Bongkar Perbedaan Hyperfixation dan Hiperfokus yang Sering Disalahpahami

VOXBLICK.COM - Hyperfixation dan hiperfokus sering banget bikin bingung, apalagi buat kamu yang aktif di dunia profesional dan sering multitasking. Banyak yang masih mengira keduanya sama, padahal dampaknya ke produktivitas dan kesehatan mental bisa sangat berbeda. Nggak sedikit pula yang salah paham, lalu menyepelekan tanda-tanda gangguan seperti ADHD atau autisme, yang sebenarnya butuh perhatian lebih.
Mengapa Hyperfixation dan Hiperfokus Sering Tertukar?
Kedua istilah ini memang mirip secara sekilas, sama-sama soal fokus ekstrem pada satu hal. Tapi, ternyata mekanismenya berbeda dan efeknya pun nggak selalu positif.
Hyperfixation biasanya dikaitkan dengan kondisi neurodivergent seperti ADHD dan autisme, di mana seseorang terjebak dalam satu topik, aktivitas, atau minat secara obsesif dan sulit mengalihkan perhatian. Sementara hiperfokus lebih terkait dengan kemampuan untuk sangat fokus dalam waktu tertentu, sering kali dihubungkan dengan produktivitas, tapi juga muncul pada individu dengan ADHD.
Apa Itu Hyperfixation?
Hyperfixation terjadi ketika seseorang benar-benar larut dalam satu aktivitas atau topik. Mereka bisa lupa makan, tidur, bahkan melupakan tanggung jawab lain. Menurut ADDitude Magazine, fenomena ini dialami banyak individu dengan ADHD dan autisme, meski bisa juga muncul pada orang neurotipikal.
Contoh mudahnya, seseorang bisa menonton serial TV favorit tanpa henti sampai habis season, bahkan mengabaikan pekerjaan atau tugas penting. Atau, ada yang bisa terobsesi dengan riset soal teknologi tertentu sampai lupa waktu.
Dalam kasus anak, seperti perbedaan perilaku anak ADHD dan autis yang sempat viral di media sosial Mei 2024, hyperfixation bisa tampak dari kebiasaan mengulang-ulang aktivitas yang sama tanpa henti.
Ciri-ciri Hyperfixation
- Menghabiskan waktu berjam-jam hanya pada satu aktivitas
- Sulit atau bahkan tidak bisa mengalihkan perhatian ke hal lain
- Lupa kebutuhan dasar seperti makan, istirahat, atau bersosialisasi
- Minatnya bisa muncul dan hilang mendadak, lalu berpindah ke topik lain
- Sering kali, minat ini tidak berhubungan dengan tugas utama atau pekerjaan
Apa Itu Hiperfokus?
Hiperfokus, di sisi lain, adalah keadaan saat seseorang bisa sangat fokus pada satu aktivitas, sampai lingkungan sekitar "menghilang" dari perhatian.
Ini sering dianggap sebagai superpower produktivitas, terutama kalau kamu lagi ngejar deadline atau kerja kreatif. Tapi, pada individu ADHD, hiperfokus juga bisa membuat mereka mengabaikan hal penting lain.
Menurut informasi dari Healthline, hiperfokus terjadi ketika otak memproduksi dopamin secara berlebih, sehingga otak lebih mudah terlibat pada aktivitas yang menarik atau menantang. Hiperfokus ini bisa bermanfaat, tapi juga berisiko bila tidak dikendalikan.
Ciri-ciri Hiperfokus
- Bisa sangat fokus pada tugas atau proyek, terutama yang dianggap menarik
- Biasanya terjadi dalam waktu terbatas
- Mampu menyelesaikan pekerjaan dengan sangat detail dan mendalam
- Sulit diganggu, tapi masih bisa berpindah ke aktivitas lain jika diperlukan
- Lebih sering terkait dengan hal yang memang jadi prioritas atau target
Beda Dampak di Kehidupan Sehari-hari
Hyperfixation dan hiperfokus bisa sama-sama bikin kamu produktif, tapi juga bisa berujung kelelahan dan burnout.
Perbedaannya, hyperfixation sering kali membuat seseorang kehilangan kendali penuh atas fokusnya, sedangkan hiperfokus masih bisa diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Di dunia kerja, hiperfokus sering jadi "senjata rahasia" saat kamu butuh menyelesaikan deadline penting. Tapi, kalau sudah masuk ke zona hyperfixation, kamu bisa kehilangan keseimbangan hidup dan pekerjaan.
Misalnya, seseorang terjebak riset satu topik sampai lupa rapat penting atau bahkan makan siang.
Hyperfixation pada ADHD dan Autisme
Fenomena hyperfixation sering ditemukan pada individu dengan ADHD dan autisme. Studi dari National Institutes of Health menunjukkan bahwa anak-anak dengan ADHD cenderung mengalami hyperfixation pada aktivitas yang mereka sukaibukan hanya sulit fokus, tapi justru terjebak pada satu hal.
Sementara pada anak autis, hyperfixation bisa terlihat dari rutinitas yang sangat spesifik, minat mendalam pada hal unik, atau mengulang aktivitas secara berulang-ulang.
Data riset terbaru Mei 2024 juga menyoroti perbedaan kebiasaan anak autis dengan ADHD, di mana anak autis lebih sering hyperfixated pada aktivitas sensori atau kebiasaan tertentu.
