Metaverse di 2025: Hype Usang atau Kebangkitan Dunia Virtual yang Tak Terhindarkan?


Selasa, 19 Agustus 2025 - 14.25 WIB
Metaverse di 2025: Hype Usang atau Kebangkitan Dunia Virtual yang Tak Terhindarkan?
Relevansi Metaverse Tahun 2025 (Foto oleh Vincent Chan di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Tahun 2021 terasa seperti fajar baru bagi internet. Istilah metaverse meledak, menjanjikan sebuah dunia virtual imersif di mana kita bisa bekerja, bermain, dan bersosialisasi. Miliaran dolar digelontorkan, dan setiap perusahaan teknologi besar seakan berlomba membangun gerbang menuju utopia digital ini. Namun, angin cepat berubah. Memasuki tahun 2024, narasi bergeser drastis. Euforia berganti skeptisisme, proyek-proyek ambisius ditutup, dan fokus industri teknologi berbelok tajam ke arah kecerdasan buatan (AI). Pertanyaannya kini menggantung di udara: apakah metaverse sudah mati sebelum benar-benar lahir, atau kita hanya menyaksikan akhir dari babak pertamanya? Jawabannya jauh lebih kompleks dan menarik daripada sekadar ya atau tidak. Kita sedang berada di ambang Metaverse 2.0, sebuah evolusi yang lebih tenang, lebih cerdas, dan jauh lebih terintegrasi dengan realitas kita.

Melihat Kembali Reruntuhan Hype: Mengapa Visi Awal Gagal Memikat?

Untuk memahami ke mana arah metaverse, kita harus jujur tentang mengapa gelombang pertamanya gagal memenuhi ekspektasi.

Kegagalan ini bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan kombinasi dari teknologi yang belum siap, strategi yang keliru, dan ekspektasi yang tidak realistis.

Pertama, hambatan teknologi dan pengalaman pengguna. Headset realitas virtual (VR) yang menjadi gerbang utama ke dunia virtual masih terasa berat, mahal, dan seringkali menyebabkan mabuk gerak.

Grafis yang ditawarkan oleh platform populer seperti Horizon Worlds dari Meta terasa kartunis dan jauh dari kesan imersif yang dijanjikan. Alih-alih dunia yang hidup, pengguna disuguhi avatar tanpa kaki yang melayang di ruang digital yang terasa kosong. Pengalaman ini menciptakan jurang besar antara visi sinematik yang dipasarkan dengan realitas canggung yang dirasakan pengguna, membuat banyak orang enggan kembali setelah mencoba sekali.

Kedua, pendekatan taman bertembok (walled garden) yang diusung oleh pemain besar. Meta, dengan investasinya yang masif, mencoba membangun ekosistem tertutup. Visi mereka adalah metaverse tunggal yang mereka kendalikan.

Pendekatan ini bertentangan dengan semangat asli internet yang terbuka dan terinterkoneksi. Pengguna tidak bisa membawa aset atau identitas digital mereka dari satu platform ke platform lain. Ini seperti harus membuat paspor baru setiap kali Anda ingin mengunjungi negara yang berbeda. Visi ini ditentang keras oleh tokoh seperti Tim Sweeney, CEO Epic Games, yang berpendapat bahwa metaverse harus menjadi standar terbuka, bukan produk milik satu perusahaan.

Ketiga, kurangnya kasus penggunaan yang mendesak (killer app). Di luar beberapa game dan ruang sosial yang terbatas, tidak ada alasan kuat bagi miliaran orang untuk menghabiskan waktu berjam-jam di dunia virtual.

Janji rapat kerja di metaverse terbukti lebih merepotkan daripada panggilan video biasa. Konser virtual terasa kurang memiliki energi dibandingkan acara langsung. Tanpa aplikasi yang benar-benar memecahkan masalah nyata atau menawarkan hiburan yang tak tertandingi, metaverse tetap menjadi sebuah keingintahuan teknologi, bukan bagian esensial dari kehidupan digital. Investasi metaverse yang didasarkan pada spekulasi, terutama pada aset tanah virtual, runtuh begitu hype mereda, meninggalkan banyak investor awal dengan kerugian.

