Mencermati Manuver Aliansi Militer Rusia-Tiongkok di Indo-Pasifik: Ancaman Baru untuk Stabilitas Regional?

VOXBLICK.COM - Latihan militer gabungan antara Rusia dan Tiongkok di perairan Indo-Pasifik belakangan benar-benar jadi sorotan dunia. Dua negara besar ini tidak sekadar unjuk kekuatan, tapi juga mengirim sinyal jelas soal perubahan peta keamanan regional. Rusia Tiongkok aliansi semakin nyata di panggung global, terutama setelah keduanya menggelar latihan tempur laut bersama di dekat Jepang dan Filipina pada 2023, menurut laporan Reuters. Kehadiran armada gabungan ini mempertegas ambisi mereka untuk menyeimbangkan dominasi Amerika dan sekutunya di kawasan Indo-Pasifik.
Konteksnya, Indo-Pasifik saat ini jadi ajang tarik-menarik kepentingan antara kekuatan besar dunia.
Amerika Serikat, Jepang, dan Australia selama ini dikenal mendukung stabilitas Asia dengan mengedepankan kerja sama keamanan melalui forum seperti Quad. Namun, masuknya Rusia Tiongkok aliansi lewat latihan militer dan kerja sama strategis menggeser dinamika lama yang sudah terbentuk. Pengaruh Rusia dan pengaruh Tiongkok kini semakin terasa, terutama setelah mereka secara konsisten meningkatkan intensitas latihan militer dan patroli laut gabungan di wilayah sengketa seperti Laut Cina Selatan.
Ambisi Global dan Pengaruh Regional
Rusia dan Tiongkok punya sejarah hubungan internasional yang naik turun. Tapi sejak ketegangan dengan Barat memuncak akibat perang Ukraina, Moskow dan Beijing semakin kompak.
Vladimir Putin dan Xi Jinping secara terbuka menyatakan bahwa mereka ingin memperdalam kemitraan strategis, termasuk dalam sektor pertahanan dan latihan militer skala besar. Dalam wawancara dengan South China Morning Post, analis militer Collin Koh dari S. Rajaratnam School of International Studies Singapura menjelaskan bahwa "latihan gabungan ini bukan hanya soal interoperabilitas, tetapi juga pesan politik yang ingin mereka sampaikan ke dunia."
Efek nyata dari aliansi Rusia Tiongkok ini bisa dilihat dari meningkatnya latihan udara dan laut di sekitar Jepang, Taiwan, hingga Filipina.
Kementerian Pertahanan Jepang beberapa kali mengeluarkan pernyataan resmi soal meningkatnya pelanggaran wilayah udara dan laut oleh kapal dan pesawat tempur dari kedua negara. Sementara Amerika Serikat bersama sekutunya makin sering menggelar operasi Freedom of Navigation Operations (FONOPs) sebagai balasan, menurut data dari US Department of Defense.
Strategi Militer dan Perimbangan Kekuatan di Indo-Pasifik
Strategi militer Rusia Tiongkok aliansi tidak hanya bertumpu pada latihan gabungan. Ada juga pengembangan teknologi militer bersama, seperti sistem pertahanan udara canggih dan kapal perang generasi baru.
Menurut analisis Center for Strategic and International Studies (CSIS), kerja sama ini berpotensi meningkatkan daya gentar mereka di mata negara-negara Asia Tenggara, yang selama ini bergantung pada payung keamanan Amerika.
Faktor lain yang bikin isu ini makin panas adalah konflik Laut Cina Selatan. Tiongkok mengklaim hampir seluruh perairan di wilayah itu, padahal ada tumpang tindih klaim dengan beberapa negara ASEAN.
Rusia, meski tidak secara terbuka terlibat, kini punya akses lebih luas ke kawasan lewat kerjasama latihan militer dan diplomasi pertahanan. Ini tentu membuat negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia harus berhitung ulang soal strategi pertahanan mereka.
Dampak Nyata bagi Stabilitas Asia
Kehadiran militer Rusia Tiongkok di Indo-Pasifik membawa sejumlah implikasi penting. Pertama, potensi perlombaan senjata semakin terbuka lebar.
Negara-negara seperti Jepang dan Australia mulai menggencarkan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) modern. Data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan belanja militer di Asia-Pasifik meningkat lebih dari 4% pada 2023, kenaikan tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Kedua, diplomasi di kawasan makin rumit. Negara-negara ASEAN yang selama ini cenderung netral, kini mulai terbelah dalam menyikapi pengaruh Rusia dan pengaruh Tiongkok.
Ada yang memilih mempererat hubungan dengan Amerika, ada juga yang mulai membuka komunikasi dengan Moskow dan Beijing demi menjaga perimbangan kekuatan. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dalam survei tahunannya mencatat lebih dari 60% elite Asia Tenggara mengkhawatirkan ketegangan militer antar blok ini akan mengancam stabilitas kawasan.
Reaksi Amerika dan Sekutu
Amerika Serikat tentu tidak tinggal diam menghadapi manuver Rusia Tiongkok aliansi. Melalui Indo-Pacific Strategy, Washington memperkuat kehadiran militernya di Guam, Filipina, dan Australia.
Selain itu, latihan militer bersama seperti RIMPAC (Rim of the Pacific Exercise) digelar dengan melibatkan lebih dari 20 negara pada 2022, mengirim pesan tegas soal komitmen menjaga keamanan regional.
