Ada Sisi Lain di Balik Pertermpuran Surabaya 10 November Silam!

Oleh VOXBLICK

Jumat, 22 Agustus 2025 - 07.35 WIB
Ada Sisi Lain di Balik Pertermpuran Surabaya 10 November Silam!
Heroisme Pertempuran Surabaya 1945 (Foto oleh Duncan Kidd di Unsplash).

Api dalam Sekam: Euforia Kemerdekaan di Ujung Tanduk

VOXBLICK.COM - Surabaya pada September dan Oktober 1945 adalah sebuah kuali yang mendidih. Euforia proklamasi Kemerdekaan Indonesia masih terasa pekat di udara, namun di bawah permukaan, ketegangan merayap seperti sulur. Para pemuda, yang dikenal dengan sebutan arek-arek Suroboyo, dengan semangat membara melucuti persenjataan tentara Jepang dan membentuk badan-badan perjuangan. Kota ini menjadi salah satu basis pertahanan republik yang paling kuat. Namun, bara api ini segera tersulut ketika pasukan Sekutu di bawah bendera Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), yang didominasi oleh tentara Inggris, mendarat pada akhir Oktober 1945. Misi awal mereka, seperti yang tertuang dalam pamflet yang disebar dari udara, adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang. Namun, kehadiran Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang membonceng pasukan Sekutu membangkitkan kecurigaan. Bagi arek-arek Suroboyo, ini adalah sinyal bahaya kembalinya kolonialisme. Peristiwa ini menjadi titik awal dari apa yang akan dikenang dalam Sejarah Indonesia sebagai Pertempuran Surabaya, sebuah babak monumental dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Insiden yang Menyulut Amarah: Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby

Kesepakatan awal antara pemimpin Indonesia di Surabaya dengan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, komandan Brigade 49 India Inggris, dengan cepat terkoyak. Kontak senjata sporadis meletus di berbagai sudut kota.

Pada 27 Oktober 1945, situasi memanas ketika pasukan Inggris menduduki objek-objek vital dan mulai menyebarkan pamflet yang memerintahkan rakyat Surabaya menyerahkan senjata. Perintah ini dianggap sebagai penghinaan dan pengkhianatan terhadap kesepakatan. Perlawanan rakyat pun meledak secara serentak dan masif. Selama tiga hari, dari 28 hingga 30 Oktober, pertempuran sengit berkecamuk. Pasukan Inggris yang berpengalaman dalam Perang Dunia II dibuat kewalahan oleh militansi arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan segala yang mereka miliki, dari senapan rampasan hingga bambu runcing. Melihat situasi yang kritis, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Amir Sjarifuddin terbang ke Surabaya untuk menengahi gencatan senjata. Pada 30 Oktober, sebuah kesepakatan damai berhasil dicapai. Namun, sore harinya, sebuah insiden tragis terjadi di dekat Jembatan Merah. Mobil yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby dikepung oleh massa pejuang. Terjadi baku tembak, dan di tengah kekacauan itu, Mallaby tewas. Kematiannya masih diselimuti misteri hingga hari ini, namun bagi pihak Inggris, ini adalah titik di mana tidak ada lagi jalan untuk kembali. Peristiwa ini menjadi pembenaran bagi mereka untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Surabaya, sebuah serangan yang akan mengubah jalannya Sejarah Indonesia.

Ultimatum yang Ditolak dan Gema Suara Bung Tomo

Kematian Mallaby memicu kemarahan besar di pihak Sekutu.