Metaverse 2.0: Empat Pilar Kebangkitan Dunia Virtual

Di tengah puing-puing hype, fondasi untuk metaverse generasi berikutnya sedang dibangun. Ini adalah metaverse yang tidak terlalu fokus pada pelarian total dari realitas, melainkan pada perluasan dan peningkatan dunia nyata.

Ada empat pilar utama yang menopang evolusi menuju dunia virtual yang lebih matang dan relevan di tahun 2025 dan seterusnya.

1. Interoperabilitas dan Desentralisasi Berbasis Web3


Gelombang baru metaverse dibangun di atas prinsip Web3: kepemilikan pengguna, desentralisasi, dan interoperabilitas.

Alih-alih taman bertembok, para pengembang kini berkolaborasi melalui badan seperti Metaverse Standards Forum untuk menciptakan protokol bersama. Tujuannya adalah agar avatar, item digital (NFT), dan identitas sosial Anda dapat berpindah dengan mulus antar dunia virtual yang berbeda, baik itu yang dibuat oleh Epic Games, Decentraland, atau pengembang independen lainnya. Ini adalah pergeseran fundamental yang menjadikan pengguna sebagai warga negara sejati dari dunia digital, bukan hanya penyewa di properti milik perusahaan teknologi. Platform seperti The Sandbox dan Decentraland terus menjadi laboratorium untuk ekonomi kreator yang terdesentralisasi, di mana nilai diciptakan dan didistribusikan di antara para penggunanya, bukan hanya pemegang saham platform.

2. Konvergensi Dahsyat dengan Kecerdasan Buatan (AI)


Ironisnya, teknologi yang dianggap membunuh hype metaverseAI generatifjustru akan menjadi katalisator terbesarnya. AI mengubah cara dunia virtual dibuat dan dialami.

Sebelumnya, membangun lingkungan digital yang detail membutuhkan ribuan jam kerja dari para seniman dan developer. Kini, AI dapat menghasilkan lanskap, bangunan, dan aset 3D yang kompleks dalam hitungan menit. Lebih dari itu, AI akan menghidupkan dunia virtual ini. Karakter Non-Pemain (NPC) tidak akan lagi menjadi robot yang mengulang skrip mereka akan menjadi entitas dinamis yang ditenagai oleh Large Language Models (LLM), mampu melakukan percakapan yang natural dan bereaksi secara unik terhadap setiap pemain. Jensen Huang, CEO NVIDIA, melihat konvergensi ini sebagai fondasi untuk Omniverse, sebuah platform untuk membangun kembaran digital (digital twins) dari dunia nyata, mulai dari pabrik hingga seluruh kota, yang disimulasikan dan dioptimalkan dengan bantuan AI. Teknologi masa depan ini akan membuat dunia virtual tidak hanya imersif secara visual tetapi juga cerdas dan responsif.

3. Pergeseran dari Realitas Virtual ke Augmented dan Mixed Reality


Visi awal metaverse sangat condong ke realitas virtual (VR), yang sepenuhnya mengisolasi pengguna dari dunia fisik.

Namun, masa depan yang lebih mungkin adalah perpaduan antara dunia digital dan fisik melalui augmented reality (AR) dan mixed reality (MR). Perangkat seperti Apple Vision Pro (yang secara hati-hati disebut Apple sebagai spatial computing) dan Meta Quest 3 menunjukkan arah ini. Alih-alih membawa kita ke dunia virtual, teknologi ini membawa elemen digital ke dunia kita. Bayangkan melihat petunjuk arah GPS yang melayang di jalan di depan Anda, menghadiri rapat di mana avatar kolega Anda duduk di kursi kosong di ruang tamu Anda, atau melihat informasi produk dan ulasan saat Anda melihat barang di toko. Pendekatan augmented reality ini jauh lebih tidak mengintimidasi dan memiliki kasus penggunaan praktis yang tak terbatas dalam kehidupan sehari-hari, dari navigasi hingga pendidikan dan pekerjaan. Ini adalah evolusi alami dari smartphone, bukan pengganti realitas.

4. Fokus pada Utilitas dan Aplikasi Industri


Metaverse 2.0 tidak lagi hanya tentang game dan sosialisasi. Nilai terbesarnya mungkin terletak pada aplikasi perusahaan dan industri. Konsep kembaran digital adalah contoh utamanya.

