TikTok dan Meta Terancam Sanksi UU ITE Jika Gagal Atasi Disinformasi


Senin, 01 September 2025 - 08.25 WIB
TikTok dan Meta Terancam Sanksi UU ITE Jika Gagal Atasi Disinformasi
Ancaman Sanksi UU ITE (Foto oleh Volodymyr Hryshchenko di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Era di mana platform media sosial bisa lepas tangan dari konten berbahaya yang beredar di dalamnya tampaknya akan segera berakhir di Indonesia.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih kita kenal sebagai UU ITE, raksasa teknologi seperti TikTok dan Meta (induk perusahaan Facebook, Instagram, dan WhatsApp) kini berada di bawah pengawasan ketat. Jika mereka gagal membendung arus disinformasi dan konten negatif lainnya, serangkaian sanksi platform digital yang serius sudah menanti.

Ini bukan lagi sekadar imbauan moral, melainkan kewajiban hukum yang punya konsekuensi nyata.

Membedah Aturan Main Baru dalam UU ITE

Perubahan terbaru dalam UU ITE secara spesifik menargetkan tanggung jawab Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), istilah hukum untuk penyedia platform digital seperti TikTok dan Meta.

Fokus utamanya ada pada beberapa pasal baru yang memberikan pemerintah gigi lebih tajam untuk menindak penyebaran konten ilegal. Salah satu pasal krusial adalah Pasal 40A. Pasal ini mewajibkan PSE untuk melakukan pemutusan akses atau takedown terhadap informasi dan dokumen elektronik yang melanggar hukum. Apa saja yang termasuk konten terlarang?

Daftarnya cukup panjang, mulai dari yang jelas ilegal seperti pornografi anak, terorisme, dan perjudian online, hingga area yang lebih abu-abu seperti ujaran kebencian berdasarkan SARA, pencemaran nama baik, dan yang paling relevan saat ini, menyebarkan hoaks atau disinformasi yang meresahkan masyarakat.

Regulasi ini memberikan wewenang kepada kementerian atau lembaga terkait, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk mengirimkan permintaan takedown. Platform kemudian diberi waktu yang sangat singkat untuk merespons. Untuk konten yang dianggap sangat mendesak seperti terorisme atau pornografi anak, tenggat waktunya adalah 4 jam. Untuk konten lain seperti hoaks atau disinformasi, waktunya adalah 1x24 jam.

Kegagalan mematuhi tenggat waktu inilah yang menjadi pintu masuk bagi berbagai sanksi platform digital. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong, dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa aturan ini dibuat untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan aman bagi warga negara.

Menurutnya, platform yang beroperasi dan meraup keuntungan di Indonesia wajib tunduk pada hukum yang berlaku di negara ini. Ini adalah pergeseran paradigma, dari yang semula hanya mengandalkan sensor mandiri oleh platform, kini menjadi kewajiban yang bisa dipaksakan oleh negara. Hal ini menjadi sangat penting untuk menjaga level keamanan siber nasional.

Deretan Sanksi yang Siap Menjerat TikTok dan Meta

Jadi, apa yang sebenarnya akan terjadi jika TikTok atau Meta dianggap lalai? UU ITE yang baru, bersama dengan peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, telah menyiapkan sanksi administratif yang bersifat bertahap. Ini bukan sekadar teguran biasa, melainkan ancaman nyata bagi kelangsungan bisnis mereka di Indonesia.

Berikut adalah tahapan sanksi platform digital yang bisa dijatuhkan:

  • Teguran Tertulis: Ini adalah langkah awal. Kominfo akan mengirimkan surat peringatan resmi kepada platform yang tidak mematuhi permintaan takedown. Teguran ini menjadi catatan formal atas pelanggaran yang dilakukan.
  • Denda Administratif: Jika teguran diabaikan, sanksi berikutnya adalah denda. Besaran denda ini bisa sangat signifikan.

    Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi pernah menyebutkan potensi denda hingga Rp500 juta untuk setiap konten yang gagal ditangani, terutama terkait judi online. Angka ini bisa terakumulasi dengan cepat jika pelanggaran terjadi berulang kali.

  • Pemutusan Akses Sementara: Ini adalah eskalasi yang serius.

    Jika denda juga tidak efektif, pemerintah bisa memerintahkan penyedia layanan internet (ISP) di seluruh Indonesia untuk memblokir akses ke platform tersebut. Bayangkan jika suatu hari Anda tidak bisa membuka Instagram atau TikTok. Dampak finansial dan reputasi bagi perusahaan akan sangat besar.

