AI Meniru Gaya Seniman? Seni Baru atau Sekadar Pencurian? Kupas Tuntas Etikanya


Sabtu, 30 Agustus 2025 - 03.35 WIB
AI Meniru Gaya Seniman? Seni Baru atau Sekadar Pencurian? Kupas Tuntas Etikanya
Debat Etis Seni AI (Foto oleh Zach Rowlandson di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Kamu pasti pernah terpukau melihat gambar-gambar buatan AI yang bertebaran di media sosial. Ada yang bergaya lukisan klasik, ada yang mirip goresan studio anime ternama, bahkan ada yang bisa meniru gaya spesifik seorang seniman digital favoritmu hanya dengan beberapa ketik.

Di balik keajaiban visual itu, tersimpan sebuah perdebatan besar yang semakin memanas: dari mana AI 'belajar' semua itu, dan apakah prosesnya etis? Pertanyaan ini menyeret kita ke jantung masalah etika AI, menyangkut penggunaan data AI dan hak cipta seniman.

Percakapan seputar seni AI bukan lagi sekadar soal teknologi, tapi sudah merambah ke soal keadilan, kreativitas, dan masa depan industri seni itu sendiri. Apakah ini sebuah revolusi yang mendemokratisasi seni, atau justru bentuk pencurian digital termutakhir dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya?

Mari kita bedah bersama.

Bagaimana Sebenarnya AI 'Belajar' Seni?

Untuk memahami debat etika AI ini, pertama-tama kita harus tahu cara kerjanya. Model AI generator gambar seperti Midjourney, Stable Diffusion, atau DALL-E tidak 'berpikir' atau 'berkreasi' dari ketiadaan. Mereka adalah mesin pemroses pola yang sangat canggih.

Proses pelatihan model AI ini melibatkan 'pemberian makan' berupa miliaran pasang data gambar dan teks deskripsinya. Salah satu kumpulan data terbesar yang digunakan adalah LAION-5B, sebuah database non-profit asal Jerman yang berisi 5.85 miliar pasang gambar-teks yang diambil (scraped) secara otomatis dari internet.

Di dalamnya, ada segala jenis gambar: foto, ilustrasi, karya seni klasik, hingga karya-karya seniman kontemporer yang diunggah di portfolio online mereka. AI belajar dengan menganalisis hubungan matematis antara kata-kata (misalnya, 'kucing astronot bergaya Van Gogh') dengan piksel-piksel pada gambar yang sesuai. Setelah dilatih, model ini bisa merekonstruksi dan mengombinasikan pola-pola tersebut untuk menghasilkan gambar baru sesuai perintahmu.

Proses ini yang memicu masalah mendasar pada penggunaan data AI: sebagian besar data gambar tersebut diambil tanpa izin, pemberitahuan, atau kompensasi kepada pemilik aslinya.

Debat Utama: Inovasi vs. Pelanggaran Hak Cipta

Di sinilah inti perdebatan etika AI membelah komunitas teknologi dan seni menjadi dua kubu besar.

Di satu sisi ada yang melihatnya sebagai alat inovasi, di sisi lain ada yang meneriakkan pelanggaran hak cipta seniman.

Sisi Pro-Inovasi: Alat Baru untuk Kreativitas

Para pendukung teknologi ini berargumen bahwa model AI generatif hanyalah alat, sama seperti kamera saat pertama kali ditemukan atau Adobe Photoshop yang merevolusi desain grafis.

Mereka tidak 'menyalin' atau 'menempel' gambar yang ada, melainkan mempelajari 'gaya' dan 'konsep' untuk menciptakan sesuatu yang sepenuhnya baru. Mereka menyamakan proses pelatihan model AI dengan cara manusia belajar. Seorang seniman muda juga belajar dengan melihat dan meniru karya-karya maestro, sebelum akhirnya menemukan gaya seni AI mereka sendiri.

Menurut pandangan ini, melarang AI belajar dari data publik sama saja dengan menghambat kemajuan teknologi dan kreativitas. Matthew Sag, seorang profesor hukum di Emory University School of Law, berpendapat dalam analisisnya bahwa pelatihan model AI pada karya berhak cipta kemungkinan besar termasuk dalam kategori 'fair use' (penggunaan wajar) di bawah hukum AS.

Alasannya, tujuannya bersifat transformatif: yaitu untuk menciptakan alat baru, bukan untuk membuat produk pengganti yang bersaing langsung dengan karya asli dalam dataset. Seni AI, bagi mereka, adalah babak baru dalam ekspresi manusia yang didukung oleh mesin.

Sisi Kontra: 'Pencurian' Gaya dan Data Skala Besar

Di seberang spektrum, para seniman dan pegiat hak cipta melihatnya secara berbeda.

Bagi mereka, penggunaan data AI tanpa izin adalah eksploitasi. Karya yang mereka buat selama bertahun-tahun, yang merupakan sumber mata pencaharian mereka, dijadikan 'bahan bakar' gratis untuk melatih sistem komersial yang berpotensi menggantikan mereka.

Isu ini semakin runcing ketika pengguna bisa secara spesifik meminta AI meniru gaya seni AI dari seniman yang masih hidup, yang secara efektif mengikis keunikan dan nilai jual karya mereka. Pada Januari 2023, gugatan hukum class-action dilayangkan oleh tiga seniman, Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz, terhadap Stability AI, Midjourney, dan DeviantArt.

