Ini Cerita Insiden Hotel Yamato yang Sulut Api Pertempuran 10 November!

Konteks Kemerdekaan yang Tegang di Surabaya
VOXBLICK.COM - Udara Surabaya pada September 1945 terasa panas, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena gejolak semangat kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Gema Proklamasi 17 Agustus 1945 masih terasa kuat, membakar jiwa para pemuda dan rakyat yang dikenal sebagai arek-arek Suroboyo. Namun, di tengah euforia itu, terselip kecemasan. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II membuka jalan bagi kedatangan pasukan Sekutu, yang diboncengi oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dengan agenda tersembunyi untuk mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda. Situasi ini menciptakan ketegangan laten yang siap meledak kapan saja. Di tengah suasana inilah, sebuah bangunan megah bernama Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) menjadi pusat dari sebuah drama heroik yang akan tercatat abadi dalam sejarah Indonesia, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Hotel Yamato.
Hotel Yamato bukan sekadar bangunan. Pada masa itu, hotel tersebut menjadi markas sementara bagi pasukan Sekutu dan menjadi simbol kehadiran kekuatan asing di jantung kota.
Bagi arek-arek Suroboyo, setiap gerak-gerik di hotel itu diawasi dengan penuh curiga. Mereka telah bersumpah untuk mempertahankan kemerdekaan dengan darah, dan tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun kembali dijajah. Ketegangan ini menjadi fondasi bagi salah satu peristiwa paling ikonik yang menjadi pemicu langsung Pertempuran 10 November, sebuah pertempuran yang akan menguji batas keberanian sebuah bangsa yang baru lahir.
Awal Mula Provokasi: Bendera Merah-Putih-Biru Berkibar
Pemicu utama dari Insiden Hotel Yamato terjadi pada tanggal 19 September 1945. Pada petang hari itu, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W.V.Ch.
Ploegman mengibarkan bendera triwarna Belanda (Merah-Putih-Biru) di puncak tiang bendera Hotel Yamato. Tindakan ini, bagi rakyat Surabaya, adalah sebuah penghinaan besar. Di saat bendera Merah Putih dengan bangga berkibar di seluruh penjuru kota sebagai simbol kedaulatan, pengibaran bendera kolonial di lokasi strategis tersebut dianggap sebagai provokasi terang-terangan dan penolakan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Berita pengibaran bendera itu menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Kemarahan rakyat tersulut seketika. Ratusan, kemudian ribuan, arek-arek Suroboyo dan pejuang lainnya mulai berkumpul di depan hotel.
Mereka datang dengan membawa senjata seadanya, mulai dari bambu runcing, golok, hingga beberapa pucuk senjata rampasan dari tentara Jepang. Teriakan "Turunkan bendera itu!" dan pekik "Merdeka!" menggema di sepanjang Jalan Tunjungan, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Peristiwa ini bukan lagi sekadar masalah bendera, tetapi telah menjadi pertaruhan harga diri dan kedaulatan bangsa. Inilah titik awal dari kronologi pertempuran Surabaya yang legendaris.
Kronologi Detik-detik Menegangkan di Hotel Yamato
Melihat massa yang semakin besar dan marah, perwakilan dari pihak Indonesia mencoba jalur diplomasi.
Residen Soedirman, yang saat itu menjabat sebagai Residen Daerah Surabaya, bersama beberapa tokoh pejuang seperti Sidik dan Hariyono, memasuki lobi Hotel Yamato untuk berunding dengan Ploegman. Tujuannya satu: meminta Ploegman dan kelompoknya untuk segera menurunkan bendera Belanda.
Negosiasi yang Berakhir Buntu
Di dalam hotel, perundingan berlangsung alot. Ploegman dengan angkuh menolak permintaan Residen Soedirman. Ia bersikukuh bahwa sebagai perwakilan Sekutu, mereka berhak mengibarkan bendera mereka.
Menurut catatan sejarah yang dihimpun dari berbagai sumber, termasuk dari Museum Sepuluh Nopember Surabaya, Ploegman mengeluarkan pernyataan yang meremehkan kedaulatan Indonesia. Suasana perundingan memanas hingga akhirnya menemui jalan buntu. Ploegman dikabarkan mengeluarkan pistol, memicu perkelahian di dalam lobi. Dalam kekacauan tersebut, Ploegman tewas, dan Sidik, salah satu negosiator Indonesia, juga gugur.
Aksi Heroik Perobekan Bendera Belanda
Kabar kegagalan perundingan dan tewasnya perwakilan Indonesia sampai ke telinga massa di luar. Kemarahan mereka tak lagi bisa dibendung.
