Kisah Serigala Ibu Kota Perjalanan Epik AS Roma dari Rivalitas Panas

VOXBLICK.COM - Roma, Kota Abadi, terbelah menjadi dua setiap kali peluit dibunyikan untuk sebuah pertandingan yang melampaui batas-batas olahraga. Di kota ini, kesetiaan tidak diukur dari geografi, tetapi dari warna yang dikenakan, merah-kuning atau biru-langit. Di jantung dualisme ini berdiri Associazione Sportiva Roma, atau AS Roma, sebuah klub yang lahir dari mimpi untuk menyatukan ibu kota di bawah satu panji. Sejarah AS Roma bukan hanya tentang trofi atau statistik, ini adalah narasi epik tentang identitas, gairah, dan cinta tanpa syarat yang mengalir deras di setiap sudut jalan Roma, sebuah kisah yang mendefinisikan denyut nadi sepak bola Italia.
Awal Mula Sang Serigala: Kelahiran di Jantung Ibu Kota
Pada tanggal 7 Juni 1927, sebuah visi besar lahir. Italo Foschi, seorang tokoh politik dan sekretaris Federasi Fasis Roma, memprakarsai sebuah merger ambisius.
Tiga klub yang lebih tua dari ibu kota, Roman FC, SS Alba-Audace, dan Fortitudo-Pro Roma SGS, dilebur menjadi satu kekuatan tunggal. Tujuannya jelas dan berani, untuk memberikan ibu kota Italia sebuah tim yang mampu menantang dominasi klub-klub kuat dari Italia Utara seperti Juventus, Inter, dan AC Milan. Nama yang dipilih adalah AS Roma, dan warnanya terinspirasi dari panji Kota Abadi, kuning emas dan merah Pompeian. Lahirlah sang Giallorossi. Simbol klub diambil langsung dari mitologi pendirian kota, serigala betina (Lupa Capitolina) yang menyusui Romulus dan Remus. Ini bukan sekadar logo, melainkan sebuah pernyataan identitas yang kuat, mengakar pada sejarah ribuan tahun kota Roma. Stadion pertama mereka, Campo Testaccio, menjadi saksi bisu era awal pembentukan karakter klub. Meskipun sederhana, stadion berstruktur kayu itu menjadi benteng yang ditakuti lawan, tempat para Romanisti pertama kali menyanyikan lagu kebanggaan mereka dan menanamkan fondasi untuk kultur suporter yang legendaris.
Derby della Capitale: Lebih dari Sekadar Pertandingan
Rivalitas dalam olahraga sering kali lahir dari persaingan geografis atau perebutan gelar. Namun, Derby della Capitale antara AS Roma dan SS Lazio adalah sesuatu yang jauh lebih dalam.
Ini adalah cerminan perpecahan sosial dan budaya kota Roma itu sendiri. Sejak awal, rivalitas Lazio menjadi bumbu utama dalam perjalanan sejarah AS Roma. Lazio, yang didirikan pada tahun 1900, menolak untuk bergabung dalam merger yang melahirkan Roma, sebuah keputusan yang menciptakan garis patahan abadi di kota itu. Roma memposisikan diri sebagai klub rakyat, representasi dari jantung kota Roma. Sebaliknya, Lazio secara historis menarik basis pendukung dari daerah pinggiran dan kelas atas, menciptakan narasi kota vs provinsi yang membara hingga hari ini. Atmosfer jelang Derby della Capitale melumpuhkan kota. Spanduk-spanduk provokatif (sfottò) menghiasi jembatan dan monumen, perang kata-kata terjadi di bar dan piazza, dan puncaknya adalah 90 menit penuh drama, intensitas, dan terkadang, agresi di Stadio Olimpico. Pertandingan ini bukan tentang tiga poin, ini adalah tentang hak untuk menyombongkan diri (sfottò), tentang kehormatan, dan tentang supremasi di kota yang paling bersejarah di dunia. Kemenangan dalam derby dirayakan seperti memenangkan trofi, sementara kekalahan meninggalkan luka yang dalam. Dari gol-gol ikonik hingga kartu merah yang dramatis, setiap edisi derby menulis babak baru dalam buku besar sepak bola Italia, mengukuhkan statusnya sebagai salah satu derby paling panas di planet ini.
Era Keemasan dan Scudetto: Puncak Kejayaan Giallorossi
Bagi setiap klub Italia, Scudetto adalah puncak pencapaian, simbol supremasi nasional.