Mayor Jenderal Robert Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum yang keras pada 9 November 1945. Isinya menuntut agar semua pemimpin Indonesia dan para pemuda di Surabaya menyerahkan diri tanpa syarat dengan tangan di atas kepala, serta menyerahkan seluruh senjata mereka paling lambat pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Jika tidak, Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara. Ultimatum ini disambut dengan penolakan mentah-mentah. Gubernur Suryo, pemimpin sipil Jawa Timur, dengan tegas menolak ultimatum tersebut melalui siaran radio, menyatakan bahwa arek-arek Suroboyo akan mempertahankan kota sampai titik darah penghabisan demi Kemerdekaan Indonesia. Di tengah suasana genting inilah, seorang pemuda bernama Sutomo, atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo, tampil menggetarkan jiwa. Melalui siaran Radio Pemberontakan, suaranya yang berapi-api membakar semangat perlawanan rakyat. Pekik Merdeka atau Mati! yang diserukannya bukan sekadar slogan, melainkan sumpah yang merasuk ke dalam sanubari setiap pejuang. Orasi Bung Tomo menjadi bahan bakar yang mengubah ketakutan menjadi keberanian, menjadikan Pertempuran Surabaya sebagai simbol perlawanan tanpa kompromi. "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!" gemanya melalui corong radio, mempersiapkan seluruh kota untuk menghadapi pertempuran paling dahsyat dalam sejarah revolusi.

Gempuran Tiga Matra: Neraka di Kota Pahlawan

Tepat pada pukul 06.00 pagi, 10 November 1945, langit Surabaya bergemuruh. Kapal-kapal perang Inggris di pelabuhan Tanjung Perak melepaskan tembakan meriam bertubi-tubi, diikuti oleh pesawat-pesawat tempur yang menjatuhkan bom di pusat kota. Dari darat, ribuan tentara Gurkha dan Inggris dengan dukungan tank-tank Stuart bergerak maju. Dimulailah Pertempuran Surabaya, sebuah pertempuran kota yang brutal dan tidak seimbang. Di satu sisi, berdiri kekuatan militer modern pemenang Perang Dunia II dengan persenjataan lengkap. Di sisi lain, ribuan arek-arek Suroboyo, laskar rakyat, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang bersenjatakan senapan rampasan, pistol tua, granat rakitan, bambu runcing, dan tekad baja. Selama tiga minggu, kota ini berubah menjadi medan perang yang mengerikan. Pertempuran berlangsung dari gedung ke gedung, dari gang ke gang. Para pejuang memanfaatkan setiap sudut kota sebagai benteng pertahanan. Meskipun kalah dalam persenjataan, semangat perlawanan rakyat tidak pernah padam. Pertempuran ini menunjukkan kepada dunia bahwa Kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan bukanlah hadiah, melainkan sesuatu yang siap dipertahankan dengan darah dan nyawa. Menurut catatan sejarah yang dihimpun, seperti yang diulas dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diperkirakan sekitar 16.000 pejuang dan rakyat sipil gugur, sementara pihak Inggris kehilangan sekitar 2.000 prajurit. Angka ini, meskipun bervariasi di berbagai sumber, menunjukkan betapa dahsyatnya pertempuran ini, yang kelak menjadi alasan utama penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Tokoh-Tokoh Kunci di Balik Perlawanan Heroik

Keberanian dalam Pertempuran Surabaya tidak lahir dari ruang hampa. Ada tokoh-tokoh kunci yang perannya sangat vital dalam mengoordinasikan dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat yang luar biasa ini.

Bung Tomo: Sang Orator Pembakar Semangat

Nama Bung Tomo tidak bisa dipisahkan dari Pertempuran Surabaya. Ia bukanlah seorang komandan militer, melainkan seorang jurnalis dan orator ulung. Melalui Radio Pemberontakan, suaranya menjadi penyambung lidah seluruh arek-arek Suroboyo.

Orasinya yang penuh emosi dan semangat nasionalisme mampu mengubah keraguan menjadi keyakinan dan ketakutan menjadi keberanian yang tak terbatas. Peran Bung Tomo adalah bukti bahwa dalam perang, kekuatan kata-kata bisa sama mematikannya dengan peluru. Ia adalah jantung dari perlawanan rakyat.

