda perlawanan terus berputar.

Mata-mata dan Kurir Pemberani

Intelijen adalah mata dan telinga dalam perang.

Kemampuan perempuan untuk bergerak tanpa dicurigai dimanfaatkan secara maksimal. Banyak dari mereka yang menyamar sebagai penjual jamu, pedagang pasar, atau warga biasa untuk melewati garis pertahanan musuh, mengumpulkan informasi tentang posisi, kekuatan, dan pergerakan pasukan Inggris. Informasi krusial ini kemudian disampaikan kepada komandan laskar rakyat. Selain sebagai mata-mata, mereka juga menjadi kurir yang andal.

Dengan menyelipkan pesan di dalam sanggul, keranjang belanja, atau bahkan di balik pakaian anak yang digendongnya, para perempuan ini menjadi penghubung vital antarpos perjuangan. Risiko tertangkap dan dieksekusi sangatlah tinggi, namun keberanian mereka tak pernah surut. Ini adalah bagian dari kisah terlupakan yang menunjukkan betapa totalnya perjuangan dalam Pertempuran Surabaya.

Kombatan di Medan Laga

Menentang pandangan konvensional, tidak sedikit perempuan yang ikut mengangkat senjata. Organisasi seperti Laskar Wanita Indonesia (LASWI) dan laskar-laskar perempuan lainnya turut aktif di medan laga. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak pejuang pria, kehadiran mereka memberikan dampak psikologis yang besar. Mereka membuktikan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah panggilan jiwa bagi setiap anak bangsa, tanpa memandang gender.

Catatan mengenai kombatan perempuan dalam sejarah Indonesia seringkali minim, namun keberadaan mereka tak terbantahkan dan menjadi bagian penting dari narasi perlawanan.

Mozaik Laskar Rakyat: Kekuatan dari Berbagai Lapisan Masyarakat

Jika perempuan adalah urat nadi logistik dan intelijen, maka laskar rakyat adalah otot dari perlawanan Surabaya. Keunikan mereka terletak pada keragamannya.

Ini bukan pasukan homogen yang dilatih secara profesional, melainkan gabungan dari berbagai elemen masyarakat yang dipersatukan oleh satu tujuan.

Dari Kuli Pelabuhan hingga Santri Pesantren

Komposisi laskar rakyat mencerminkan wajah masyarakat Surabaya saat itu.

Ada para pemuda kampung yang akrab dengan setiap jengkal gang di kota mereka, para kuli dari Pelabuhan Tanjung Perak yang berbadan kekar dan tak kenal takut, para pelajar dari sekolah menengah yang intelektualitasnya diabdikan untuk perjuangan, hingga para santri dari berbagai pesantren di Jawa Timur yang datang setelah mendengar fatwa Resolusi Jihad dari KH Hasyim Asy'ari.

Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 ini mewajibkan setiap Muslim untuk berperang melawan penjajah, dan ini menjadi pemicu spiritual yang dahsyat, mengubah pertempuran lokal menjadi perang suci mempertahankan tanah air. Keragaman ini, seperti yang diulas dalam banyak studi tentang sejarah Indonesia, adalah kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada jumlah massa yang masif dan semangat yang menyala-nyala.

Kelemahannya adalah kurangnya koordinasi dan disiplin militer. Namun, dalam konteks Pertempuran Surabaya, semangat juang terbukti mampu mengimbangi kelemahan strategis tersebut, setidaknya pada fase-fase awal pertempuran.

Senjata Seadanya, Semangat Membara

Kontras antara pejuang Surabaya dan pasukan Sekutu begitu mencolok. Di satu sisi, ada pasukan Inggris yang didukung oleh tank Sherman, artileri berat, kapal perang, dan pesawat tempur.

Di sisi lain, ada laskar rakyat yang persenjataannya sangat terbatas. Senjata utama mereka adalah bambu runcing, pedang, parang, dan berbagai senjata tajam tradisional lainnya. Sebagian kecil memiliki senjata api, kebanyakan hasil rampasan dari tentara Jepang.

Sebagaimana didokumentasikan dalam berbagai arsip, termasuk yang tersimpan di Imperial War Museums di Inggris, pihak Sekutu sangat terkejut dengan keberanian nekat para pejuang ini. Namun, keterbatasan senjata tidak menyurutkan nyali mereka. Semangat “bonek” (bondo nekat atau modal nekat) khas arek-arek Suroboyo menjadi senjata paling mematikan.