Mereka menuduh perusahaan-perusahaan ini melanggar hak jutaan seniman dengan menggunakan karya mereka dalam pelatihan model AI tanpa izin. Ini adalah pertarungan hukum monumental yang menyoroti betapa rentannya hak cipta seniman di era digital saat ini.

Bagi mereka, ini bukan soal meniru gaya, tapi soal penggunaan data AI secara masif dan tanpa persetujuan.

Studi Kasus: Saat Gaya Seniman 'Dicuri' oleh AI

Salah satu contoh paling terkenal dari masalah ini adalah seniman fantasi asal Polandia, Greg Rutkowski. Karyanya yang epik dan penuh detail menjadi sangat populer sebagai 'prompt' di kalangan pengguna AI.

Akibatnya, internet dibanjiri oleh gambar-gambar 'bergaya Greg Rutkowski' yang bukan dibuat olehnya. Dalam sebuah wawancara dengan MIT Technology Review, Rutkowski mengungkapkan kekhawatirannya. Namanya yang tadinya diasosiasikan dengan kualitas tinggi kini menjadi kabur oleh lautan gambar tiruan. Ini adalah contoh nyata bagaimana pelatihan model AI bisa berdampak langsung pada reputasi dan nilai seorang seniman.

Kasus ini menunjukkan bahwa perdebatan etika AI bukan lagi teori. Dampaknya terasa langsung oleh para kreator. Gaya seni AI yang menjadi ciri khas mereka kini bisa direplikasi dalam hitungan detik, memunculkan pertanyaan tentang orisinalitas dan apresiasi terhadap keahlian manusia.

Apa Kata Hukum? Abu-abu di Ranah Hak Cipta

Secara hukum, situasinya masih sangat rumit dan belum pasti.

Hukum hak cipta tradisional dirancang untuk melindungi 'ekspresi' konkret dari sebuah ide (misalnya, sebuah lukisan spesifik), bukan 'gaya' atau 'metode'. Inilah celah yang dimanfaatkan oleh sistem seni AI. Meniru gaya seni AI seseorang, betapapun miripnya, umumnya tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Namun, U.S. Copyright Office telah mengambil sikap tegas terhadap output dari AI.

Dalam sebuah keputusan penting pada Februari 2023 terkait novel grafis 'Zarya of the Dawn', mereka menyatakan bahwa gambar yang murni dihasilkan oleh AI tidak dapat dilindungi hak cipta karena tidak memiliki unsur kepengarangan manusia. Seperti yang dilaporkan oleh Ars Technica, hanya elemen-elemen yang diciptakan manusia, seperti teks dan penyusunan gambar, yang mendapat perlindungan.

Keputusan ini menciptakan dilema baru: jika outputnya tidak bisa dilindungi, bagaimana nilai komersial dari seni AI bisa dipertahankan? Perdebatan hukum mengenai penggunaan data AI untuk pelatihan masih terus berlangsung dan kemungkinan akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kejelasan.

Pandangan hukum pun bisa berbeda di setiap negara, menambah kompleksitas masalah etika AI ini.

Langkah ke Depan: Menuju Etika AI yang Bertanggung Jawab

Melihat kompleksitas masalah ini, jelas tidak ada solusi mudah.

Namun, ada beberapa langkah yang bisa kita dorong bersama untuk menciptakan ekosistem seni AI yang lebih adil dan etis.

Pentingnya Dataset yang Etis

Salah satu solusi mendasar adalah pengembangan dataset yang dibangun di atas prinsip persetujuan (consent).

Perusahaan teknologi bisa mulai membangun dataset 'opt-in', di mana seniman secara sukarela menyumbangkan karyanya untuk pelatihan model AI, mungkin dengan imbalan royalti atau kompensasi lainnya. Ini akan memastikan bahwa pelatihan model AI dilakukan secara etis dan menghargai hak cipta seniman sejak awal.

Alat Bantu untuk Seniman

Para peneliti dan seniman sendiri tidak tinggal diam.

Proyek seperti Nightshade, yang dikembangkan oleh tim di University of Chicago, memungkinkan seniman untuk 'meracuni' piksel pada karya digital mereka. Jika gambar ini diambil untuk pelatihan model AI, ia akan mengacaukan hasil dari model tersebut.

Ini adalah bentuk perlawanan digital yang memberikan kekuatan kembali ke tangan para kreator untuk melindungi karya mereka dari penggunaan data AI yang tidak diinginkan.

Peran Kamu sebagai Pengguna

Sebagai pengguna atau penikmat seni AI, kamu juga punya peran. Saat menggunakan generator AI, cobalah untuk lebih kreatif dengan perintahmu daripada sekadar meniru gaya seni AI dari seniman yang masih hidup.

Dukung seniman manusia secara langsung dengan membeli karya mereka, mengikuti mereka di media sosial, atau memesan komisi. Pahami bahwa di balik setiap 'gaya' yang kamu kagumi, ada kerja keras, latihan, dan pengalaman bertahun-tahun dari seorang seniman. Teknologi AI adalah cermin dari nilai-nilai yang kita tanamkan di dalamnya.

Perdebatan etika AI ini memaksa kita untuk bertanya kembali: apa arti seni, kreativitas, dan kepemilikan di abad ke-21? Pertanyaannya bukan lagi 'bisakah AI membuat seni?', melainkan 'seni seperti apa yang kita ingin AI ciptakan, dan dengan cara apa?'. Jawaban atas pertanyaan itu ada di tangan kita semua, baik sebagai kreator, pengembang, maupun penikmat.

Masa depan seni AI bergantung pada pilihan etis yang kita buat hari ini.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0