Sumpah Palapa Terungkap: Bukan Sekadar Janji, Inilah Strategi Brilian Gajah Mada Menaklukkan Nusantara


Sabtu, 30 Agustus 2025 - 12.50 WIB
Sumpah Palapa Terungkap: Bukan Sekadar Janji, Inilah Strategi Brilian Gajah Mada Menaklukkan Nusantara
Ambisi Gajah Mada Satukan Nusantara. (Foto oleh Siborey Sean di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pada suatu hari di tahun 1336 Masehi, di balairung agung Kerajaan Majapahit, seorang pria berdiri tegak dengan tatapan mata yang menyiratkan keteguhan tak tergoyahkan.

Di hadapan Ratu Tribhuwana Tunggadewi dan para pembesar kerajaan, ia, yang baru saja dilantik menjadi Mahapatih Amangkubhumi, mengucapkan sebuah ikrar yang akan menggema sepanjang zaman. Pria itu adalah Gajah Mada, dan sumpahnya dikenal sebagai Sumpah Palapa.

Ini bukanlah sekadar janji emosional sesaat, melainkan sebuah proklamasi visi geopolitik yang luar biasa ambisius, sebuah cetak biru untuk melakukan penyatuan Nusantara di bawah satu kekuasaan: Kerajaan Majapahit.

Ikrar Gajah Mada ini, seperti yang tercatat dalam kitab Pararaton, berbunyi, “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” Terjemahan bebasnya adalah, “Jika telah berhasil menaklukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat.

Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik telah takluk, saya baru akan beristirahat.” Sumpah Palapa menjadi titik tolak dari sebuah era ekspansi militer dan diplomasi yang paling agresif dalam sejarah Majapahit.

Konteks Sejarah: Siapa Gajah Mada Sebelum Sumpah Palapa?

Untuk memahami betapa dahsyatnya Sumpah Palapa, kita harus melihat sosok Gajah Mada dan kondisi Kerajaan Majapahit pada saat itu. Gajah Mada bukanlah bangsawan yang lahir dengan sendok perak. Ia merintis kariernya dari bawah sebagai seorang komandan pasukan pengawal raja, Bhayangkara.

Namanya mulai mencuat saat berhasil menyelamatkan Raja Jayanegara dari pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319. Dengan kecerdasan dan strateginya, Gajah Mada menyembunyikan raja dan menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontakan, mengembalikan Jayanegara ke takhta. Kesetiaan dan kemampuannya yang luar biasa membawanya naik pangkat.

Setelah Jayanegara mangkat, Gajah Mada berperan penting dalam menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta, yang semakin mengukuhkan posisinya di mata Ratu Tribhuwana Tunggadewi, pengganti Jayanegara. Pada tahun 1334, ia diangkat menjadi Patih di Kahuripan, dan dua tahun kemudian, saat pelantikan resminya sebagai Mahapatih Majapahit, ia mengucapkan Sumpah Palapa yang legendaris itu.

Ikrar Gajah Mada ini menjadi deklarasi politik yang menunjukkan bahwa era kepemimpinannya akan membawa Kerajaan Majapahit ke puncak kejayaan. Latar belakangnya yang bukan dari kalangan elite utama justru menjadi bahan bakar ambisinya untuk membuktikan kapabilitas dan loyalitasnya melalui sebuah pencapaian monumental: penyatuan Nusantara.

Momen Ikrar Sakral: Analisis Teks Sumpah Palapa dalam Pararaton

Kitab Pararaton menjadi sumber utama yang merekam detik-detik pengucapan Sumpah Palapa. Teks ikrar tersebut bukan hanya daftar wilayah yang harus ditaklukkan, melainkan sebuah manifesto politik. Istilah “amukti palapa” sendiri menjadi subjek perdebatan di kalangan sejarawan.

Secara harfiah, frasa ini bisa diartikan “menikmati buah palapa”, yang kemudian ditafsirkan sebagai menikmati istirahat, kesenangan duniawi, atau mengambil cuti dari jabatannya. Dengan kata lain, Gajah Mada bersumpah untuk tidak menikmati hak-haknya sebagai pejabat tinggi sebelum misinya tuntas. Ini menunjukkan dedikasi total seorang negarawan.

Wilayah-wilayah yang disebutkan dalam Sumpah Palapa Gurun (diperkirakan di Kepulauan Maluku), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Semenanjung Malaya), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (pusat Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura) adalah representasi kekuatan politik dan ekonomi penting di kawasan pada abad ke-14. Penaklukan wilayah ini berarti menguasai jalur-jalur perdagangan strategis dan pusat-pusat kekuatan regional.

Pemilihan wilayah ini menunjukkan pemahaman mendalam Gajah Mada tentang peta geopolitik Asia Tenggara saat itu. Penyatuan Nusantara dalam visinya adalah sebuah keniscayaan untuk menjadikan Kerajaan Majapahit sebagai adidaya yang tak tertandingi. Sejarah Majapahit sebelum dan sesudah sumpah ini menunjukkan perubahan drastis dalam orientasi politik luar negerinya.

Nusantara dalam Visi Gajah Mada: Bukan Sekadar Penaklukan, Melainkan Integrasi

Ambisi Gajah Mada sering kali disalahartikan sebagai penaklukan brutal semata. Namun, banyak sejarawan, seperti yang diungkapkan dalam berbagai analisis sejarah Indonesia, berpendapat bahwa visi penyatuan Nusantara lebih kompleks. Program politik Gajah Mada, yang terangkum dalam Sumpah Palapa, kemungkinan besar menggabungkan kekuatan militer (ekspedisi pamalayu), diplomasi, dan ikatan perkawinan.

