Gema Sumpah Palapa: Bagaimana Kerajaan Majapahit Menyatukan Nusantara dan Mengubah Sejarah

VOXBLICK.COM - Di cakrawala sejarah Nusantara, nama Kerajaan Majapahit bergema laksana guntur, sebuah kekaisaran agung yang kekuasaannya membentang dari ujung Sumatra hingga pesisir Papua.
Bukan sekadar sebuah entitas politik, Majapahit adalah manifestasi dari sebuah visi besar, sebuah cita-cita untuk menyatukan kepulauan yang terpencar di bawah satu panji kebesaran. Kisahnya adalah epik tentang intrik, ambisi, dan diplomasi ulung, yang puncaknya terukir pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, dua sosok yang menjadi simbol masa kejayaan Majapahit.
Kelahiran Sang Adidaya dari Puing-puing Singhasari
Kisah Kerajaan Majapahit tidak dimulai dengan kemegahan, melainkan dari bara api pengkhianatan dan kecerdikan yang luar biasa. Tahun 1292 menjadi saksi runtuhnya Kerajaan Singhasari akibat pemberontakan Jayakatwang dari Kadiri. Raden Wijaya, menantu dari Kertanegara, raja Singhasari terakhir, terpaksa melarikan diri ke Madura. Di sinilah bibit strategi brilian mulai disemai.Dengan dalih menyerah, Raden Wijaya justru meminta sebidang tanah di Hutan Tarik (kini Trowulan, Mojokerto) untuk dijadikan pemukiman. Konon, saat membuka hutan itu, seorang prajurit memakan buah Maja yang rasanya pahit, sehingga lahirlah nama "Majapahit". Takdir seolah berpihak pada Wijaya.
Pada awal 1293, armada besar dari Dinasti Yuan (Mongol) di bawah pimpinan Ike Mese tiba di Jawa dengan tujuan menghukum Kertanegara yang telah menghina utusan Kubilai Khan. Melihat peluang emas, Raden Wijaya membalikkan keadaan. Ia bersekutu dengan pasukan Mongol untuk menggempur Jayakatwang di Kadiri. Setelah Jayakatwang takluk, Wijaya melancarkan serangan kejutan terhadap pasukan Mongol yang sedang lengah merayakan kemenangan.
Pasukan yang tidak terbiasa dengan geografi dan taktik gerilya di tanah Jawa itu akhirnya berhasil diusir. Pada hari ke-15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau 10 November 1293, Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Dari puing-puing Singhasari, sebuah kekuatan baru dalam sejarah Nusantara telah lahir.
Era Keemasan: Duet Maut Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada
Jika Raden Wijaya adalah peletak fondasi, maka puncak arsitektur kebesaran Kerajaan Majapahit dibangun oleh cucunya, Hayam Wuruk, yang naik takhta pada tahun 1350. Di sisinya, berdiri kokoh seorang Mahapatih legendaris, Gajah Mada.Duet kepemimpinan inilah yang membawa Majapahit ke zenit kekuasaannya, sebuah periode yang digambarkan dengan penuh puja-puji dalam Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca. Pusat dari ambisi ekspansi Majapahit adalah ikrar Gajah Mada yang dikenal sebagai Sumpah Palapa.
Diucapkan saat ia diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1336, sumpahnya tercatat dalam kitab Pararaton: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” Ikrar ini bukanlah bualan kosong, melainkan sebuah pernyataan visi politik untuk menyatukan wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, hingga sebagian Filipina selatan di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit.
Di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang cakap dalam diplomasi dan Gajah Mada yang brilian dalam strategi militer, Sumpah Palapa perlahan menjadi kenyataan. Menurut Encyclopedia Britannica, pengaruh Majapahit mencakup hampir seluruh kepulauan Indonesia modern. Nagarakretagama mencatat daftar panjang wilayah "bawahan" yang mengakui kedaulatan Majapahit.
Konsep hubungan ini bukan penaklukan total, melainkan sebuah sistem mandala di mana kerajaan-kerajaan lain menjadi mitra (Mitreka Satata) yang memberikan upeti dan mengakui Majapahit sebagai pusat peradaban. Masa kejayaan Majapahit ini ditopang oleh kekuatan maritim yang menguasai jalur rempah-rempah dan kekuatan agraris yang subur di lembah Sungai Brantas. Ibu kota di Trowulan menjadi sebuah metropolis kosmopolitan.
Jaringan perdagangan yang luas membawa pedagang dari Tiongkok, Champa, Kamboja, hingga India. Pelabuhan seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya menjadi pusat denyut nadi ekonomi kekaisaran. Kemakmuran ini memicu lahirnya karya-karya budaya yang agung. Selain Nagarakretagama, lahir pula Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, yang memuat frasa "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa," sebuah filosofi toleransi yang menjadi semboyan negara Indonesia modern.
Arsitektur candi dengan gaya khas Jawa Timur, seperti Candi Penataran di Blitar dan Candi Tikus di Trowulan, menunjukkan tingginya peradaban dan kemampuan teknis masyarakat pada masa kejayaan Majapahit.