  • Pencabutan dari Daftar PSE: Inilah sanksi pamungkas.

    Platform yang dicabut statusnya sebagai PSE Terdaftar di Kominfo akan dianggap ilegal. Operasi mereka di Indonesia secara efektif dihentikan. Ini adalah opsi nuklir yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menegakkan aturan terkait disinformasi dan konten ilegal lainnya.

Penting untuk dicatat, penafsiran dan penerapan pasal-pasal ini di lapangan bisa bervariasi dan masih akan terus berkembang seiring dengan munculnya kasus-kasus baru.

Namun, kerangka hukumnya sudah jelas, menempatkan tanggung jawab penuh pada platform untuk proaktif dalam memoderasi konten yang merugikan.

Mengapa Disinformasi Menjadi Musuh Bersama?

Untuk memahami mengapa pemerintah begitu keras terhadap disinformasi, kita perlu melihat dampaknya yang merusak. Indonesia memiliki pengalaman pahit terkait penyebaran hoaks, terutama selama periode kontestasi politik seperti Pemilu.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kominfo, selama periode Pemilu 2024 saja, ditemukan ribuan isu hoaks yang beredar di berbagai platform media sosial. Disinformasi bukan sekadar berita bohong. Ia dirancang untuk memanipulasi opini publik, memecah belah masyarakat, mendelegitimasi institusi demokrasi, dan bahkan memicu kekerasan di dunia nyata.

Kita melihat buktinya pada kerusuhan Mei 2019 di Jakarta, yang sebagian dipicu oleh provokasi dan hoaks yang menyebar cepat melalui platform seperti Facebook dan WhatsApp milik Meta. Efeknya nyata dan berbahaya, mengancam stabilitas sosial dan politik.

Lebih dari itu, dampak disinformasi merambah ke berbagai sektor:

  • Kesehatan: Hoaks anti-vaksin atau informasi sesat tentang COVID-19 telah membahayakan kesehatan publik dan menghambat upaya penanganan pandemi.
  • Ekonomi: Penipuan online, skema investasi bodong, hingga promosi judi online ilegal merugikan masyarakat secara finansial.

    Ini menjadi masalah serius yang menggerogoti keamanan siber individu.

  • Sosial: Narasi kebencian dan intoleransi yang dibungkus dalam disinformasi dapat merusak kerukunan antarumat beragama dan antarsuku yang telah lama terbangun di Indonesia.
Kecanggihan teknologi, terutama dengan munculnya kecerdasan buatan (AI) yang bisa menciptakan deepfake (video atau audio palsu yang sangat realistis), membuat perang melawan disinformasi menjadi semakin sulit.

Inilah mengapa menekan platform sebagai garda terdepan menjadi strategi yang diambil pemerintah melalui revisi UU ITE.

Suara Ahli dan Pemerintah tentang Tanggung Jawab Platform

Pemerintah secara konsisten menyuarakan bahwa platform digital tidak bisa lagi berlindung di balik argumen bahwa mereka hanyalah penyedia teknologi.

Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi, berulang kali menyatakan, "Platform harus bertanggung jawab atas konten yang ada di dalamnya. Mereka meraup keuntungan ekonomi dari Indonesia, maka mereka harus patuh pada regulasi di Indonesia." Pernyataan ini menggarisbawahi pergeseran filosofi regulasi, di mana tanggung jawab kurasi konten kini dilekatkan pada platform. Namun, kebijakan ini juga menuai catatan kritis dari para pegiat hak digital.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) adalah beberapa organisasi yang menyuarakan kekhawatiran. Mereka khawatir bahwa pasal-pasal dalam UU ITE, terutama yang berkaitan dengan pemblokiran konten, bisa menjadi "pasal karet" yang multitafsir. Ada risiko wewenang ini disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau suara-suara oposisi yang sah.

Menurut SAFEnet, tanpa mekanisme pengawasan yang transparan dan independen, kewenangan super besar pemerintah untuk memerintahkan takedown bisa mengancam kebebasan berekspresi. Para ahli hukum siber juga menyoroti tantangan teknis dalam implementasinya. Menentukan apakah sebuah informasi adalah disinformasi atau sekadar opini yang berbeda sering kali tidak mudah.

Proses ini membutuhkan pemahaman konteks budaya dan bahasa yang mendalam, sesuatu yang mungkin sulit dilakukan oleh moderator konten yang berbasis di luar negeri atau oleh algoritma sekalipun. Oleh karena itu, kolaborasi antara platform, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi kunci agar penegakan hukum UU ITE tidak salah sasaran dan justru mengorbankan hak-hak sipil warga negara.