Bagi Giallorossi, setiap gelar Serie A yang diraih bukan hanya kemenangan olahraga, melainkan sebuah festival budaya yang menyatukan seluruh pendukungnya dalam euforia massal. Sejarah AS Roma diwarnai oleh tiga momen magis ketika mereka berhasil menaklukkan Italia.
Scudetto Pertama (1941-42): Kemenangan di Tengah Perang
Di tengah bayang-bayang kelam Perang Dunia II, AS Roma memberikan secercah cahaya bagi penduduk ibu kota.
Di bawah asuhan pelatih Alfréd Schaffer, tim yang dipimpin oleh kapten Guido Masetti dan penyerang muda fenomenal Amedeo Amadei, berhasil melakukan hal yang mustahil. Mereka mematahkan dominasi Utara dan menjadi klub pertama dari Italia tengah-selatan yang memenangkan Serie A. Kemenangan ini lebih dari sekadar trofi, itu adalah simbol ketahanan dan kebanggaan di masa-masa sulit. Amadei, seorang bocah asli Roma, menjadi ikon dari kemenangan ini, mencetak 18 gol dan meletakkan dasar bagi tradisi klub yang selalu menghargai talenta lokal.
Scudetto Kedua (1982-83): Era Nils Liedholm dan Generasi Emas
Butuh waktu 41 tahun bagi Roma untuk kembali ke puncak sepak bola Italia. Penantian itu berakhir dengan cara yang spektakuler.
Dipimpin oleh pelatih asal Swedia yang tenang dan jenius, Nils Liedholm, Roma memainkan sepak bola yang indah dan efektif. Tim ini adalah perpaduan sempurna antara keanggunan Brasil dan ketangguhan Italia. Gelandang Paulo Roberto Falcão adalah otaknya, Bruno Conti menjadi penyihir di sayap, Agostino Di Bartolomei adalah kapten yang berwibawa, dan Roberto Pruzzo adalah mesin gol yang tak terhentikan. Kemenangan Serie A musim 1982-83 memicu perayaan terbesar yang pernah dilihat kota Roma. Jalanan dipenuhi lautan manusia berwarna merah dan kuning, sebuah pemandangan yang menunjukkan betapa berartinya gelar ini bagi para Giallorossi.
Scudetto Ketiga (2000-01): Magis Trio Totti, Batistuta, dan Montella
Di awal milenium baru, AS Roma membangun salah satu tim paling menakutkan dalam sejarah Serie A. Di bawah komando pelatih pragmatis Fabio Capello, Roma memiliki segalanya.
Pertahanan yang kokoh dipimpin oleh Walter Samuel dan Aldair, lini tengah yang dinamis diisi oleh Emerson dan Damiano Tommasi, dan lini serang yang legendaris. Gabriel Batigol Batistuta didatangkan untuk menjadi predator di kotak penalti, Vincenzo Montella adalah Aeroplanino yang lincah, dan di atas semua itu, ada sang pangeran, Francesco Totti. Dalam peran barunya sebagai trequartista, Francesco Totti menjadi konduktor orkestra serangan Giallorossi. Puncaknya terjadi pada 17 Juni 2001, ketika kemenangan 3-1 atas Parma di Stadio Olimpico memastikan gelar Serie A ketiga. Kota Roma kembali meledak dalam perayaan yang tak terlupakan, mengukuhkan status tim ini dalam jajaran legenda klub.
Francesco Totti: Pangeran Roma yang Abadi
Mustahil membahas sejarah AS Roma tanpa mendedikasikan satu bab khusus untuk Francesco Totti. Dia bukan sekadar pemain, kapten, atau legenda. Totti adalah Roma. Lahir dan besar di lingkungan Porta Metronia, Totti menolak tawaran dari klub-klub raksasa seperti AC Milan dan Real Madrid demi membela satu-satunya klub yang ia cintai. Selama 25 tahun karirnya, ia mengenakan seragam yang sama, seragam Giallorossi. Kesetiaannya di era sepak bola modern yang sangat komersial adalah sebuah anomali yang indah. Totti adalah perpaduan langka antara kekuatan fisik, visi bermain yang jenius, dan teknik yang luar biasa. Gol-golnya adalah karya seni. Mulai dari tendangan lob cucchiaio yang menjadi ciri khasnya, tendangan bebas yang mematikan, hingga gol-gol penentu di Derby della Capitale. Salah satu momen paling ikonik adalah selebrasi selfienya di depan Curva Sud setelah mencetak gol penyama kedudukan melawan Lazio, sebuah tindakan yang merangkum hubungannya yang mendalam dengan para penggemar. Bagi para Romanisti, Francesco Totti adalah Il Capitano, Er Pupone, pangeran kedelapan Roma yang tak akan pernah tergantikan. Seperti yang diungkapkan oleh berbagai media olahraga internasional, loyalitasnya adalah warisan yang melampaui trofi apapun yang bisa ia menangkan di klub lain.
