Kritik Charlie Chaplin terhadap Kapitalisme dalam 'Modern Times'


Senin, 25 Agustus 2025 - 07.04 WIB
Kritik Charlie Chaplin terhadap Kapitalisme dalam 'Modern Times'
Modern Times Kritik visual terhadap kapitalisme industri

VOXBLICK.COM - Saat kamu menonton The Little Tramp, karakter ikonik Charlie Chaplin, terlempar ke sana kemari di pabrik yang serba otomatis, mungkin yang pertama kali muncul adalah tawa. Tapi di balik setiap gerakan konyol itu, tersimpan potret suram sebuah zaman.

Modern Times, yang dirilis pada tahun 1936, lahir dari rahim Depresi Hebat, periode kelam dalam sejarah Amerika di mana pengangguran merajalela dan harapan seolah menjadi barang langka. Charlie Chaplin tidak sedang membuat film di ruang hampa; ia sedang merekam kegelisahan dunia di sekitarnya.

Film ini dibuka dengan gambar domba-domba yang digiring, lalu langsung beralih ke para pekerja yang berdesakan keluar dari stasiun kereta bawah tanah. Metafora ini begitu lugas dan menusuk: manusia telah menjadi ternak dalam sistem industri. Ini bukan sekadar lelucon, ini adalah kritik kapitalisme yang paling visual.

Chaplin, melalui pengalamannya sendiri yang tumbuh dalam kemiskinan ekstrem di London, memiliki kepekaan mendalam terhadap penderitaan kaum pekerja. Ia melihat bagaimana era mesin, yang seharusnya mempermudah hidup, justru menciptakan bentuk perbudakan baru. Para pekerja dipaksa mengikuti ritme mesin yang tak kenal lelah, mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka demi efisiensi.

Modern Times adalah surat cinta Chaplin untuk mereka yang terpinggirkan, sekaligus surat protes terhadap sistem yang melupakan sisi kemanusiaan.

2. Satire Tajam Terhadap Kultus Efisiensi

Pernah dengar istilah 'Taylorisme'? Ini adalah teori manajemen ilmiah yang dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor, yang bertujuan memecah setiap pekerjaan menjadi tugas-tugas kecil dan repetitif untuk memaksimalkan efisiensi.

Kedengarannya bagus di atas kertas, tapi dampaknya pada manusia bisa sangat merusak. Adegan di mana The Tramp bekerja di lini perakitan, mengencangkan baut dengan gerakan yang sama berulang-ulang, adalah visualisasi sempurna dari kritik Chaplin terhadap Taylorisme. Gerakannya menjadi begitu mekanis hingga bahkan setelah jam kerja usai, tubuhnya masih bergerak-gerak sendiri seolah sedang mengencangkan baut.

Puncaknya adalah ketika ia benar-benar 'ditelan' oleh mesin raksasa, sebuah alegori kuat tentang bagaimana era mesin dan sistem industri melenyapkan individualitas. Chaplin menunjukkan bahwa ketika manusia diperlakukan seperti komponen mesin, jiwa mereka pun ikut terkikis. Adegan 'Mesin Pemberi Makan' yang gagal total juga menjadi satire sosial yang brilian.

Ide untuk memberi makan pekerja sambil mereka bekerja, demi menghemat waktu istirahat, adalah puncak dari logika dehumanisasi. Kegagalan mesin tersebut seolah menjadi pesan Chaplin: ada batas di mana teknologi bisa dan harus ikut campur dalam kehidupan manusia. Upaya untuk mengotomatisasi segalanya, bahkan kebutuhan paling dasar seperti makan, akan selalu berakhir kacau karena mengabaikan martabat manusia.

Melalui Modern Times, Charlie Chaplin mengingatkan kita bahwa efisiensi tanpa empati adalah sebuah tirani.

3. Protes Cerdas di Era Film Bersuara

Satu hal yang membuat Modern Times begitu unik adalah statusnya sebagai film bisu yang dirilis hampir satu dekade setelah film bersuara (talkies) mendominasi bioskop.

Ini bukan karena Chaplin ketinggalan zaman, justru sebaliknya, ini adalah sebuah pilihan artistik yang sangat cerdas dan penuh makna. Chaplin merasa bahwa dialog akan 'membunuh' karakter The Tramp yang universal, yang pesonanya terletak pada pantomim dan ekspresi fisiknya. Namun, ia tidak sepenuhnya menolak suara. Ia menggunakannya secara selektif sebagai senjata untuk satire sosial.

Coba kamu perhatikan: suara-suara yang muncul dalam film ini hampir selalu bersifat opresif dan non-manusiawi. Suara bos pabrik yang mengawasi dan memerintah para pekerja hanya terdengar dari layar monitor raksasa, sebuah gambaran awal dari pengawasan di tempat kerja. Suara penjual yang mempromosikan mesin pemberi makan terdengar seperti rekaman yang dingin dan mekanis.

Sebaliknya, kaum tertindas The Tramp dan The Gamin (diperankan oleh Paulette Goddard) tetap bisu. Satu-satunya momen The Tramp 'berbicara' adalah saat ia menyanyikan lagu omong kosong di sebuah kafe. Teksnya tidak berarti apa-apa, namun penampilannya yang penuh semangat berhasil memikat penonton.