Gubernur Suryo: Pemimpin Sipil yang Tegas

Sebagai Gubernur Jawa Timur, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau Gubernur Suryo menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Ia adalah sosok yang secara resmi menolak ultimatum Inggris.

Pidatonya di radio RRI pada malam 9 November 1945 memberikan legitimasi politik dan moral bagi perlawanan arek-arek Suroboyo. Keputusannya yang berani menunjukkan kesatuan antara pemimpin sipil dan kekuatan perjuangan bersenjata, sebuah elemen krusial dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Moestopo: Komandan BKR yang Gigih

Mayor Jenderal Moestopo, seorang dokter gigi yang beralih menjadi pemimpin militer, adalah salah satu figur sentral dalam komando pertahanan kota.

Sebagai Kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kota Surabaya, ia bertanggung jawab atas strategi dan koordinasi pasukan. Kegigihan dan keberaniannya di medan perang menjadi teladan bagi para pejuang. Ia adalah representasi dari kaum terpelajar yang turun langsung mengangkat senjata demi republik, menegaskan bahwa perjuangan ini adalah milik semua lapisan masyarakat.

Sungkonoe: Koordinator Pertahanan Kota

Kolonel Sungkonoe adalah komandan dari Badan Pertahanan Kota yang memainkan peran strategis penting. Ia membagi Surabaya menjadi tiga sektor pertahanan untuk menghadapi gempuran pasukan Inggris yang masif.

Kepemimpinan militernya di lapangan sangat vital dalam mengatur perlawanan yang terfragmentasi menjadi lebih terkoordinasi, meskipun dalam kondisi yang serba terbatas. Keberadaan tokoh-tokoh seperti Sungkonoe menunjukkan bahwa Pertempuran Surabaya bukanlah perlawanan anarkis, melainkan sebuah upaya pertahanan yang terorganisir dengan baik.

Lebih dari Sekadar Kalah atau Menang: Diplomasi dan Identitas Bangsa

Secara taktis, Pertempuran Surabaya berakhir dengan jatuhnya kota ke tangan pasukan Inggris setelah pertempuran sengit selama tiga minggu. Namun, secara strategis dan psikologis, ini adalah kemenangan gemilang bagi Indonesia.

Perlawanan heroik arek-arek Suroboyo mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada Belanda dan dunia: bangsa Indonesia tidak akan menyerahkan kemerdekaannya dengan mudah. Pertempuran ini menjadi sorotan media internasional, yang membuka mata dunia terhadap realitas perjuangan di Indonesia. Hal ini secara signifikan memperkuat posisi tawar Indonesia di meja perundingan diplomatik di kemudian hari. Pertempuran Surabaya mengorbankan ribuan nyawa, namun pengorbanan itu menempa identitas bangsa. Ia membuktikan bahwa semangat Kemerdekaan Indonesia telah mendarah daging di hati rakyatnya. Peristiwa inilah yang menjadi fondasi utama penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan, sebuah hari untuk mengenang tidak hanya mereka yang gugur di Surabaya, tetapi seluruh pahlawan yang telah berjuang untuk bangsa. Meskipun detail spesifik dari beberapa peristiwa mungkin memiliki versi yang berbeda tergantung pada sumber sejarah yang dirujuk, inti dari semangat perlawanan ini tetap menjadi konsensus dalam narasi Sejarah Indonesia.

Api perlawanan yang menyala di Surabaya pada November 1945 tidak pernah benar-benar padam. Ia menjelma menjadi semangat yang diwariskan dari generasi ke generasi, mengingatkan kita bahwa kemerdekaan adalah sebuah kehormatan yang harus terus dijaga.

Pertempuran Surabaya adalah bukti abadi dari kekuatan kolektif sebuah bangsa yang menolak untuk ditindas, sebuah epik kepahlawanan yang ditulis dengan darah dan keberanian di jalanan Kota Pahlawan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0