Malaka Pernah Jadi Jantung Dunia Inilah Kisah Perebutan Kekuasaannya


Kamis, 04 September 2025 - 02.25 WIB
Malaka Pernah Jadi Jantung Dunia Inilah Kisah Perebutan Kekuasaannya
Perebutan Pusat Perdagangan Malaka (Foto oleh The Cleveland Museum of Art di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pada puncak kejayaannya di abad ke-15, Bandar Malaka bukanlah sekadar pelabuhan. Ia adalah jantung perdagangan dunia, sebuah metropolis kosmopolitan yang denyutnya dirasakan dari Venesia hingga Kepulauan Maluku. Di bawah naungan Kesultanan Malaka, kota ini menjadi titik temu para saudagar dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok, semua datang untuk satu hal yang paling berharga saat itu yaitu rempah-rempah. Tomé Pires, seorang apoteker Portugis yang tinggal di Malaka, dalam catatannya yang terkenal, Suma Oriental, menulis, "Siapa pun yang menjadi penguasa Malaka, ia akan memegang leher Venesia." Pernyataan ini menunjukkan betapa vitalnya peran Malaka dalam jaringan perdagangan global, sebuah gerbang yang mengendalikan arus kekayaan dari Timur ke Barat. Kehidupan di pelabuhan ini begitu ramai, dengan lebih dari 80 bahasa terdengar di sepanjang jalanannya. Kekayaan yang melimpah dan posisi strategis inilah yang pada akhirnya mengundang takdir yang tak terhindarkan, mengubah sejarah Malaka selamanya.

Zaman Keemasan Kesultanan Malaka di Jalur Rempah


Didirikan oleh Parameswara sekitar tahun 1400, Kesultanan Malaka dengan cepat bertransformasi dari desa nelayan kecil menjadi imperium maritim yang disegani.

Lokasinya yang sempurna di Selat Malaka, jalur air tersempit yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, adalah kunci utamanya. Angin muson yang dapat diprediksi membawa para pedagang ke pelabuhannya, menjadikannya tempat transit yang ideal. Namun, lokasi saja tidak cukup. Para sultan Malaka, terutama Sultan Mansur Syah dan Sultan Alauddin Riayat Syah, menerapkan kebijakan yang sangat progresif pada masanya. Mereka menciptakan sistem administrasi pelabuhan yang efisien, hukum laut yang adil, dan keamanan yang terjamin dari para perompak. Para syahbandar ditugaskan untuk mengelola komunitas pedagang dari berbagai negara, memastikan perdagangan berjalan lancar. Keberhasilan Kesultanan Malaka dalam mengelola keragaman ini menjadikannya pusat peradaban yang makmur. Cengkeh dan pala dari Maluku, lada dari Sumatra, sutra dan porselen dari Tiongkok, serta tekstil dari India, semuanya bertemu di pasar Malaka sebelum didistribusikan ke seluruh dunia. Era ini adalah puncak dari dominasi maritim pribumi di Jalur Rempah, sebuah periode kemakmuran yang sayangnya tidak bertahan lama.

Badai dari Barat Kedatangan Portugis


Di belahan dunia lain, sebuah bangsa bahari kecil bernama Portugal sedang menatap ke Timur dengan ambisi besar.

Didorong oleh semangat Reconquista dan keinginan untuk mematahkan monopoli perdagangan rempah Venesia dan Mamluk, mereka mencari jalur laut langsung ke sumbernya. Pada tahun 1509, armada Portugis pertama di bawah pimpinan Diogo Lopes de Sequeira tiba di perairan Malaka. Awalnya, mereka disambut baik oleh Sultan Mahmud Syah. Namun, komunitas pedagang Muslim dari Gujarat dan Jawa di pelabuhan melihat kedatangan mereka sebagai ancaman serius. Mereka meyakinkan sultan bahwa niat Portugis lebih dari sekadar berdagang. Terjadilah sebuah konspirasi yang menyebabkan serangan terhadap armada Portugis, menewaskan beberapa orang dan menawan sisanya. Berita tentang insiden ini sampai ke telinga Gubernur Portugis di India, Afonso de Albuquerque, seorang komandan militer yang brilian, ambisius, dan kejam. Baginya, ini adalah pembenaran yang sempurna untuk melancarkan serangan balasan. Misi penaklukan pun disiapkan. Misi ini bukan lagi hanya tentang perdagangan, ini adalah tentang hegemoni. Sejarah Malaka akan segera memasuki babak baru yang penuh darah.

1511 Kejatuhan Sang Raksasa


Pada bulan Juli 1511, cakrawala Malaka dihiasi oleh pemandangan yang menakutkan. Delapan belas kapal perang Portugis di bawah komando Afonso de Albuquerque tiba dengan satu tujuan yaitu menaklukkan kota.