Jepang dan Australia juga memperkuat kerjasama pertahanan, termasuk pengembangan teknologi misil dan sistem radar canggih.
Menteri Pertahanan Jepang, Yasukazu Hamada, menyebutkan dalam konferensi pers pada Juli 2023 bahwa kolaborasi keamanan dengan Amerika dan Australia jadi prioritas utama dalam menghadapi tantangan baru di Indo-Pasifik.
Tantangan bagi Indonesia dan Asia Tenggara
Indonesia sebagai negara kunci di kawasan tentu ikut merasakan tekanan dari perubahan dinamika ini. Posisi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai "non-aligned" atau tidak memihak, kini diuji dengan derasnya arus pengaruh Rusia Tiongkok aliansi.
Indonesia harus cermat menyeimbangkan hubungan internasional, menjaga stabilitas Asia, dan melindungi kepentingan nasional di tengah rivalitas global.
Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, yang dikutip Kompas, "Indonesia harus bijak dan tidak terburu-buru mengambil sikap di tengah ketegangan blok militer.
Diplomasi yang aktif dan terbuka jadi kunci agar tidak terseret ke dalam konflik besar."
Potensi Konflik dan Skenario Masa Depan
Bukan rahasia lagi, semakin besar latihan militer dan kehadiran blok militer di Indo-Pasifik, semakin tinggi juga risiko salah paham yang bisa berujung pada insiden militer.
Sejarah telah mencatat, insiden tabrakan kapal atau pelanggaran wilayah udara bisa memicu eskalasi cepat. Dalam laporan Council on Foreign Relations, disebutkan bahwa Laut Cina Selatan kini menjadi salah satu "flashpoint" utama dunia, di mana gesekan kecil bisa berdampak global.
Ada juga skenario di mana Rusia Tiongkok aliansi memperdalam kerjasama di bidang siber dan teknologi ruang angkasa, yang berpotensi mengubah wajah strategi militer modern.
Pengaruh global kedua negara ini tidak hanya terasa di Asia, tapi juga di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin, lewat ekspor senjata, investasi infrastruktur, hingga diplomasi pertahanan.
Peran Organisasi Regional dan Multilateralisme
ASEAN sebagai payung kerjasama Asia Tenggara menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan. Selama ini, prinsip non-interference dan konsensus kerap menghambat langkah cepat dalam merespons isu keamanan.
Namun, dengan makin intensnya manuver Rusia Tiongkok aliansi, tekanan pada ASEAN untuk memperkuat mekanisme keamanan bersama makin besar.
United Nations dan forum multilateral lain juga didorong untuk lebih aktif mendorong dialog dan de-eskalasi ketegangan.
Menurut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, stabilitas Asia bergantung pada dialog terbuka dan penghormatan terhadap hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Bagaimana Negara Kecil Bertahan?
Negara-negara kecil di Indo-Pasifik, seperti Timor Leste, Brunei, hingga negara kepulauan Pasifik, harus mencari strategi bertahan di tengah rivalitas blok besar ini.
Banyak yang memperkuat diplomasi pertahanan dengan berbagai pihak sambil tetap menjaga kedaulatan dan tidak terjebak dalam pertempuran geopolitik besar. Laporan Asia-Pacific Foundation of Canada menyoroti pentingnya diversifikasi mitra, baik dari segi ekonomi maupun keamanan.
Dinamika Teknologi dan Perlombaan Inovasi
Selain kekuatan militer konvensional, perlombaan teknologi jadi medan baru persaingan Rusia Tiongkok aliansi dengan Barat. Inovasi seperti drone tempur, kecerdasan buatan, dan sistem rudal hipersonik menjadi fokus utama.
Menurut laporan RAND Corporation, perkembangan ini bisa mempercepat perubahan strategi militer di Indo-Pasifik dan memaksa negara-negara lain untuk berinvestasi lebih banyak di bidang riset pertahanan.
Investasi Rusia dan Tiongkok dalam teknologi pertahanan ini juga berdampak pada industri lokal di Asia. Banyak negara mulai membangun kerjasama transfer teknologi dan pengadaan alat utama pertahanan, baik dengan Rusia, Tiongkok, maupun negara Barat.
Hal ini menciptakan ekosistem baru yang lebih kompleks dan saling terkait.
Masa Depan Stabilitas Regional
Dengan semakin eratnya aliansi Rusia Tiongkok di Indo-Pasifik, masa depan keamanan regional akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana negara-negara di kawasan menyikapi perubahan ini.
Perimbangan kekuatan yang dinamis, diplomasi pertahanan, dan kesiapan menghadapi kemungkinan eskalasi jadi faktor kunci. Negara-negara Asia harus terus memperkuat kapasitas pertahanan, memperdalam kerjasama keamanan, dan menjaga komunikasi terbuka agar stabilitas Asia tetap terjaga.
Perubahan peta kekuatan di Indo-Pasifik tidak bisa dihindari. Blok militer baru, strategi militer canggih, dan pengaruh global yang semakin meluas menjadi tantangan nyata bagi negara-negara di kawasan.
Dengan membaca dinamika ini secara cermat, setiap negara punya peluang untuk tetap aman sekaligus relevan di tengah pusaran geopolitik global. Informasi ini bersifat analisis dari berbagai sumber terbuka dan dapat berubah sesuai perkembangan situasi terbaru.
Apa Reaksi Anda?






