'Sayang Uangnya', Tapi Terus Boncos? Investasi itu Wajib dengan Keputusan Matang!

Oleh VOXBLICK

Jumat, 22 Agustus 2025 - 02.30 WIB
'Sayang Uangnya', Tapi Terus Boncos? Investasi itu  Wajib dengan Keputusan Matang!
Mengenal jebakan biaya hangus. (Foto oleh Allef Vinicius di Unsplash).

VOXBLICK.COM - Pernahkah Anda berada dalam situasi di mana Anda terus melanjutkan sesuatu yang jelas-jelas tidak berhasil, hanya karena sudah terlanjur mengeluarkan banyak uang, waktu, atau tenaga?

Mungkin Anda terus memperbaiki mobil tua yang ongkos bengkelnya sudah melebihi harga mobil baru, atau tetap bertahan dalam sebuah proyek bisnis yang terus merugi dengan harapan 'suatu saat akan berbalik'. Perasaan 'sayang uangnya' ini adalah sebuah fenomena psikologis yang sangat manusiawi, namun bisa menjadi musuh terbesar dalam membuat keputusan finansial yang sehat.

Inilah yang dikenal sebagai jebakan biaya hangus atau sunk cost fallacy. Dalam dunia keuangan dan investasi, memahami konsep biaya hangus adalah kunci untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Banyak investor pemula, bahkan yang berpengalaman sekalipun, jatuh ke dalam perangkap ini.

Mereka mempertahankan investasi merugi bukan karena prospeknya cerah, melainkan karena tidak rela menerima kenyataan bahwa uang yang telah diinvestasikan sebelumnya hilang.

Padahal, keputusan finansial yang rasional seharusnya berfokus pada masa depan, bukan meratapi masa lalu.

Apa Sebenarnya Biaya Hangus (Sunk Cost)?

Secara sederhana, biaya hangus adalah biaya yang sudah terjadi dan tidak dapat dikembalikan, apa pun keputusan yang Anda ambil di masa depan. Anggap saja Anda membeli tiket konser seharga Rp1.000.000 yang tidak bisa di-refund.

Tepat di hari konser, Anda jatuh sakit dan cuaca sangat buruk. Uang Rp1.000.000 itu adalah biaya hangus. Uang itu sudah hilang, baik Anda memutuskan untuk pergi ke konser maupun tinggal di rumah. Keputusan rasional yang harus Anda ambil sekarang bukanlah 'bagaimana cara agar uang Rp1.000.000 tidak sia-sia?', melainkan 'apa pilihan terbaik untuk saya saat ini?'.

Memaksakan diri pergi dalam kondisi sakit demi 'menyelamatkan' uang tiket hanya akan menambah 'biaya' baru: risiko kesehatan memburuk, ketidaknyamanan, dan Anda mungkin tidak akan menikmati konsernya sama sekali. Di sini, sunk cost fallacy terjadi jika Anda berpikir, "Saya harus pergi, sayang tiketnya sudah dibeli".

Keputusan yang logis adalah menerima bahwa uang tiket sudah hilang dan memilih untuk beristirahat demi kesehatan Anda. Dalam konteks investasi, biaya hangus adalah harga beli saham atau modal awal yang Anda tanamkan pada sebuah bisnis. Uang itu sudah masuk ke pasar atau proyek. Ketika investasi tersebut menunjukkan kinerja buruk, banyak orang terjebak.

Mereka berpikir, "Saya akan jual kalau harganya sudah kembali ke modal awal". Pikiran ini adalah manifestasi dari sunk cost fallacy yang berbahaya. Pasar tidak peduli berapa harga beli Anda; yang terpenting adalah potensi aset tersebut di masa depan.

Inilah jebakan emosional yang seringkali membuat keputusan finansial menjadi tidak objektif.

Psikologi di Balik Sunk Cost Fallacy

Mengapa kita begitu rentan terhadap jebakan biaya hangus? Jawabannya terletak pada beberapa bias kognitif yang melekat pada cara otak kita bekerja.

Memahami psikologi trading di baliknya adalah langkah pertama untuk mengatasinya.

Loss Aversion (Keengganan Merugi)

Konsep yang dipopulerkan oleh psikolog Daniel Kahneman dan Amos Tversky ini menjelaskan bahwa rasa sakit karena kehilangan sesuatu secara psikologis terasa dua kali lebih kuat daripada kesenangan karena mendapatkan sesuatu yang setara. Menjual investasi yang merugi berarti merealisasikan kerugian tersebut secara nyata.