Albuquerque menuntut pembebasan tawanan dan ganti rugi, namun tuntutannya yang paling berat adalah izin untuk mendirikan benteng Portugis di tanah Malaka, sebuah permintaan yang sama saja dengan penyerahan kedaulatan. Sultan Mahmud Syah menolak. Maka, dimulailah perebutan Malaka yang pertama oleh kekuatan Eropa. Pertempuran itu berlangsung sengit. Pasukan Kesultanan Malaka, yang diperkuat oleh ribuan prajurit dan meriam, bertarung dengan gagah berani untuk mempertahankan tanah air mereka. Namun, mereka menghadapi musuh yang unggul secara teknologi. Kapal perang Portugis, yang disebut carrack, adalah benteng terapung yang dilengkapi dengan artileri perunggu yang jauh lebih superior. Setelah serangkaian serangan dan pertempuran jalanan yang brutal selama lebih dari sebulan, pada 24 Agustus 1511, pasukan Portugis akhirnya berhasil menguasai kota. Sultan Mahmud Syah dan pengikutnya terpaksa melarikan diri ke pedalaman, memulai perlawanan dari luar. Malaka, permata di Jalur Rempah, telah jatuh. Ini adalah momen krusial dalam sejarah Asia Tenggara, menandai awal dari era kolonialisme Eropa di wilayah tersebut.

Satu Abad di Bawah Bendera Portugis


Pendudukan Portugis di Malaka segera mengubah wajah kota.

Albuquerque memerintahkan pembangunan sebuah benteng besar yang megah bernama A Famosa (Yang Termasyhur), menggunakan batu dari masjid dan makam yang dihancurkan. Benteng ini menjadi simbol dominasi dan kekuatan militer Portugis di Asia. Namun, mimpi mereka untuk sepenuhnya mengendalikan Jalur Rempah dari Malaka tidak pernah benar-benar terwujud. Pemerintahan Portugis dipenuhi dengan berbagai masalah.


  • Perlawanan Konstan: Sultan Mahmud Syah dan keturunannya mendirikan Kesultanan Johor dan terus melancarkan serangan gerilya terhadap Malaka. Mereka juga didukung oleh kekuatan regional lain yang sedang naik daun, seperti Kesultanan Aceh, yang melihat Portugis sebagai saingan dagang dan musuh agama.

  • Korupsi dan Manajemen Buruk: Jauh dari Lisbon, para pejabat Portugis di Malaka sering kali lebih mementingkan kekayaan pribadi daripada kepentingan kerajaan. Korupsi merajalela, dan kebijakan perdagangan yang kaku dan diskriminatif membuat banyak pedagang Asia memilih untuk berlabuh di pelabuhan lain.

  • Kegagalan Monopoli: Meskipun menguasai Malaka, Portugis tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan rempah sepenuhnya. Para pedagang Muslim hanya mengalihkan rute mereka melalui pelabuhan-pelabuhan lain yang dikuasai oleh kesultanan-kesultanan lokal, seperti Aceh dan Banten. Sejarah Malaka di bawah Portugis adalah kisah tentang benteng yang terkepung, bukan pusat perdagangan yang dinamis seperti sebelumnya.

Selama lebih dari satu abad, Portugis di Malaka berjuang untuk mempertahankan pijakan mereka yang berharga. Mereka berhasil menahan puluhan kali pengepungan, tetapi cengkeraman mereka perlahan melemah.

Sementara itu, di Eropa, kekuatan baru yang lebih terorganisir, efisien, dan kejam sedang bangkit, siap untuk menantang dominasi Portugis di Timur. Kekuatan itu adalah VOC dari Belanda.

Munculnya VOC Rival Baru yang Lebih Kuat


Pada awal abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, muncul sebagai kekuatan korporat paling kuat di dunia.

Berbeda dari Portugis yang dimotivasi oleh agama dan kehormatan, VOC adalah entitas yang sepenuhnya berfokus pada keuntungan. Menurut sejarawan seperti M.C. Ricklefs, pendekatan mereka jauh lebih sistematis dan tanpa ampun. Mereka tidak hanya ingin berpartisipasi dalam perdagangan Asia, mereka ingin mengendalikannya secara total. Mereka dengan cepat menyadari bahwa untuk mencapai tujuan itu, hegemoni Portugis harus dihancurkan. Satu per satu, benteng dan pos dagang Portugis di Kepulauan Rempah jatuh ke tangan Belanda. Namun, ada satu duri yang masih tersisa, satu simbol kekuatan Portugis yang harus direbut yaitu Malaka. Bagi Belanda di Malaka, menguasai kota itu bukan hanya soal keuntungan ekonomi, tetapi juga soal prestise dan strategi. Dengan menguasai Malaka, mereka dapat mengamankan rute ke pusat operasi baru mereka di Batavia (sekarang Jakarta) dan secara efektif memutus urat nadi kekuasaan Portugis di Asia Tenggara. Perebutan Malaka babak kedua pun tak terelakkan.