Sebagian pemuda nekat menerobos masuk ke dalam hotel, sementara yang lain mencari cara untuk mencapai puncak gedung. Di tengah situasi genting inilah, beberapa pemuda pemberani, yang namanya sering disebut dalam catatan sejarah Surabaya seperti Hariyono dan Koesno Wibowo, memanjat tiang bendera. Aksi mereka disaksikan oleh ribuan pasang mata dengan napas tertahan. Dengan susah payah, mereka berhasil menurunkan bendera Belanda. Namun, mereka tidak menurunkannya begitu saja. Dalam sebuah tindakan simbolis yang luar biasa, mereka merobek bagian biru dari bendera tersebut, menyisakan warna merah dan putih. Bendera Merah Putih yang berasal dari bendera musuh itu kemudian dikibarkan kembali ke puncak tiang, disambut sorak-sorai gegap gempita dan pekik "Merdeka!" dari seluruh rakyat yang berkumpul. Momen perobekan bendera Belanda ini menjadi simbol perlawanan rakyat yang tak kenal takut.
Dampak Langsung: Api Perlawanan yang Semakin Membara
Insiden Hotel Yamato bukan sekadar insiden lokal, melainkan sebuah percikan yang menyulut api revolusi yang jauh lebih besar. Peristiwa ini secara dramatis meningkatkan semangat perlawanan arek-arek Suroboyo.
Keberhasilan merobek bendera musuh dan mengibarkan kembali sang saka Merah Putih menjadi suntikan moral yang luar biasa. Ini adalah bukti nyata bahwa kedaulatan mereka bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan harus dipertahankan dengan cara apa pun. Setelah insiden ini, Surabaya menjadi kawah candradimuka bagi para pejuang kemerdekaan.
Berita tentang Insiden Hotel Yamato menyebar ke seluruh negeri, menginspirasi perlawanan serupa di daerah lain. Di Surabaya sendiri, insiden ini menjadi titik balik yang mengeraskan sikap rakyat terhadap kehadiran pasukan Sekutu dan NICA.
Setiap upaya Sekutu untuk melucuti senjata para pejuang Indonesia selalu ditanggapi dengan perlawanan sengit. Atmosfer kota semakin tegang, dengan pertempuran-pertempuran kecil meletus di berbagai sudut kota, yang semuanya merupakan bagian dari rangkaian panjang menuju klimaks perlawanan. Peristiwa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kronologi pertempuran Surabaya, menunjukkan bahwa semangat juang rakyat telah mencapai titik didih.
Jalan Panjang Menuju Pertempuran 10 November
Insiden Hotel Yamato adalah salah satu pemicu utama, namun bukan satu-satunya penyebab meletusnya Pertempuran 10 November. Peristiwa ini adalah mata rantai penting dalam serangkaian kejadian yang semakin memanaskan Surabaya.
Setelah insiden tersebut, pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan Inggris dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Tugas awal mereka adalah melucuti tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang, sesuai dengan mandat dari Sekutu.
Namun, kedatangan mereka justru memperkeruh suasana.
Pasukan Inggris mulai melakukan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar kedaulatan Indonesia, seperti menduduki objek-objek vital dan menyebarkan pamflet yang memerintahkan rakyat menyerahkan senjata. Puncaknya adalah tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945 dalam sebuah baku tembak di dekat Jembatan Merah. Kematian seorang jenderal Sekutu ini memicu kemarahan besar pihak Inggris. Sebagai respons, Mayor Jenderal Robert Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945. Ultimatum tersebut memerintahkan seluruh pejuang Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Ultimatum ini ditolak mentah-mentah oleh arek-arek Suroboyo. Bagi mereka, menyerah sama dengan menyerahkan kembali kemerdekaan. Penolakan inilah yang menjadi pemicu akhir dari pertempuran dahsyat yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran 10 November, sebuah pertempuran yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Kisah Insiden Hotel Yamato dan Pertempuran 10 November adalah bukti bahwa kemerdekaan Indonesia tidak diraih sebagai hadiah, melainkan direbut melalui pengorbanan darah dan air mata. Peristiwa perobekan bendera Belanda di puncak Hotel Yamato lebih dari sekadar aksi nekat itu adalah deklarasi tanpa kata bahwa martabat sebuah bangsa tidak bisa diinjak-injak. Semangat yang ditunjukkan oleh arek-arek Suroboyo pada hari itu terus mengalir, mencapai puncaknya dalam pertempuran heroik yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan dan mengukuhkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Meskipun detail spesifik mengenai siapa yang pertama kali merobek bendera terkadang memiliki beberapa versi dalam catatan sejarah, seperti yang diulas dalam berbagai sumber sejarah terkemuka, semangat kolektif arek-arek Suroboyo dalam peristiwa ini tidak terbantahkan. Semangat inilah, semangat untuk mempertahankan kedaulatan hingga titik darah penghabisan, yang menjadi warisan abadi dari Insiden Hotel Yamato bagi seluruh generasi bangsa Indonesia, sebuah pengingat bahwa api perjuangan bisa tersulut dari satu tindakan keberanian kecil. Sejarah ini, seperti yang didokumentasikan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, adalah bagian fundamental dari narasi kebangsaan kita.
Apa Reaksi Anda?