Mereka melakukan taktik gerilya kota, serangan mendadak, dan bahkan serangan bunuh diri dengan menabrakkan diri ke tank musuh. Pertempuran ini bukanlah perang konvensional. Ini adalah ledakan amarah kolektif rakyat yang merasa kemerdekaannya akan direbut kembali. Setiap gang menjadi benteng, setiap rumah menjadi pos pertahanan, dan setiap warga menjadi tentara.

Kisah yang Tercecer dari Arsip Sejarah

Menelusuri nama-nama individu dalam barisan laskar rakyat dan pejuang perempuan adalah tugas yang sulit. Sifat pergerakan yang spontan dan kacau, ditambah dengan hancurnya sebagian besar catatan sipil kota, membuat banyak dari kisah terlupakan ini hilang ditelan zaman. Nama mereka mungkin tidak tercatat, namun aksi kolektif mereka terpatri abadi dalam sejarah Indonesia.

Upaya penelusuran sejarah lisan dari para veteran yang tersisa menjadi sangat krusial. Dalam buku seperti "Surabaya 1945: Sakral Tanahku" karya Frank Palmos, tergambar jelas betapa pertempuran ini adalah milik rakyat. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) juga menyimpan fragmen-fragmen kesaksian yang jika dirangkai akan membentuk sebuah mozaik perjuangan rakyat yang luar biasa.

Meskipun setiap upaya telah dilakukan untuk memastikan akurasi berdasarkan catatan sejarah yang tersedia, beberapa detail dari kisah-kisah lisan ini mungkin memiliki variasi, namun esensinya tetap sama, yaitu perjuangan habis-habisan dari rakyat biasa.

Sejarawan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada seringkali menekankan pentingnya melihat Pertempuran Surabaya bukan hanya sebagai peristiwa militer pada 10 November, tetapi sebagai sebuah proses sosial-politik yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Dari sini kita belajar bahwa gelar pahlawan nasional tidak hanya milik mereka yang memegang pangkat tinggi, tetapi juga melekat pada setiap perempuan yang memasak di dapur umum, setiap pemuda yang berlari mengantar pesan, dan setiap warga yang menolak menyerah di hadapan kekuatan raksasa. Mereka adalah arsitek tak terlihat dari kedaulatan bangsa.

Mengapa Kisah Mereka Penting Hari Ini?

Di era digital yang serba cepat, di mana narasi seringkali disederhanakan menjadi cuitan singkat atau infografis, memahami kompleksitas Pertempuran Surabaya menjadi semakin relevan. Kisah-kisah yang terlupakan ini mengajarkan kita tentang kekuatan kolektif.

Bahwa perubahan besar dan pertahanan atas nilai-nilai luhur tidak selalu datang dari atas, dari para elite, melainkan seringkali lahir dari inisiatif dan pengorbanan masyarakat biasa. Bagi generasi muda, profesional, dan siapa pun yang peduli pada masa depan bangsa, kisah terlupakan dari laskar rakyat dan peran perempuan ini memberikan inspirasi yang kuat.

Ini adalah pengingat bahwa setiap individu memiliki peran. Keberanian tidak selalu berarti mengangkat senjata di medan perang. Keberanian bisa berarti menyuarakan kebenaran, membangun komunitas yang solid, bekerja keras dengan integritas, atau sekadar peduli pada sesama. Semangat arek-arek Suroboyo yang menolak tunduk pada ketidakadilan adalah warisan yang harus terus kita jaga.

Mereka menunjukkan bahwa dengan persatuan dan semangat yang tak kenal menyerah, hal yang mustahil pun bisa diperjuangkan. Memahami sejarah bukan sekadar menghafal tanggal dan nama. Ini adalah tentang menarik pelajaran dari perjalanan panjang sebuah bangsa. Kisah para pejuang tak dikenal dari Pertempuran Surabaya adalah cermin bagi kita semua.

Mereka adalah bukti bahwa patriotisme sejati adalah tindakan nyata, sekecil apa pun, yang dilakukan demi kebaikan bersama. Jejak pengorbanan mereka, para pahlawan tanpa nama, selamanya menjadi bagian dari DNA bangsa Indonesia, sebuah pengingat abadi tentang harga sebuah kemerdekaan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0