Kisah Detik-Detik Kematian AWS Mallaby yang Memicu Pertempuran 10 November

Awal Mula Ketegangan di Kota Pahlawan
VOXBLICK.COM - Surabaya pada akhir Oktober 1945 adalah sebuah kuali yang mendidih. Euforia proklamasi kemerdekaan masih terasa kental, namun di saat yang sama, ketidakpastian membayangi masa depan republik yang baru lahir. Di tengah atmosfer yang sarat dengan semangat revolusi inilah, pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah komando Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak. Sebagai bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), misi resmi pasukan Sekutu ini adalah melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang Sekutu (RAPWI), dan menjaga ketertiban. Namun, bagi arek-arek Suroboyo, kedatangan mereka dipandang dengan kecurigaan yang mendalam. Kehadiran perwira-perwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang membonceng pasukan Sekutu menguatkan dugaan bahwa Belanda berusaha kembali menancapkan kuku kolonialismenya. Ketegangan pun tak terhindarkan. Selebaran yang disebar dari udara oleh pasukan Sekutu, yang memerintahkan rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata hasil rampasan dari Jepang, justru menjadi pemantik api. Perintah ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kedaulatan dan sebuah provokasi. Rakyat yang telah berjuang merebut senjata-senjata itu dengan darah dan nyawa menolak mentah-mentah. Pertempuran sporadis pun meletus di berbagai sudut kota sejak 27 Oktober 1945. Para pejuang Indonesia dengan gagah berani melawan pasukan Sekutu yang unggul dalam persenjataan. Keberanian mereka berhasil membuat pasukan pimpinan Brigadir Jenderal AWS Mallaby terdesak hebat. Mereka terkepung dan terisolasi di beberapa titik, termasuk di Gedung Internatio yang ikonik di dekat Jembatan Merah.
Gencatan Senjata Rapuh dan Insiden Jembatan Merah
Situasi yang semakin kritis bagi pasukan Inggris membuat Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima AFNEI, terpaksa menghubungi Presiden Sukarno di Jakarta untuk meminta bantuan mediasi.
Pada 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, terbang ke Surabaya untuk menengahi konflik. Setelah melalui perundingan yang alot antara kedua belah pihak, sebuah kesepakatan gencatan senjata berhasil dicapai. Kontak Biro pun dibentuk, terdiri dari perwakilan Indonesia dan Sekutu, untuk memastikan kesepakatan damai ini dipatuhi di lapangan. Namun, perdamaian yang baru seumur jagung itu ternyata sangat rapuh. Pada 30 Oktober 1945, situasi kembali memanas. Di satu sisi, masih banyak pejuang Indonesia di garis depan yang belum mengetahui adanya kesepakatan gencatan senjata. Di sisi lain, beberapa unit pasukan Sekutu juga dilaporkan melakukan pelanggaran. Brigadir Jenderal AWS Mallaby, bersama beberapa perwira lainnya, berkeliling kota dengan mobil Buick untuk mengawasi implementasi gencatan senjata. Rombongan ini kemudian tiba di depan Gedung Internatio, salah satu pos pertahanan pasukan Inggris yang masih dikepung oleh para pejuang. Kehadiran AWS Mallaby di lokasi ini menjadi titik balik dari seluruh rangkaian peristiwa. Atmosfer di sekitar Jembatan Merah sore itu sangat tegang. Ribuan massa dan pejuang Indonesia mengepung gedung, sementara pasukan Inggris bertahan di dalam. Komunikasi yang tersendat dan saling curiga membuat situasi berada di ujung tanduk, siap meledak kapan saja. Tewasnya Mallaby terjadi dalam kekacauan ini, sebuah tragedi yang versinya masih menjadi perdebatan hingga hari ini.
Misteri di Balik Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
Kronologi pasti mengenai tewasnya AWS Mallaby pada 30 Oktober 1945 diselimuti kabut misteri dan versi yang saling bertentangan.
Hingga kini, rincian pasti mengenai peristiwa tersebut masih menjadi subjek interpretasi sejarah, dengan berbagai sumber memberikan perspektif yang berbeda. Versi Inggris, yang kemudian menjadi justifikasi serangan besar-besaran mereka, menyebutkan bahwa kematian sang jenderal adalah sebuah tindakan pengkhianatan. Menurut laporan Kapten R.C. Smith yang saat itu bersama Mallaby, saat negosiasi sedang berlangsung di dekat Jembatan Merah, mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby didekati oleh sekelompok pemuda Indonesia. Mereka mengklaim melihat granat dilemparkan ke dalam mobil, yang kemudian memicu baku tembak hebat. Dalam kekacauan tersebut, AWS Mallaby dinyatakan tewas. Pihak Inggris menuduh para pejuang Indonesia telah membunuh sang jenderal secara licik di bawah bendera putih gencatan senjata. Sebaliknya, menurut versi Indonesia, situasinya jauh lebih kompleks. Kesaksian dari para pejuang di lokasi menyebutkan bahwa baku tembak dimulai karena kesalahpahaman. Ada yang mengatakan tembakan pertama berasal dari dalam Gedung Internatio yang memicu reaksi balasan dari para pejuang. Mobil Buick yang ditumpangi AWS Mallaby pun terjebak di tengah-tengah baku tembak. Beberapa saksi mata lokal, seperti yang dirangkum dalam berbagai catatan sejarah, menyatakan bahwa sebuah ledakan menghancurkan bagian belakang mobil. Tidak jelas apakah ledakan itu berasal dari granat atau tembakan mortir. Tubuh AWS Mallaby ditemukan dalam kondisi mengenaskan di dalam mobil yang terbakar. Siapa penembak atau pelempar granat pertama tidak pernah teridentifikasi secara pasti. Peristiwa tewasnya Mallaby lebih dilihat sebagai sebuah insiden dalam pertempuran yang kacau, bukan pembunuhan terencana. Fakta bahwa ia berada di garis depan dalam situasi yang sangat volatil menunjukkan risiko tinggi yang dihadapinya. Peristiwa ini menjadi salah satu contoh bagaimana kabut perang (fog of war) dapat mengaburkan kebenaran, meninggalkan narasi yang diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Amarah Sekutu dan Ultimatum 10 November
Kabar tewasnya Mallaby mengguncang komando tinggi pasukan Sekutu. Letnan Jenderal Sir Philip Christison meradang.