Otak kita secara alami menolak rasa sakit ini, sehingga kita cenderung menunda keputusan tersebut, berharap keajaiban terjadi. Ini menjelaskan mengapa lebih mudah menahan saham yang minus 50% daripada menjualnya dan menerima kerugian.

Komitmen dan Konsistensi

Manusia memiliki kecenderungan untuk ingin terlihat konsisten dengan keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Mengakui bahwa investasi awal adalah sebuah kesalahan terasa seperti mengakui kegagalan pribadi.

Untuk menghindari perasaan ini, kita justru menggandakan komitmen pada keputusan yang salah tersebut, sebuah fenomena yang dikenal sebagai escalation of commitment. Kita terus menyuntikkan dana ke bisnis yang sekarat untuk membuktikan bahwa keputusan awal kita 'benar'.

Efek Kepemilikan (Endowment Effect)

Kita cenderung memberi nilai lebih tinggi pada sesuatu yang sudah kita miliki.

Saham yang sudah ada di portofolio kita terasa lebih berharga daripada saham lain yang belum kita beli, meskipun secara fundamental saham lain mungkin lebih baik. Perasaan 'ini milik saya' menciptakan ikatan emosional yang membuat kita sulit untuk melepaskannya, bahkan ketika semua data menunjukkan bahwa itu adalah langkah yang bijaksana.

Manajemen risiko yang baik menuntut objektivitas, sesuatu yang dilawan oleh efek kepemilikan ini.

Contoh Nyata Jebakan Biaya Hangus dalam Keuangan Pribadi

Jebakan biaya hangus tidak hanya terjadi di pasar saham. Ia menyusup ke berbagai aspek keputusan finansial kita, seringkali tanpa disadari.

Mempertahankan Portofolio Investasi Merugi

Ini adalah contoh paling klasik. Seorang investor membeli saham A di harga Rp5.000 per lembar.

Karena kondisi pasar atau fundamental perusahaan yang memburuk, harganya anjlok ke Rp2.000. Investor tersebut menolak untuk melakukan cut loss (memotong kerugian) karena berharap harga akan kembali ke Rp5.000. Ia terjebak oleh biaya hangus Rp5.000. Padahal, dengan dana yang 'terkunci' di saham A, ia kehilangan biaya peluang (opportunity cost) untuk berinvestasi di saham B yang mungkin memiliki potensi naik dari Rp2.000 ke Rp4.000. Keputusan finansial yang cerdas seharusnya bertanya: "Jika saya punya uang tunai sebesar nilai saham saya saat ini, apakah saya akan membelanjakannya untuk membeli saham A di harga Rp2.000 hari ini?" Jika jawabannya tidak, maka sudah waktunya untuk menjual.

Melanjutkan Proyek yang Membengkak

Anda memulai renovasi dapur dengan anggaran Rp50 juta.

Di tengah jalan, ternyata ada masalah struktural dan biaya membengkak menjadi Rp100 juta. Anda sudah menghabiskan Rp40 juta. Pikiran Anda mungkin berkata, "Sudah terlanjur keluar Rp40 juta, selesaikan saja sekalian". Ini adalah sunk cost fallacy. Rp40 juta itu adalah biaya hangus.

Pertanyaan yang relevan adalah: "Apakah melanjutkan proyek ini dengan tambahan biaya Rp60 juta adalah penggunaan uang terbaik saya saat ini, atau ada alternatif lain yang lebih baik?"

Terjebak dalam Langganan yang Tidak Digunakan

Anda membayar keanggotaan gym tahunan seharga Rp3.6 juta. Setelah dua bulan, Anda sadar tidak pernah punya waktu untuk pergi.

Banyak orang akan memaksa diri untuk pergi beberapa kali hanya karena 'sayang sudah bayar', bukan karena benar-benar ingin berolahraga. Uang itu sudah menjadi biaya hangus.

Keputusan yang seharusnya diambil adalah membatalkan keanggotaan untuk tahun berikutnya dan mencari aktivitas fisik lain yang lebih sesuai dengan jadwal.

Strategi Praktis untuk Mengalahkan Sunk Cost Fallacy

Mengatasi bias kognitif memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Dengan pendekatan yang sistematis dan disiplin, Anda bisa melatih diri untuk membuat keputusan finansial yang lebih rasional.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun secara konsisten mengedukasi masyarakat untuk menjadi investor cerdas yang mengambil keputusan berdasarkan analisis, bukan emosi. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang bisa Anda terapkan:

1. Ubah Kerangka Berpikir: Fokus pada Masa Depan

Setiap kali Anda dihadapkan pada keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan sesuatu, abaikan semua biaya yang sudah dikeluarkan.