Pengepungan Terakhir Kejatuhan Portugis di Tangan Belanda


Pada tahun 1640, Belanda, yang bersekutu dengan musuh bebuyutan Portugis, Kesultanan Johor, melancarkan serangan besar-besaran untuk merebut Malaka. Pengepungan ini menjadi salah satu yang paling brutal dan terpanjang dalam sejarah Malaka. Selama lebih dari lima bulan, kota itu dikepung dari darat dan laut. Pasukan VOC dan Johor memutus semua jalur pasokan, menyebabkan kelaparan dan wabah penyakit merajalela di dalam benteng A Famosa. Garnisun Portugis, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan putus asa. Catatan sejarah menggambarkan kondisi di dalam benteng sangat mengerikan, di mana para prajurit dan penduduk sipil terpaksa memakan anjing, kucing, dan tikus untuk bertahan hidup. Menurut catatan yang tersimpan dalam arsip sejarah Belanda, pertahanan Portugis akhirnya runtuh. Pada 14 Januari 1641, setelah serangan terakhir yang mematikan, pasukan Belanda dan Johor berhasil menerobos dinding benteng. Pertempuran sengit terjadi di jalan-jalan kota yang hancur. Ketika debu pertempuran mereda, bendera VOC berkibar di atas A Famosa. Setelah 130 tahun, kekuasaan Portugis di Malaka berakhir. Kota itu kini berada di tangan kekuatan kolonial Eropa yang baru. Sejarah Malaka sekali lagi ditulis oleh para penakluk.

Senja Kala di Bawah Pemerintahan Belanda


Harapan bahwa kembalinya Malaka ke tangan kekuatan Protestan akan mengembalikan kejayaannya pupus dengan cepat. Tujuan utama Belanda di Malaka sangat berbeda dari Portugis. VOC tidak berniat menjadikan Malaka sebagai pusat imperium mereka. Mereka telah membangun pusat administrasi dan perdagangan yang jauh lebih besar dan strategis di Batavia. Bagi VOC, fungsi Malaka adalah sebagai benteng pertahanan untuk melindungi kepentingan mereka di Selat Malaka dan untuk memastikan tidak ada kekuatan Eropa lain yang dapat mengancam dominasi mereka. Kebijakan ini secara efektif mengebiri peran Malaka sebagai pusat perdagangan internasional. Arus perdagangan dialihkan ke Batavia, dan Malaka perlahan-lahan berubah menjadi kota garnisun yang sepi. Meskipun Belanda melakukan beberapa pembangunan dan pemeliharaan, termasuk membangun Stadthuys yang ikonik, semangat dan dinamisme kota yang pernah menjadi jantung Jalur Rempah telah hilang. Kehadiran Belanda di Malaka menandai akhir dari relevansi kota tersebut sebagai pelabuhan utama dunia. Ironisnya, setelah melalui perebutan Malaka yang begitu dahsyat, pemenangnya justru memilih untuk membiarkannya layu. Informasi yang disajikan dalam narasi sejarah ini didasarkan pada catatan dan analisis yang terdokumentasi, seperti yang dapat ditemukan dalam sumber-sumber tepercaya seperti Encyclopedia Britannica, meskipun interpretasi detail peristiwa bisa beragam di antara para sejarawan.

Jatuh bangunnya Bandar Malaka adalah sebuah epik yang membentang selama berabad-abad, sebuah cerminan dari pergeseran lempeng kekuasaan global.

Dari puncak kejayaan Kesultanan Malaka yang kosmopolitan, hingga penaklukan brutal oleh Portugis, dan akhirnya diambil alih oleh Belanda yang pragmatis, kisah kota ini adalah pelajaran tentang bagaimana kekayaan dan posisi strategis dapat menjadi berkah sekaligus kutukan. Setiap lapisan sejarahnya, dari reruntuhan A Famosa hingga bangunan merah Stadthuys, berbicara tentang ambisi, konflik, dan transformasi. Kisah ini mengingatkan kita bahwa tidak ada imperium yang abadi dan bahwa roda sejarah terus berputar. Memahami perjalanan Malaka bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang mengambil hikmah dari bagaimana sebuah peradaban beradaptasi, bertahan, atau akhirnya menyerah pada arus perubahan zaman yang tak terhindarkan.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0