Kematian seorang perwira tinggi sekelas Brigadir Jenderal di tangan pihak yang mereka anggap sebagai ekstremis adalah sebuah pukulan telak bagi kehormatan militer Inggris. Amarah ini dengan cepat berubah menjadi keinginan untuk membalas. Sebagai pengganti AWS Mallaby, ditunjuklah Mayor Jenderal Robert Mansergh, seorang perwira yang jauh lebih keras dan tanpa kompromi. Mansergh tiba di Surabaya dengan Divisi 5 Infanteri India dengan satu misi: menaklukkan Surabaya dan menuntut balas atas kematian Brigadir Jenderal Mallaby. Pada 9 November 1945, Mayor Jenderal Mansergh, atas nama Panglima Pasukan Sekutu, mengeluarkan sebuah ultimatum yang sangat keras kepada rakyat Surabaya. Isi ultimatum tersebut, yang disebarkan melalui pamflet dari udara, menuntut agar seluruh pimpinan perjuangan Indonesia di Surabaya menyerahkan diri dan semua rakyat yang memiliki senjata harus meletakkannya di tempat yang ditentukan dengan tangan di atas kepala. Batas waktu yang diberikan adalah pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Ultimatum ini dianggap sebagai penghinaan terbesar. Para pemimpin perjuangan di Surabaya, termasuk Gubernur Suryo, dengan tegas menolaknya. Melalui siaran radio, Bung Tomo menggelorakan semangat perlawanan dengan pidatonya yang legendaris, membakar jiwa arek-arek Suroboyo untuk memilih bertempur hingga titik darah penghabisan daripada menyerah. Penolakan inilah yang menjadi pemicu langsung dari Pertempuran Surabaya, salah satu pertempuran paling dahsyat dan heroik dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Kematian AWS Mallaby telah berubah dari sebuah insiden tragis menjadi casus belli, alasan perang, bagi pasukan Sekutu untuk mengerahkan kekuatan penuhnya.
Warisan Insiden Mallaby: Bara yang Menyalakan Api Perjuangan
Jika dilihat dari perspektif militer, tewasnya Mallaby adalah kerugian bagi Sekutu, namun dari sudut pandang perjuangan Indonesia, peristiwa ini memiliki dampak yang tak ternilai. Ultimatum yang lahir dari amarah atas kematian AWS Mallaby justru menjadi katalisator yang menyatukan seluruh elemen masyarakat Surabaya. Para pemuda, santri, buruh, dan rakyat biasa dari berbagai latar belakang bersatu padu, mengangkat senjata apa adanya, dan siap menghadapi gempuran salah satu kekuatan militer terkuat di dunia saat itu. Pertempuran 10 November 1945 yang dipicu oleh insiden ini menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, melainkan sesuatu yang diperjuangkan dengan pengorbanan luar biasa. Meskipun kota Surabaya hancur lebur dan ribuan pejuang gugur, perlawanan gigih yang ditunjukkan berhasil menarik simpati internasional. Dunia melihat bahwa bangsa Indonesia benar-benar berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Menurut catatan sejarah yang dihimpun oleh Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, pertempuran ini memakan korban jiwa yang sangat besar di kedua belah pihak, namun semangat perlawanannya menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Insiden yang menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby, meskipun diselimuti misteri, pada akhirnya menjadi bara kecil yang menyulut api revolusi yang jauh lebih besar. Peristiwa ini, seperti yang dianalisis oleh banyak sejarawan, termasuk dalam ulasan di berbagai media nasional, menjadi titik di mana perjuangan diplomasi dan pertempuran fisik bertemu, yang pada akhirnya membentuk karakter bangsa yang pantang menyerah. Tragedi di Jembatan Merah yang merenggut nyawa Brigadir Jenderal AWS Mallaby adalah sebuah momen krusial yang mengubah arah sejarah. Peristiwa ini menjadi bukti betapa tipisnya batas antara negosiasi dan konfrontasi dalam sebuah revolusi. Kematian satu orang perwira tinggi Sekutu menjadi alasan bagi sebuah serangan yang menghancurkan, namun serangan itu justru melahirkan sebuah legenda kepahlawanan yang abadi. Pertempuran Surabaya, yang diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan, adalah warisan langsung dari rangkaian peristiwa yang dimulai dengan kedatangan dan diakhiri dengan tewasnya Mallaby. Kisahnya menjadi pengingat abadi bahwa kemerdekaan Indonesia ditebus dengan harga yang sangat mahal, melalui darah, keberanian, dan pengorbanan tanpa batas dari para pahlawannya.
Apa Reaksi Anda?