Langkah Proaktif yang Harus Diambil TikTok dan Meta

Dengan adanya ancaman sanksi platform digital yang jelas, TikTok dan Meta tidak punya pilihan selain berbenah diri. Sekadar reaktif terhadap permintaan pemerintah tidak akan cukup. Mereka perlu membangun sistem yang lebih kuat dan proaktif untuk mendeteksi dan menangani disinformasi sebelum menyebar luas.

Beberapa langkah yang diharapkan dari mereka antara lain:

Peningkatan Kapasitas Moderasi Lokal

Platform harus berinvestasi lebih besar pada tim moderator yang memahami bahasa, budaya, dan konteks sosial-politik Indonesia. Moderator ini krusial untuk bisa membedakan antara kritik, satire, dan hoaks yang berbahaya. Algoritma saja tidak akan pernah cukup untuk tugas yang sangat kontekstual ini.

Transparansi Algoritma

Salah satu kritik terbesar terhadap platform media sosial adalah cara kerja algoritma mereka yang misterius. Algoritma yang didesain untuk memaksimalkan engagement sering kali justru ikut menyebarkan konten yang sensasional dan provokatif, termasuk disinformasi. Memberikan transparansi lebih tentang cara kerja algoritma dan memberikan pengguna kontrol lebih besar atas feed mereka bisa menjadi langkah positif.

Kolaborasi dengan Pihak Ketiga

Memperkuat kerja sama dengan organisasi pemeriksa fakta lokal yang kredibel, seperti Mafindo atau jaringan CekFakta, sangat penting. Dengan mengintegrasikan hasil pemeriksaan fakta mereka, platform bisa memberi label pada konten yang terbukti hoaks dan mengurangi penyebarannya. Kolaborasi dengan lembaga riset dan akademisi juga dapat membantu memahami pola penyebaran disinformasi untuk mitigasi yang lebih baik.

Edukasi dan Literasi Digital Pengguna

Perang melawan hoaks tidak bisa dimenangkan hanya oleh pemerintah dan platform. Pengguna adalah garda terdepan. Seperti yang disampaikan oleh Kominfo, kampanye "saring sebelum sharing" harus terus digalakkan.

TikTok dan Meta dapat berperan aktif dengan mempromosikan konten literasi digital, menyediakan fitur pelaporan yang mudah diakses, dan memberikan peringatan kepada pengguna sebelum mereka membagikan informasi yang telah teridentifikasi sebagai disinformasi. Peningkatan keamanan siber personal juga menjadi kunci.

Apa Artinya Semua Ini Bagi Kita, Para Pengguna?

Pada akhirnya, pemberlakuan UU ITE yang lebih ketat ini akan berdampak langsung pada pengalaman kita berselancar di dunia maya. Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Harapannya, linimasa kita akan menjadi lebih bersih dari konten-konten sampah, penipuan, ujaran kebencian, dan tentu saja, hoaks.

Ruang digital yang lebih sehat akan membuat kita lebih nyaman dan aman dalam berinteraksi dan mencari informasi. Namun di sisi lain, kita juga perlu tetap waspada. Pengawasan yang terlalu ketat berpotensi menimbulkan 'chilling effect', di mana orang menjadi takut untuk menyuarakan pendapat kritis karena khawatir dianggap melanggar hukum. Keseimbangan antara memberantas konten ilegal dan melindungi kebebasan berekspresi adalah tantangan terbesar.

Sebagai pengguna, peran kita menjadi semakin penting. Kita tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga penjaga akal sehat. Membekali diri dengan kemampuan berpikir kritis, memverifikasi informasi sebelum membagikannya, dan secara aktif melaporkan disinformasi adalah kontribusi nyata yang bisa kita berikan untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih baik dan menjaga tingkat keamanan siber bersama.

Regulasi baru ini menandai babak baru dalam hubungan antara negara dan raksasa teknologi di Indonesia. Bola kini ada di tangan TikTok dan Meta. Apakah mereka akan mematuhi aturan main baru dan mengambil tanggung jawabnya dengan serius, atau justru mengambil risiko menghadapi sanksi platform digital yang bisa mengancam eksistensi mereka di salah satu pasar digital terbesar di dunia.

Langkah yang mereka ambil tidak hanya akan menentukan nasib bisnis mereka, tetapi juga masa depan ruang diskusi publik dan demokrasi di era digital Indonesia. Penegakan UU ITE ini menjadi pertaruhan besar bagi semua pihak yang terlibat. Satu hal yang pasti, era kebebasan tanpa tanggung jawab bagi platform digital telah berakhir.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0