Stadion dan Para Tifosi: Jiwa Giallorossi yang Tak Pernah Padam
Sebuah klub sepak bola tidak akan berarti apa-apa tanpa pendukungnya, dan AS Roma memiliki salah satu basis penggemar paling bersemangat dan setia di dunia.
Para Romanisti, terutama mereka yang memenuhi tribun selatan Stadio Olimpico, yang dikenal sebagai Curva Sud, adalah detak jantung klub. Mereka adalah pemain ke-12 yang sesungguhnya. Koreografi megah yang mereka tampilkan sebelum pertandingan besar, terutama saat Derby della Capitale, adalah pemandangan yang memukau dunia sepak bola Italia dan global. Nyanyian mereka yang tak kenal lelah, seperti lagu kebangsaan Roma, Roma, Roma yang menggema di seluruh stadion sebelum kickoff, menciptakan atmosfer yang bisa mengintimidasi lawan terkuat sekalipun. Hubungan antara klub, pemain, dan penggemar sangatlah dalam. Pemain yang menunjukkan loyalitas dan berjuang demi seragam Giallorossi akan dipuja selamanya. Sebaliknya, mereka yang dianggap berkhianat akan dicemooh tanpa ampun. Ikatan ini ditempa melalui suka dan duka, dari perayaan Scudetto yang gemilang hingga kekalahan yang menyakitkan di final piala. Meskipun detail spesifik dari beberapa pertandingan bersejarah mungkin memiliki versi berbeda dari para saksi mata, inti dari semangat dan hasil akhirnya tetap terukir dalam sejarah sepak bola Italia. Bagi para tifosi, mendukung Roma bukanlah pilihan, melainkan takdir. Itu adalah identitas yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah sumber kebanggaan yang tak tergoyahkan.
Tantangan Modern dan Harapan Masa Depan
Memasuki era pasca-Totti, AS Roma menghadapi tantangan baru. Lanskap sepak bola Italia dan Eropa telah berubah, dengan kekuatan finansial menjadi faktor yang semakin dominan. Namun, semangat Giallorossi tidak pernah pudar. Di bawah kepemilikan baru, klub terus berusaha untuk kembali bersaing di level tertinggi. Kemenangan di edisi perdana UEFA Europa Conference League pada tahun 2022 di bawah asuhan José Mourinho menjadi bukti bahwa DNA pemenang masih ada dalam diri klub. Itu adalah trofi Eropa pertama dalam sejarah klub dan disambut dengan perayaan yang luar biasa oleh para penggemar, menunjukkan betapa besarnya dahaga mereka akan kesuksesan. Kini, dengan dukungan penuh dari para penggemar yang tak pernah lelah, Roma terus membangun tim yang kompetitif. Mimpi untuk meraih Scudetto keempat dan kembali berlaga di panggung termegah Eropa, Liga Champions, selalu menjadi api yang menyala. Perjalanan klub ini, seperti yang tercatat dalam laman sejarah resmi klub, adalah siklus abadi dari harapan, perjuangan, dan gairah yang tak terbatas. Kisah serigala ibu kota masih jauh dari selesai, dan bab-bab baru yang menarik siap untuk ditulis. Kisah perjuangan, loyalitas, dan semangat juang AS Roma di lapangan hijau mengajarkan kita tentang kekuatan sebuah komunitas dan pentingnya dedikasi. Semangat ini tidak hanya relevan di dunia olahraga, tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Sama seperti para atlet yang menjaga kondisi fisik dan mental mereka untuk performa puncak, kita pun bisa menemukan kekuatan, ketenangan, dan pelepasan stres melalui aktivitas fisik yang teratur. Menemukan jenis olahraga yang kita nikmati, entah itu lari pagi, bermain futsal bersama teman, atau sekadar berjalan santai, adalah investasi berharga bagi kesehatan tubuh dan pikiran, membantu kita menghadapi tantangan dengan energi dan semangat yang sama seperti para Giallorossi di lapangan.
Apa Reaksi Anda?