Perusahaan seperti BMW telah menggunakan platform NVIDIA Omniverse untuk menciptakan replika virtual pabrik mereka yang presisi. Di dalam simulasi ini, mereka dapat menguji tata letak jalur perakitan baru, melatih robot, dan mengoptimalkan logistik sebelum menerapkannya di dunia fisik, menghemat jutaan dolar dan ribuan jam kerja. Di bidang kesehatan, ahli bedah dapat berlatih prosedur kompleks pada organ virtual yang sangat detail. Arsitek dapat mengajak klien berjalan-jalan di dalam gedung yang belum dibangun. Fokus pada utilitas ini memberikan alasan ekonomi yang kuat bagi pengembangan berkelanjutan teknologi metaverse, terlepas dari tren konsumen jangka pendek. Investasi metaverse di sektor ini cenderung lebih stabil dan didasarkan pada ROI yang terukur.

Peta Kekuatan Baru di Lanskap Dunia Virtual


Jika sebelumnya panggung metaverse didominasi oleh Meta, kini lanskapnya jauh lebih beragam dan kompetitif.

Meta masih menjadi pemain besar dengan investasi berkelanjutan di Reality Labs, tetapi mereka tidak lagi sendirian dalam mendefinisikan masa depan.

Epic Games, dengan Unreal Engine-nya, menyediakan alat fundamental bagi banyak pengembang untuk membangun dunia virtual berkualitas tinggi. Visi Tim Sweeney tentang metaverse terbuka dan adil terus menginspirasi komunitas developer.

NVIDIA telah memposisikan dirinya sebagai pemasok sekop dan beliung di era demam emas metaverse industri, menyediakan perangkat keras (GPU) dan perangkat lunak (Omniverse) yang krusial. Sementara itu, kemunculan Apple dengan Vision Pro, meskipun mahal, telah melegitimasi konsep komputasi spasial dan menetapkan standar baru untuk pengalaman pengguna dalam augmented reality. Kehadiran mereka kemungkinan akan mendorong seluruh industri untuk berinovasi lebih cepat.

Apakah Investasi Metaverse Masih Masuk Akal di 2025?


Setelah jatuhnya harga tanah virtual dan token terkait metaverse, banyak investor menjadi waspada. Namun, memandang investasi metaverse hanya dari sudut pandang aset kripto spekulatif adalah sebuah kesalahan. Peluang sebenarnya terletak pada teknologi yang mendasarinya. Menurut laporan dari Grand View Research, pasar metaverse global diperkirakan akan terus tumbuh secara signifikan, didorong oleh adopsi di sektor perusahaan, ritel, dan hiburan. Daripada membeli sebidang tanah digital, investasi yang lebih bijaksana mungkin menargetkan perusahaan yang membangun infrastruktur untuk dunia virtual ini: produsen chip grafis, pengembang platform augmented reality, perusahaan perangkat lunak AI, dan studio yang menciptakan konten imersif berkualitas tinggi. Tentu saja, seperti halnya investasi pada teknologi masa depan yang baru lahir, risikonya tetap tinggi, dan diversifikasi serta penelitian mendalam adalah kunci. Informasi ini tidak boleh dianggap sebagai nasihat keuangan setiap keputusan investasi harus didasarkan pada analisis dan toleransi risiko individu.

Metaverse tidak mati ia hanya sedang berganti kulit. Hype yang berisik dan tidak realistis dari tahun 2021 telah memudar, digantikan oleh pembangunan yang lebih tenang, terarah, dan bermakna.

Pada tahun 2025, kita tidak akan melihat satu metaverse monolitik yang menggantikan internet. Sebaliknya, kita akan melihat prinsip-prinsip metaverseimersivitas 3D, interaksi real-time, dan interoperabilitas digitalmulai meresap ke dalam aplikasi dan platform yang kita gunakan setiap hari. Ini adalah pergeseran dari dunia virtual sebagai sebuah tujuan menjadi dunia virtual sebagai lapisan baru di atas realitas kita. Kebangkitan ini mungkin tidak sedramatis peluncuran awalnya, tetapi dampaknya akan jauh lebih mendalam dan bertahan lama.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0