Anggap semua itu sebagai pelajaran berharga.

Ajukan pertanyaan krusial: "Berdasarkan informasi yang saya miliki hari ini, dan dengan mengabaikan investasi masa lalu saya, apa keputusan terbaik untuk masa depan?" Latihan mental ini membantu memisahkan emosi dari logika.

2. Pahami dan Hitung Biaya Peluang (Opportunity Cost)

Selalu ingat bahwa setiap sumber daya (uang, waktu, energi) yang Anda alokasikan untuk pilihan yang buruk adalah sumber daya yang tidak bisa Anda gunakan untuk peluang yang lebih baik.

Tanyakan pada diri sendiri, "Jika saya menarik dana dari investasi merugi ini, di mana saya bisa menempatkannya agar memberikan hasil yang lebih optimal?" Dengan membingkai keputusan seperti ini, Anda akan lebih termotivasi untuk melakukan cut loss.

3. Tetapkan Aturan yang Jelas di Awal (Pre-commitment)

Cara terbaik untuk melawan emosi saat situasi memanas adalah dengan membuat aturan saat pikiran masih jernih.

Sebelum berinvestasi, tentukan titik stop loss Anda. Misalnya, "Saya akan menjual saham ini jika harganya turun 15% dari harga beli saya, tanpa terkecuali". Dengan memiliki rencana yang jelas, Anda mengurangi ruang untuk keraguan dan pembenaran diri yang didorong oleh sunk cost fallacy saat tekanan muncul.

Ini adalah inti dari manajemen risiko yang efektif.

4. Cari Pandangan Kedua yang Objektif

Diskusikan dilema Anda dengan seseorang yang Anda percaya dan tidak memiliki keterikatan emosional dengan investasi tersebut, misalnya seorang teman yang paham keuangan atau seorang perencana keuangan profesional.

Pihak luar dapat memberikan perspektif yang jernih dan logis karena mereka tidak terbebani oleh biaya hangus yang Anda rasakan.

5. Lakukan 'Audit Nol' (Zero-Based Auditing) secara Berkala

Bayangkan portofolio Anda kosong hari ini. Dengan uang tunai yang setara dengan nilai portofolio Anda saat ini, apakah Anda akan membeli kembali semua aset yang Anda miliki sekarang, dengan komposisi yang sama?

Jika ada aset yang tidak akan Anda beli lagi, itu adalah kandidat kuat untuk dijual. Pendekatan ini memaksa Anda untuk terus menerus membenarkan keberadaan setiap aset dalam portofolio Anda berdasarkan potensi masa depannya, bukan sejarah masa lalunya. Membebaskan diri dari jebakan biaya hangus adalah sebuah keterampilan yang membutuhkan latihan.

Ini adalah tentang menerima bahwa membuat kesalahan adalah bagian dari proses belajar, baik dalam hidup maupun dalam investasi. Keputusan yang buruk bukanlah akhir dari segalanya; yang lebih berbahaya adalah terus menerus terikat pada keputusan buruk tersebut karena ketidakmampuan untuk melepaskan masa lalu.

Dengan memahami psikologi di baliknya dan menerapkan strategi yang logis, Anda dapat membuat keputusan finansial yang lebih tajam, melindungi modal Anda, dan membuka jalan bagi peluang yang lebih menguntungkan di masa depan. Setiap perjalanan finansial adalah unik, dan setiap keputusan investasi membawa serangkaian pertimbangan yang berbeda.

Informasi yang dibahas di sini bertujuan untuk memberikan wawasan dan edukasi mengenai prinsip-prinsip perilaku ekonomi. Kondisi pasar selalu berubah, dan kinerja masa lalu bukanlah jaminan hasil di masa depan. Penting untuk melakukan riset mendalam dan mempertimbangkan situasi keuangan pribadi Anda sebelum mengambil tindakan investasi apa pun.

Untuk nasihat yang disesuaikan dengan tujuan spesifik Anda, berkonsultasi dengan perencana keuangan bersertifikat adalah langkah yang bijaksana.

Apa Reaksi Anda?

Suka Suka 0
Tidak Suka Tidak Suka 0
Cinta Cinta 0
Lucu Lucu 0
Marah Marah 0
Sedih Sedih 0
Wow Wow 0