Hiperfokus dan Produktivitas
Banyak profesional muda dan Gen-Z menganggap hiperfokus sebagai kelebihan, terutama saat bisa menghasilkan karya luar biasa dalam waktu singkat.
Misalnya, seorang desainer grafis bisa membuat satu proyek besar dalam semalam karena sedang hiperfokus. Namun, jika tidak diatur, hiperfokus juga bisa membuat kamu menunda tugas lain yang tidak kalah penting.
Bagaimana Mengelola Hiperfokus dan Hyperfixation?
Kunci utama adalah mengenali pola dan tanda-tandanya.
Jika kamu merasa terlalu sering kehilangan waktu karena terjebak satu aktivitas, coba atur alarm atau reminder untuk berhenti sejenak. Banyak ahli menyarankan teknik time blocking agar hiperfokus tetap terarah dan tidak melebar ke hyperfixation.
- Gunakan timer atau alarm setiap 30-60 menit untuk cek realitas
- Buat daftar prioritas harian, bagi waktu untuk istirahat singkat
- Komunikasikan kebutuhan dengan rekan kerja atau keluarga
- Catat aktivitas yang sering membuat kamu lupa waktu, dan evaluasi hasilnya
- Jangan ragu membatasi akses ke hal yang terlalu menarik perhatian
Kapan Perlu Khawatir?
Kalau kamu atau teman sering mengalami hyperfixation sampai mengganggu kehidupan sosial, pekerjaan, atau kesehatan fisik, ada baiknya mulai memperhatikan lebih dalam.
Tanda-tanda seperti kehilangan waktu, mengabaikan kebutuhan dasar, atau merasa terjebak dalam satu aktivitas adalah red flag. Jangan menyepelekan jika perilaku ini sudah mengganggu keseharian kamu.
Dalam beberapa kasus, hyperfixation bisa jadi tanda awal gangguan mental tertentu seperti ADHD atau autisme. Namun, diagnosis pasti hanya bisa dilakukan oleh profesional kesehatan dengan penilaian menyeluruh.
Fakta dan Miskonsepsi yang Harus Diluruskan
Ada banyak mitos seputar hyperfixation dan hiperfokus. Salah satunya, banyak yang mengira hiperfokus hanya dimiliki "orang jenius" atau "workaholic".
Faktanya, ini adalah pola otak yang bisa dialami siapa saja, bahkan sering ditemukan pada individu neurodivergent.
Hyperfixation juga bukan sekadar hobi yang mendalam, tapi obsesi yang bisa mengganggu rutinitas. Penting untuk membedakan antara gairah terhadap sesuatu dan perilaku obsesif yang sulit dikendalikan.
Menurut World Health Organization (WHO), penting untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental sejak dini agar bisa mendapat penanganan yang tepat. Pemahaman yang benar tentang istilah ini bisa membantu kamu mengelola stres, produktivitas, dan keseimbangan hidup lebih baik.
Studi Kasus: Hyperfixation di Dunia Kerja dan Pendidikan
Beberapa kasus nyata menunjukkan bagaimana hyperfixation bisa terjadi di dunia kerja atau kampus.
Seorang mahasiswa bisa menghabiskan waktu berhari-hari mempelajari satu teori sampai lupa tugas lain. Di kantor, ada karyawan yang terlalu fokus pada satu proyek, tapi akhirnya tertinggal deadline pekerjaan utama.
Dampak jangka panjang dari perilaku ini bisa berupa kelelahan mental, stres, hingga burnout. Jika kamu merasa sering mengalami hal serupa, coba lakukan evaluasi waktu dan prioritas secara berkala.
Tips Menjaga Keseimbangan Fokus
- Kenali minat yang sering bikin kamu lupa waktu
- Atur batas waktu untuk setiap aktivitas penting
- Jangan sungkan meminta bantuan atau masukan dari rekan terpercaya
- Jadwalkan waktu khusus untuk relaksasi dan kegiatan sosial
- Ambil jeda secara rutin, walaupun sedang sangat fokus
Hyperfixation, Hiperfokus, dan Kesehatan Mental
Kesehatan mental tidak hanya soal mengelola stres, tapi juga bagaimana kamu bisa mengatur pola fokus yang sehat.
Hyperfixation dan hiperfokus bisa jadi kekuatan, tapi juga kelemahan jika tidak dikendalikan. Jangan ragu mencari dukungan dari lingkungan sekitar, baik di kantor, kampus, maupun keluarga.
Di era digital, distraksi memang banyak, tapi jangan sampai fokus ekstrem malah jadi bumerang. Gunakan teknologi sebagai alat bantu, bukan malah membiarkan diri terjebak di satu dunia saja.
Yuk, mulai belajar mengenali pola fokusmu dan cari cara agar tetap produktif tanpa mengorbankan keseimbangan hidup.
Setiap individu punya pola fokus yang unik. Kalau kamu merasa sering kesulitan mengatur waktu atau terjebak pada satu hal, cari tahu lebih dalam dan jangan ragu untuk berbagi cerita dengan teman atau profesional kesehatan.
Terkadang, penjelasan sederhana dari ahli bisa membuka perspektif baru tentang pola pikir dan kebiasaanmu. Kalau kamu ingin mencoba tips di atas, pastikan juga berdiskusi dulu dengan dokter atau tenaga kesehatan mental agar sesuai dengan kebutuhan pribadimu.
Apa Reaksi Anda?