Struktur Kompleks yang Menopang Kekaisaran
Keberhasilan Kerajaan Majapahit tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada sistem administrasi yang sangat terstruktur dan canggih untuk zamannya.Raja adalah puncak kekuasaan, namun ia dibantu oleh dewan penasihat yang kompleks. Terdapat dewan menteri (Rakryan Mantri ri Pakira-kiran) yang diisi oleh para pejabat tinggi, serta dewan pertimbangan agung (Bhattara Saptaprabhu), sebuah dewan keluarga kerajaan yang dipimpin oleh Hayam Wuruk sendiri.
Struktur birokrasi ini menjangkau hingga ke tingkat daerah, memastikan kontrol pusat tetap terjaga sambil memberikan otonomi terbatas kepada penguasa lokal. Di bidang hukum, Kerajaan Majapahit memiliki kitab hukum bernama Kutara Manawa, yang merupakan kompilasi hukum untuk mengatur kehidupan sosial, perdata, dan pidana. Ini menunjukkan adanya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan teratur.
Salah satu pilar utama kekuatan sosial Majapahit adalah sinkretisme agama yang unik antara Hindu-Siwa dan Buddha-Mahayana. Hayam Wuruk sendiri adalah penganut Siwa, namun istananya memberikan ruang yang setara bagi kedua agama. Mpu Prapanca menggambarkan dalam Nagarakretagama bagaimana upacara keagamaan dari kedua aliran dapat berjalan berdampingan secara harmonis.
Toleransi ini menciptakan stabilitas sosial dan menjadi perekat yang mengikat beragam suku dan budaya di bawah panji kebesaran sejarah Nusantara.
Awal Keruntuhan: Tragedi Bubat dan Perang Saudara
Seperti roda yang berputar, masa kejayaan Majapahit akhirnya mencapai titik baliknya.Salah satu peristiwa yang dianggap sebagai bibit perpecahan adalah Perang Bubat pada tahun 1357. Peristiwa tragis ini, yang melibatkan rombongan Kerajaan Sunda yang datang untuk menikahkan Putri Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk, berakhir dengan pertumpahan darah akibat perbedaan interpretasi antara Gajah Mada yang menganggapnya sebagai tanda takluk dan pihak Sunda yang melihatnya sebagai ikatan setara.
Meskipun validitas historisnya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, insiden ini dikisahkan meninggalkan luka mendalam dalam hubungan kedua kerajaan. Kematian Gajah Mada (sekitar 1364) dan disusul oleh mangkatnya Prabu Hayam Wuruk pada 1389 menciptakan kekosongan kepemimpinan yang sulit diisi. Generasi penerus tidak memiliki karisma dan visi yang sepadan. Perebutan takhta mulai merobek keutuhan istana dari dalam.
Puncaknya adalah Perang Regreg atau Paregreg (1404-1406), sebuah perang saudara yang menghancurkan antara Wikramawardhana yang berkuasa di istana barat dan Bhre Wirabhumi di istana timur (Blambangan). Perang ini menguras sumber daya, menelan banyak korban jiwa dari kalangan elite, dan secara permanen melemahkan otoritas pusat Kerajaan Majapahit. Di saat bersamaan, lanskap politik dan ekonomi di pesisir utara Jawa mulai berubah.
Kekuatan-kekuatan baru berbasis Islam, seperti Kesultanan Demak dan Malaka, mulai bangkit. Mereka perlahan-lahan menggerogoti dominasi perdagangan maritim Majapahit. Para penguasa pesisir yang sebelumnya menjadi vasal mulai melepaskan diri.
Kombinasi dari konflik internal yang tak berkesudahan dan tekanan eksternal yang semakin kuat akhirnya meredupkan cahaya kebesaran Kerajaan Majapahit, hingga akhirnya runtuh pada awal abad ke-16. Kisah Kerajaan Majapahit, dengan segala pencapaian gemilang dan kejatuhannya yang tragis, adalah cermin besar bagi perjalanan sebuah bangsa.
Visi Sumpah Palapa yang digelorakan Gajah Mada bukanlah sekadar catatan kuno, melainkan sebuah konsep persatuan yang terus dihidupkan dalam wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mempelajari masa kejayaan Majapahit dan faktor-faktor keruntuhannya memberikan kita pemahaman mendalam tentang betapa pentingnya kepemimpinan yang kuat, persatuan internal, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Interpretasi terhadap naskah-naskah kuno seperti Nagarakretagama dan Pararaton memang memerlukan kehati-hatian, namun esensi semangatnya tetap relevan. Sejarah Nusantara mengajarkan bahwa kebesaran tidak datang dengan mudah, dan mempertahankannya adalah perjuangan yang jauh lebih berat. Gema dari istana Trowulan adalah pengingat abadi akan potensi dan kerapuhan sebuah peradaban.
Apa Reaksi Anda?