Ini adalah pernyataan kuat dari Chaplin: komunikasi sejati dan emosi manusia tidak memerlukan kata-kata yang terstruktur; ia datang dari hati. Pilihan untuk tetap menjadi film bisu di tengah gempuran film bersuara adalah bentuk perlawanan terhadap komersialisasi seni dan homogenisasi budaya yang dibawa oleh era mesin.

Seperti yang dianalisis oleh banyak sejarawan film, termasuk dalam esai di The Criterion Collection, keputusan ini memperkuat tema utama film tentang individu yang berjuang mempertahankan identitasnya di dunia yang semakin terstandardisasi.

4. Kritik Kapitalisme yang Abadi

Lebih dari sekadar cerita tentang pabrik, Modern Times adalah sebuah kritik kapitalisme yang mendalam dan berlapis.

Film ini dengan cerdas menyoroti absurditas sistem yang memprioritaskan keuntungan di atas kesejahteraan manusia. The Tramp terus-menerus terlempar dari satu situasi buruk ke situasi buruk lainnya: dari pekerjaan yang menindas, ke penjara, lalu menjadi gelandangan. Ironisnya, ia justru merasa lebih aman dan nyaman di dalam penjara daripada di dunia luar yang kejam.

Di penjara, setidaknya ia mendapat makan dan tempat tinggal sebuah komentar pedas tentang bagaimana masyarakat 'bebas' gagal menyediakan jaring pengaman sosial yang paling dasar bagi warganya. Adegan di mana ia tanpa sengaja memimpin demonstrasi komunis karena memungut bendera merah yang jatuh adalah contoh lain dari kejeniusan satire sosial Chaplin. The Tramp tidak punya ideologi politik; ia hanya ingin bertahan hidup.

Namun, sistem selalu memberinya label dan menjebaknya dalam konflik yang tidak ia pahami. Film ini juga menyentil budaya konsumerisme lewat adegan di department store, di mana The Tramp dan The Gamin berpura-pura hidup mewah. Mereka bisa menikmati semua barang yang dipajang, tetapi itu semua hanyalah ilusi. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh kepemilikan materi ternyata kosong dan sementara.

Menurut analisis dari berbagai kritikus modern, relevansi kritik ini terasa semakin kuat hari ini, di mana kita hidup dalam masyarakat yang didorong oleh iklan dan keinginan untuk memiliki lebih banyak.

Modern Times mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan di rak-rak toko, melainkan dalam hubungan antarmanusia dan kebebasan untuk menjadi diri sendiri.

5. Harapan di Ujung Jalan yang Tak Pasti

Setelah semua penderitaan, kesialan, dan kritik sosial yang tajam, Modern Times tidak berakhir dengan keputusasaan. Adegan penutupnya adalah salah satu yang paling ikonik dan mengharukan dalam sejarah sinema.

The Tramp dan The Gamin duduk di pinggir jalan, lelah dan tanpa punya apa-apa. The Gamin menangis, merasa putus asa. Lalu, The Tramp menatapnya dan berkata (melalui teks), 'Smile! C'mon. We'll get along.' Mereka kemudian bangkit, dan berjalan bergandengan tangan menyusuri jalan panjang menuju cakrawala yang tidak pasti, diiringi musik tema 'Smile' yang digubah oleh Charlie Chaplin sendiri.

Ini bukan akhir bahagia ala Hollywood. Mereka tidak tiba-tiba menjadi kaya atau menemukan solusi untuk semua masalah mereka. Akhir dari film ini adalah tentang ketahanan (resilience).

Ini adalah pernyataan bahwa meskipun dunia bisa jadi tempat yang kejam dan sistem bisa jadi sangat menindas, harapan dan semangat manusia untuk terus maju tidak akan pernah bisa dipadamkan selama kita memiliki satu sama lain. Pesan ini melampaui konteks Depresi Hebat atau era mesin. Ini adalah pesan universal tentang kekuatan persahabatan, cinta, dan optimisme dalam menghadapi kesulitan.

Di dunia yang sering kali terasa tidak adil dan penuh tantangan, akhir dari Modern Times adalah pengingat lembut bahwa langkah terpenting adalah langkah selanjutnya, yang diambil bersama seseorang yang kita sayangi, menuju masa depan yang tidak diketahui namun penuh harapan. Charlie Chaplin tidak menawarkan solusi mudah, tetapi ia memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga: alasan untuk terus tersenyum dan berjalan.

Pada akhirnya, menonton Modern Times hari ini terasa seperti melihat ke cermin. Tema-tema tentang dehumanisasi akibat teknologi, kecemasan akan pekerjaan, kesenjangan ekonomi, dan pencarian makna di dunia yang serba cepat masih sangat bergema. Charlie Chaplin, melalui karakter The Little Tramp, berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya lucu, tetapi juga sangat mendalam dan profetik.

Film ini adalah bukti bahwa komedi terbaik sering kali lahir dari tragedi, dan tawa bisa menjadi senjata paling ampuh untuk mengkritik ketidakadilan. Jadi, lain kali kamu menontonnya, lihatlah lebih dalam dari sekadar adegan slapstick-nya. Kamu akan menemukan sebuah mahakarya abadi yang terus berbicara kepada kita tentang apa artinya menjadi manusia di tengah gempuran modernitas.

Perlu diingat bahwa interpretasi terhadap sebuah karya seni bisa berbeda-beda, dan pandangan yang disajikan di sini berfokus pada analisis historis dan sinematik yang umum diterima.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0