Konsep “mitreka satata” atau “persahabatan setara” yang tercatat dalam Nagarakretagama menunjukkan bahwa hubungan Majapahit dengan kerajaan-kerajaan lain tidak selalu bersifat penaklukan. Beberapa kerajaan mungkin menjadi negara bawahan (vasal) yang tetap memiliki otonomi internal namun mengakui kedaulatan Majapahit dan membayar upeti.

Konsep Nusantara sendiri pada masa itu, menurut analisis dari Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, merujuk pada “pulau-pulau lain” di luar Jawa yang berada di bawah pengaruh budaya Jawa. Visi Gajah Mada adalah mengintegrasikan kekuatan-kekuatan ini ke dalam satu sistem politik dan ekonomi yang terpusat di Majapahit.

Dengan menguasai jalur rempah-rempah dan pusat perdagangan, Kerajaan Majapahit dapat mencapai kemakmuran luar biasa. Sumpah Palapa, dengan demikian, adalah sebuah strategi besar untuk membangun hegemoni maritim yang akan mendominasi Asia Tenggara. Sejarah Majapahit membuktikan bahwa sebagian besar program ini berhasil diwujudkan di bawah kepemimpinan Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk.

Realisasi Ambisi: Ekspedisi Militer dan Diplomasi Majapahit

Setelah mengucapkan Sumpah Palapa, Gajah Mada tidak membuang waktu. Ia segera melancarkan serangkaian kampanye militer dan misi diplomatik. Bali adalah salah satu target pertama yang berhasil ditaklukkan pada tahun 1343 setelah perlawanan sengit. Penaklukan Bali menjadi kunci untuk mengamankan wilayah timur.

Selanjutnya, ekspedisi diarahkan ke Sumatra untuk menundukkan sisa-sisa kekuatan Sriwijaya di Palembang dan kerajaan-kerajaan lain seperti Haru. Di bawah komando Laksamana Nala, armada laut Majapahit menjadi kekuatan yang ditakuti di perairan Nusantara. Satu per satu wilayah yang disebutkan dalam Sumpah Palapa berhasil dikuasai, baik melalui kekuatan militer maupun melalui jalur diplomasi yang cerdik.

Tumasik (Singapura), sebuah pelabuhan dagang yang ramai, juga berhasil dikendalikan. Menurut catatan Encyclopedia Britannica, pengaruh Majapahit di bawah Gajah Mada meluas hingga mencakup sebagian besar wilayah Indonesia modern dan sebagian Semenanjung Malaya. Ikrar Gajah Mada yang semula dianggap sebagai bualan oleh beberapa pejabat kerajaan, perlahan tapi pasti menjadi kenyataan.

Keberhasilan ini tidak hanya karena kehebatan militer, tetapi juga kemampuan Gajah Mada dalam mengelola administrasi kerajaan dan memastikan logistik perang berjalan lancar. Penyatuan Nusantara ini membawa Kerajaan Majapahit ke puncak masa keemasannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.

Kontroversi dan Tafsir Ulang: Apakah Sumpah Palapa Benar-Benar Terwujud?

Meski pencapaian Gajah Mada sangat fenomenal, pemenuhan Sumpah Palapa masih menjadi perdebatan.

Salah satu tantangan terbesar adalah Kerajaan Sunda. Peristiwa Bubat pada tahun 1357 menjadi noda hitam dalam upaya penyatuan ini. Rombongan Kerajaan Sunda yang datang ke Majapahit untuk mengantar Putri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk justru berakhir tragis. Gajah Mada menuntut Sunda untuk tunduk sebagai negara bawahan, sebuah permintaan yang ditolak mentah-mentah oleh pihak Sunda.

Pertempuran tak seimbang pun terjadi, menewaskan seluruh rombongan Kerajaan Sunda. Peristiwa ini merusak hubungan Majapahit dan Sunda secara permanen. Akibatnya, Sunda tidak pernah benar-benar takluk di bawah Majapahit, menimbulkan pertanyaan apakah Sumpah Palapa sepenuhnya terpenuhi. Interpretasi terhadap sumber-sumber sejarah seperti Pararaton dan Nagarakretagama juga perlu dilakukan secara kritis.

Pararaton, yang lebih berfokus pada mitos dan kisah raja-raja, mungkin melebih-lebihkan beberapa aspek cerita. Sebaliknya, Nagarakretagama, yang ditulis pada masa kejayaan Hayam Wuruk, cenderung mengagungkan pencapaian kerajaan. Oleh karena itu, klaim tentang luas wilayah kekuasaan Majapahit harus dipandang dengan pemahaman bahwa catatan sejarah kuno sering kali mengandung unsur politis dan sastrawi, bukan laporan faktual murni.

Terlepas dari perdebatan ini, tidak dapat disangkal bahwa Sumpah Palapa adalah motor penggerak yang membawa Kerajaan Majapahit menjadi imperium terbesar dalam sejarah Indonesia pramodern. Kisah Sumpah Palapa dan Gajah Mada bukan hanya catatan tentang penaklukan dan kekuasaan. Ini adalah cerminan dari sebuah visi besar, tentang bagaimana ambisi dan tekad yang kuat dapat mengubah jalannya sejarah.

Ikrar Gajah Mada mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki tujuan yang melampaui kepentingan pribadi, sebuah cita-cita untuk persatuan dan kebesaran. Meski terpisahkan oleh ratusan tahun, semangat untuk menyatukan keberagaman dalam satu panji kebesaran masih relevan hingga hari ini.

Mempelajari Sumpah Palapa adalah memahami bahwa sejarah tidak hanya terdiri dari tanggal dan peristiwa, tetapi juga impian, strategi, dan pengorbanan manusia yang membentuk dunia tempat kita hidup sekarang.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0